Jumat, 03 April 2009

Tantangan bagi Presiden Terpilih


Jumat, 3 April 2009 | 03:06 WIB

Sepintas terasa prematur membahas tantangan yang dihadapi Presiden Indonesia terpilih 2009, sementara pemilu legislatif baru akan dilangsungkan pekan depan.

Namun, masalah ini juga relevan dibahas sekarang. Alasannya, dua dari tiga parpol yang akan mendapat suara terbanyak dalam pemilu bergantung pada popularitas pemimpinnya, yakni SBY untuk Partai Demokrat (PD) dan Megawati untuk PDI-P. Dengan demikian, menentukan pilihan untuk parlemen pun tidak lepas dari penilaian terhadap pimpinan parpol yang menjadi capres.

Dalam Pemilu Presiden 2004, penulis mendukung Megawati karena dia dapat memilih anggota kabinet dan para pembantunya yang berprestasi sehingga kekurangannya dapat diatasi. Namun, harapan ini tidak terwujud karena dalam pilpres dikalahkan SBY. Bagai beauty contest pribadi yang merupakan faktor penting dalam pilpres langsung pertama itu, SBY telah memenanginya.

Ketika SBY mencalonkan diri dalam pilpres itu, sebenarnya Megawati merasa dikhianati; karena dua kali ia bertanya kepada SBY apakah akan mencalonkan diri, tetapi selalu dibantah oleh SBY. Namun, dua minggu setelah bantahannya yang terakhir, ternyata SBY mencalonkan diri. Sejak itu Megawati tidak pernah mau lagi bertemu dengan SBY dan perlawanannya kali ini adalah untuk membalas courtesy SBY pada tahun 2004 itu.

Memperbaiki diri

Megawati memang bukan yang terpandai, tetapi jelas kini ia telah memperbaiki diri dan citranya dibandingkan tahun 2004. Ia lebih ramping dan lebih mendekat kepada rakyat, bahkan terus berkeliling hingga ke pelosok Tanah Air. Dalam jajak pendapat parpol dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Maret lalu tentang program PDI-P di bidang ekonomi dan usaha, Megawati telah memimpin timnya dengan baik. Pandangan-pandangannya umumnya bernalar dan lugas, yang menunjukkan bahwa ia telah menyiapkan diri dengan baik, berbeda dengan ketika ia menjadi presiden yang menyerahkan banyak hal kepada para pembantunya saja.

Di pihak lain, SBY bukan lagi orang yang tidak dikenal atau hanya dikenal selintas oleh rakyat Indonesia karena ia telah memerintah selama hampir lima tahun. Benar seperti penulis khawatirkan sebelum 2004, sebagai pemimpin, ia tidak tegas dan enggan mengambil keputusan-keputusan yang tidak populer di kalangan tertentu di masyarakat.

Ada dua contoh yang menonjol. Pertama, dalam bidang ideologi, SBY tidak berani menyatakan tidak sahnya perda-perda syariah di lebih dari 50 kabupaten di Indonesia yang nyata-nyata bertentangan dengan konstitusi RI. Menteri Dalam Negeri pernah mengajukan masalah itu, tetapi ia menolak untuk mengambil keputusan karena alasan politik.

Kedua, hal yang sama terjadi dengan kasus Ahmadiyah. Sebagai kepala pemerintahan, memang SBY tidak menentukan masalah agama. Tetapi, berbagai kekacauan dan kekerasan yang terjadi berkaitan dengan masalah Ahmadiyah seharusnya menjadi kewajiban pemerintah untuk mengatasinya dengan menjaga ketertiban umum dan tegaknya hukum.

Pemerintah harus dapat mencegah tindakan-tindakan liar yang melanggar hukum, seperti membakar masjid Ahmadiyah dan menganiaya pengikutnya; serta bertindak tegas terhadap kelompok ekstrem yang menyerang dan menganiaya kelompok lain yang membela tegaknya hukum di Indonesia, seperti terjadi pada peristiwa Monas tahun 2008.

Bidang ekonomi

Sementara itu, ekonomi Indonesia tidak pernah berkembang maksimal dan ekonomi riil juga tidak berkembang dengan baik karena SBY tidak tegas dalam mengambil keputusan yang diperlukan. Ia lebih mementingkan kebijakan populisnya untuk mengangkat citra diri dan mendapat dukungan dalam pemilu.

Paket stimulus yang amat diperlukan bila ekonomi anjlok juga tidak didukungnya secara penuh. Jumlah pengangguran dan kemiskinan meningkat, tetapi angka-angka yang diumumkan untuk menutupinya bermasalah. Jika krisis ekonomi yang kita alami ini memburuk, SBY harus bertanggung jawab.

Pada tahun 2004, penulis tidak mendukung Jusuf Kalla karena umumnya ia dikenal dari berbagai pernyataannya terdahulu yang dianggap antiasing, anti-WNI keturunan Tionghoa, dan anti-Kristen. Namun, setelah memerhatikan lebih cermat ucapan-ucapan dan tindakan-tindakannya sebagai Wakil Presiden, penulis menyimpulkan bahwa kadang-kadang ia terlalu banyak bicara dan berkomentar tentang masalah-masalah yang tidak dikuasainya secara mendalam sehingga mudah disalah mengerti, seperti dalam masalah demokrasi.

Penulis yakin JK tidak anti-WNI keturunan Tionghoa atau anti-Kristen. Berkenaan dengan kelompok-kelompok Islam ekstrem ia amat tegas, bahkan berani menghadapi mereka secara frontal karena sebagai seorang Muslim yang baik, ia telah berbuat banyak untuk kemaslahatan umat. JK juga yang berinisiatif untuk menyelesaikan konflik Islam-Kristen di Maluku dan Sulawesi Tengah.

Di bidang ekonomi, JK seorang nasionalis, tetapi ia selalu bisa diajak bicara untuk menemukan kesimpulan terbaik. Sekali berkomitmen, ia selalu memegang teguh komitmen dan janji-janji yang dibuatnya. JK memang tegas, berprinsip, dan mempunyai pandangan- pandangan yang sehat dan bernalar.

Tidak kurang dari Menteri Mentor Lee Kuan Yew, yang banyak makan garam di bidang politik dan ekonomi, amat terkesan pada pribadi JK. Pada tahun 2007, setelah pertemuan berdua selama satu setengah jam (yang semula direncanakan 45 menit), Lee Kuan Yew menyatakan kesannya kepada media massa yang meliput pertemuan tersebut: ”Inilah orang yang mengerti masalah-masalah Indonesia dan cara-cara mengatasinya. Sayang ia hanya seorang Wakil Presiden.”

Jusuf Wanandi Wakil Ketua Dewan Penyantun Yayasan CSIS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar