Minggu, 12 April 2009

Hasil Sementara Pemilu 2009



Sumber: KPU
Sabtu, 11/04/2009 22:17 WIB
No Partai Politik Jumlah Suara Persentase
1 Demokrat (31) 157.973 21,25%
2 PDIP (28) 111.442 14,99%
3 Golkar (23) 107.201 14,42%
4 PKS (8) 65.276 8,78%
5 PAN (9) 47.894 6,44%
6 PKB (13) 43.515 5,85%
7 PPP (24) 39.310 5,29%
8 Gerindra (5) 35.583 4,79%
9 Hanura (1) 24.880 3,35%
10 PKPB (2) 11.491 1,55%
11 PBB (27) 11.354 1,53%
12 PDS (25) 9.006 1,21%
13 PKNU (34) 8.650 1,16%
14 PPRN (4) 7.232 0,97%
15 PKPI (7) 6.791 0,91%
16 PDP (16) 6.366 0,86%
17 PPPI (3) 5.009 0,67%
18 Barnas (6) 4.907 0,66%
19 PBR (29) 4.513 0,61%
20 PDK (20) 3.482 0,47%
21 RepublikaN (21) 2.871 0,39%
22 PNBK (26) 2.574 0,35%
23 PPD (12) 2.424 0,33%
24 Patriot (30) 2.423 0,33%
25 PPI (14) 2.259 0,30%
26 PIS (33) 2.227 0,30%
27 PMB (18) 2.108 0,28%
28 Kedaulatan (11) 1.970 0,26%
29 Pelopor (22) 1.960 0,26%
30 PPIB (10) 1.753 0,24%
31 PNI M (15) 1.700 0,23%
32 PKDI (32) 1.698 0,23%
33 Pakar Pangan (17) 1.649 0,22%
34 Partai Buruh (44) 1.246 0,17%
35 PPDI (19) 893 0,12%
36 PSI (43) 674 0,09%
37 Merdeka (41) 567 0,08%
38 PPNUI (42) 545 0,07%
39 PAAS (35) 0 0,00%
40 PDA (36) 0 0,00%
41 Partai SIRA (37) 0 0,00%
42 PRA (38) 0 0,00%
43 Partai Aceh (39) 0 0,00%
44 PBA (40) 0 0,00%

Jumlah 743.416 100%

KPU 3

31 Partai Demokrat 304,258 20.4 %
32 Partai Kasih Demokrasi Indonesia 3,580 0.2 %
33 Partai Indonesia Sejahtera 4,314 0.3 %
34 Partai Kebangkitan Nasional Ulama 17,885 1.2 %
41 Partai Merdeka 1,611 0.1 %
42 Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia 1,596 0.1 %
43 Partai Sarikat Indonesia 1,486 0.1 %
44 Partai Buruh 2,768 0.2 %

KPU 2

16 Partai Demokrasi Pembaruan 12,734 0.9 %
17 Partai Karya Perjuangan 3,655 0.2 %
18 Partai Matahari Bangsa 6,323 0.4 %
19 Partai Penegak Demokrasi Indonesia 2,029 0.1 %
20 Partai Demokrasi Kebangsaan 8,940 0.6 %
21 Partai Republika Nusantara 6,710 0.4 %
22 Partai Pelopor 4,525 0.3 %
23 Partai Golongan Karya 216,602 14.5 %
24 Partai Persatuan Pembangunan 80,362 5.4 %
25 Partai Damai Sejahtera 18,801 1.3 %
26 Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia 5,598 0.4 %
27 Partai Bulan Bintang 24,420 1.6 %
28 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 216,010 14.5 %
29 Partai Bintang Reformasi 11,483 0.8 %
30 Partai Patriot 5,043 0.3 %

Hitung KPU Sementara 1

No Partai Jumlah Persen
1 Partai Hati Nurani Rakyat 52,497 3.5 %
2 Partai Karya Peduli Bangsa 22,269 1.5 %
3 Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia 9,822 0.7 %
4 Partai Peduli Rakyat Nasional 15,336 1 %
5 Partai Gerakan Indonesia Raya 68,062 4.6 %
6 Partai Barisan Nasional 10,152 0.7 %
7 Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia 13,853 0.9 %
8 Partai Keadilan Sejahtera 126,435 8.5 %
9 Partai Amanat Nasional 97,762 6.5 %
10 Partai Perjuangan Indonesia Baru 4,233 0.3 %
11 Partai Kedaulatan 4,709 0.3 %
12 Partai Persatuan Daerah 19,625 1.3 %
13 Partai Kebangkitan Bangsa 80,838 5.4 %
14 Partai Pemuda Indonesia 4,931 0.3 %
15 Partai Nasional Indonesia Marhaenisme 3,523 0.2 %

Pertaruhan Indonesia

M Alfan Alfian

Majalah The Economist (edisi 4 April 2009) menurunkan tajuk ”The Indonesian Surprise”, mengulas fenomena demokrasi politik, Pemilu 2009 di Indonesia.

Dicatat, pemilu ketiga di Indonesia era reformasi ini merupakan regional role model. Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar telah memberikan contoh praktik demokrasi politik bagi negara di kawasan Asia Tenggara.

Namun, The Economist juga mencatat adanya kesulitan besar, yakni bagaimana demokrasi pemilu dilaksanakan. Meski sudah ada pengalaman sebelumnya (1999 dan 2004), teknik penyelenggaraan pemilu selalu menghadapi sejumlah kesulitan serius: sistem pemilu yang kompleks dan berubah-ubah serta pengaturan logistik pemilu yang tak mudah, mengingat Indonesia terdiri atas 17.000 pulau dan 240 juta penduduk.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) amat optimistis bahwa soal teknis pemilu sudah optimal. Masyarakat sempat cemas dengan kesiapan KPU. Dengan sistem pemilu yang baru, KPU perlu bekerja ekstrakeras. Pascapemungutan suara 9 April, tantangan masih berliku. Sengketa pemilu harus dapat diselesaikan dengan baik, anarki politik harus dicegah. Dalam perspektif The Economist, kesannya pemilu di Indonesia adalah sesuatu yang ”amat berisiko”, akrobatik, tetapi harus dilalui. Risiko demokrasi pluralis harus ditanggung oleh Indonesia yang memang plural ini.

Jujur dan adil

Terlepas dari catatan The Economist, kecemasan yang biasa ditimpakan atas ”kejutan demokrasi” di Indonesia adalah, minimnya persyaratan, khususnya jika dikaitkan dengan tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat. Dalam ”demokrasi syarat” tingkat kesejahteraan masyarakat yang minim dapat menjadi masalah. Kualitas demokrasi bisa merosot saat yang berkembang adalah pragmatisme-transaksional yang sarat politik uang dalam praktik demokrasi politik.

Dengan sistem yang lebar peluangnya bagi politik uang dan kecurangan pemilu, kualitas demokrasi kian dipertanyakan. Yang menjadi masalah serius adalah adanya ketidakpastian dalam mengawal hasil perhitungan suara. Mekanisme pengawasan manual amat riskan atas peluang kecurangan pemilu. Kepastian terhadap terlaksananya prinsip jujur dan adil dalam pemilu masih menjadi masalah bersama.

Pemilu 1999 dan 2004 telah mendapat apresiasi tingkat dunia dan Indonesia sebagai negara demokrasi yang fenomenal. Tetapi, mata dunia juga kian jeli, apakah pemilu berlangsung sesuai dengan standar internasional. Celah-celah kecurangan pemilu terbuka lebar dan Panwas kurang gereget dalam mengawasi jalannya pemilu, dan membuat kapok para pelanggar. Sementara banyak masyarakat bersikap apatis dengan parpol dan pemilu.

Praktik-praktik pemilu lokal di Indonesia menyumbangkan catatan atas kecenderungan perilaku politik elite dan masyarakat yang dikesankan kian pragmatis. Apatisme juga hadir di tengah kegalauan atas kejutan demokrasi dengan sistem dan mekanisme pemilu yang berubah-ubah. Meski demikian, banyak pihak tetap berkepentingan agar pemilu sukses dan tidak menghendaki pesta demokrasi yang menentukan sejarah masa depan itu gagal. Trauma anakisme politik masih membayang dan rakyat sudah bosan dengan konflik akibat perseteruan politik elite.

Model demokrasi

Pertanyaannya, apakah Indonesia pasca-Pemilu 2009 kian mantap sebagai model negara demokrasi? Jawabannya, bagaimana kenyataan lapangan pada hari pemungutan suara dan setelahnya. Para pemantau pemilu akan menilai, apakah pemilu sukses sesuai dengan standar demokrasi internasional.

Jika dinilai memuaskan, Indonesia akan kian mantap sebagai model negara demokrasi. Sebaliknya, bila dinilai buruk, praktik demokrasi Indonesia akan menjadi sorotan dunia. Bagi elite dan masyarakat Indonesia, penilaian positif dunia amat penting, bukan saja meningkatkan trust, tetapi juga adanya kesadaran kolektif untuk bangkit dari keterpurukan yang diawali penciptaan stabilitas politik yang demokratis.

Demokrasi ala Indonesia sedang menghadapi ujian berat. Pemilu 2009 merupakan pertaruhan besar bagi Indonesia dalam mempertahankan reputasinya sebagai negara demokrasi.

M Alfan Alfian Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta

Dari Massa Mengambang ke Partai Mengambang

M Qodari

Dalam kegiatan survei daerah pemilihan di beberapa tempat, saya beberapa kali bertemu pengurus Partai Golkar dan PDI-P yang heran dengan potensi kenaikan suara Partai Demokrat. Kenaikan itu mencapai dua, tiga, bahkan empat kali lipat dibandingkan dengan Pemilu 2004.

Pengurus partai itu heran. Dia berkata, bagaimana mungkin Demokrat suaranya meningkat drastis sementara ”orangnya” (baca: infrastrukturnya) lemah atau tidak kelihatan. Saya bilang, jangan heran, karena kekuatan Demokrat bukan di jaringan organisasi atau kader. Kekuatan Demokrat ada di media massa, khususnya di televisi, yang menumpang popularitas Susilo Bambang Yudhoyono dan aneka program populis yang dibuat oleh pemerintah.

Jika benar Partai Demokrat unggul dalam Pemilu 2009, seperti diindikasikan beberapa survei, dapat dikatakan, telah terjadi perubahan amat signifikan dalam metode dan instrumen perpolitikan di tingkat nasional. Perubahan tersebut mencakup pergeseran metode kampanye yang paling ampuh dalam menggiring pemilih dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden.

Masa mengambang

Dulu, pada masa Orde Baru dan pada awal era reformasi, metode dan instrumen yang dianggap paling ampuh adalah dengan menggerakkan infrastruktur partai. Infrastruktur yang dimaksud mencakup jaringan organisasi dan kader parpol. Dengan wilayah luas dan penduduk yang banyak, parpol dengan jaringan paling luas dan kader paling banyak yang berpotensi unggul dalam setiap pemilu nasional.

Dasar pemikiran semacam inilah yang membuat Orde Baru, misalnya, membuat sistem massa mengambang. Sistem massa mengambang adalah konsep politik Orde Baru di mana parpol dipotong, bahkan dicerabut akarnya dari masyarakat akar rumput.

Dalam sistem ini, parpol saat itu, PPP dan PDI, tidak diperbolehkan memiliki susunan struktur lebih rendah dari level kecamatan. Sebaliknya, Golkar yang saat itu disebut OPP (organisasi peserta pemilu) memiliki jejaring sampai desa/kelurahan lewat aparat birokrasi dan militer yang saat itu dikonstruksi menjadi bagian rezim berkuasa.

Dengan sistem massa mengambang, Golkar (tepatnya rezimnya berkuasa) memiliki keunggulan komparatif dibandingkan PPP dan PDI. Pertama, keunggulan sosialisasi. Kedua, keunggulan mobilisasi.

Dengan keunggulan pertama, Golkar bisa menyosialisasikan keberhasilan pembangunan dan segala jenis wacana tentang keunggulan dibandingkan dua OPP lainnya. Dengan keunggulan kedua, dalam setiap kesempatan pemilu, Golkar bisa memobilisasi masyarakat untuk ramai-ramai ikut kampanye (pawai maupun rapat umum) dan datang ke tempat pemungutan suara pada hari pemungutan suara.

Kejatuhan rezim Orde Baru menandai berakhirnya sistem massa mengambang. Setiap partai politik dapat membangun struktur sampai ke level yang terendah. Tidak hanya desa, bahkan sampai ke dusun. Tiga parpol yang sudah berdiri pada masa Orde Baru, lepas dari politik massa mengambang, mendapat keuntungan awal dengan infrastruktur lebih merata. Jaringan lebih luas dan kader lebih banyak. Keunggulan infrastruktur inilah yang menjadi keunggulan komparatif Golkar, PDI-P, dan PPP (di luar keunggulan lain) sehingga dalam Pemilu 1999 dan 2004 ketiganya masih menduduki tiga besar kursi terbanyak di DPR.

Iklan

Namun, politik Indonesia terus berubah. Jika, sekali lagi, Demokrat menang dalam pemilu legislatif dengan infrastruktur yang terbatas dibandingkan Golkar, PDI-P, PPP, bahkan PKS, PKB, dan PAN, tetapi dengan pemasangan iklan paling masif di antara partai-partai itu, mungkin inilah bukti kemenangan metode dan instrumen baru dalam pemilu nasional: beriklan!

Tentu iklan tidak berdiri sendiri. Ia harus didasarkan figur yang populer, program kerja populis, dan cara beriklan yang tepat (isi, kemasan, konten, maupun visual). Apa pun itu, besarnya peran iklan dalam mendongkrak popularitas Demokrat merupakan hal nyata. Apalagi iklan tidak hanya bertumpu pada iklan Demokrat yang mengusung tagline ”Lanjutkan!”, tetapi juga iklan layanan masyarakat (ILM) versi pemerintah yang tak kalah masifnya. Iklan PNPM Mandiri dari Menko Kesejahteraan Rakyat mungkin yang paling banyak. Disusul ILM Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan, serta Departemen Komunikasi dan Informatika. Termasuk oleh kejaksaan yang sebelumnya nyaris tidak pernah beriklan.

Infrastruktur

Kemampuan Demokrat untuk beriklan lebih masif daripada Golkar yang notabene jauh lebih senior mungkin merupakan kejutan tersendiri yang gagal diantisipasi Golkar sebagai partner dalam pemerintahan SBY-JK. Eksistensi ILM dari sejumlah departemen merupakan keunggulan komparatif yang terberi dan bisa dimanfaatkan siapa pun, parpol atau presiden yang sedang berkuasa. Yang jelas, jika hal ini mengantar kemenangan Demokrat, akan meninggalkan pekerjaan rumah bagi Partai Demokrat itu sendiri.

Pertama, bagaimanapun infrastruktur yang baik merupakan prasyarat sekaligus pertanda parpol yang sehat. Dengan jaringan organisasi luas dan banyak kader, partai menjadi partai yang kokoh dan memiliki akar di masyarakat. Iklan memang mampu mendongkrak suara, tetapi tidak bisa mengganti peran kader sebagai pintu bagi partai guna menyerap aspirasi masyarakat. Sebaliknya, masyarakat perlu organisasi dan kader partai guna menyampaikan aspirasinya.

Kedua, momentum keberhasilan Demokrat meraih suara terbanyak amat dipengaruhi popularitas figur SBY dan aneka program di pemerintahan yang dikapitalisasi dan diamplifikasi lewat iklan di media massa, khususnya televisi. Momentum ini belum tentu ada lagi pada Pemilu 2014. Jika momentum semacam ini tidak tersedia lagi, Demokrat bisa terjerembap jatuh menjadi partai gurem yang tiba-tiba kehilangan semua suaranya. Ini namanya pindah dari problem massa mengambang ke partai mengambang.

M Qodari Direktur Eksekutif Indo Barometer, Jakarta

Selasa, 07 April 2009

Hasil Pemilu 2004 Jateng

NO.
PARTAI POLITIK
JUMLAH SUARA
PERSENTASE
1
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
5.262.749
29,83 %
2
Partai Golongan Karya
2.846.971
16,14 %
3
Partai Kebangkitan Bangsa
2.595.263
14,71 %
4
Partai Persatuan Pembangunan
1.597.971
9,06 %
5
Partai Amanat Nasional
1.336.477
7,75 %

3. Penetapan Calon Terpilih

Atas dasar perolehan suara masing-masing calon anggota DPRD Propinsi Jawa Tengah (1.042) diketahui bahwa tidak ada satu pun calon anggota DPRD Propinsi Jawa Tengah yang mencapai angka BPP. Dengan demikian penetapan calon terpilih didasarkan pada daftar calon di Daerah Pemilihan yang bersangkutan. Aplikasi norma ini menghasilkan calon terpilih dari 7 partai politik sejumlah 100 orang yang dituangkan dalam Berita Acara KPU Jawa Tengah Nomor 011/BA/V/2004 Tanggal 8 Mei 2004 tentang Penetapan Hasil Pemilu, Perolehan Kursi Partai Politik Peserta Pemilihan Umum dan Penetapan Calon Terpilih Anggota DPRD Propinsi Jawa Tengah Pemilihan Umum Tahun 2004. Dari 100 orang tersebut, 15 orang (15 %) diantaranya perempuan. Periksa Anggota DPRD Terpilih.

Pemilu 2009 Diprediksi "Kubur" 27-30 Parpol Gurem

Survei Pemilih Partai Pemilu 2009

Selasa, 7 April 2009 | 17:33 WIB
Laporan wartawan KOMPAS.com Inggried Dwi Wedhaswary

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketentuan parliamentary threshold sebesar 2,5 persen pada Pemilu 2009 ini diprediksi akan berimbang banyak mengubur impian partai-partai peserta pemilu, terutama partai kecil. Dengan jumlah peserta pemilu yang mencapai 38 partai membuat sebaran suara akan terpecah.

Apalagi, berdasarkan survei Lingkar Survei Indonesia (LSI), sembilan partai yang diprediksi menjadi penghuni Senayan akan meraup 75 persen suara. Adapun 29 partai lainnya, jika ditotal, hanya mengumpulkan 25 persen suara.

"Pada pemilu tahun 2009 ini akan ada kuburan mayoritas partai kecil. Sekitar 27 sampai 30 partai kecil tidak akan mencapai parliamentary threshold atau lebih kecil dari 2,5 persen," ujar Denny, pada launching hasil survei nasional LSI, Selasa (7/4), di Jakarta.

Beberapa sebab ketidakberhasilan partai-partai itu di antaranya kekurangan amunisi untuk menarik dukungan, ekspose publik yang sangat kurang, tokoh utama partai yang kurang menonjol, serta isu yang diusung juga tak 'bergaung'.

"Minimnya dana dan jaringan sosial membuat partai itu akhirnya terkubur," ujar Denny.

Seperti diinformasikan sebelumnya, survei yang dilakukan pada 5 April lalu juga menunjukkan hasil bahwa penghuni DPR hanya akan mampu dipenuhi oleh 8-11 partai politik. Jumlah ini lebih sedikit jika dibandingkan Pemilu 2004, yang meloloskan anggota DPR dari 16 partai politik.

Akbar Tandjung: Golkar Jangan Abaikan Hasil Survei

Dialog Akbar Tandjung mengenai evaluasi kampanye, di Akbar Tandjung Institute, Jakarta, Selasa (7/4)
Selasa, 7 April 2009 | 16:38 WIB
Laporan wartawan KOMPAS.com Inggried Dwi Wedhaswary

JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan Ketua Umum Partai Golkar, Akbar Tandjung, mengingatkan Golkar agar jangan mengabaikan hasil survei. Hasil survei sejumlah lembaga survei yang menunjukkan indikasi penurunan perolehan suara Golkar, menurutnya, harus dicermati dan dijadikan bahan evaluasi.

Hal itu dikatakan Akbar, di Akbar Tandjung Institute, Jakarta, Selasa (7/4). Ia menyatakan tak sependapat dengan pernyataan Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla yang mengatakan bahwa survei tidak bisa dijadikan pegangan.

"Hasil survei patut dijadikan catatan penting bagi Golkar dan tidak bisa meng-underestimate. Apa yang dikatakan JK, survei tidak bisa dijadikan pegangan, kalau pendapat saya, survei harus dijadikan pegangan. Hasil itu dijadikan evaluasi di internal partai, terlepas dari pandangan bahwa survei itu merupakan pesanan," ujar mantan Ketua DPR ini.

Hasil survei empat lembaga beberapa waktu lalu menempatkan Golkar pada posisi ketiga dengan perolehan suara di kisaran 14 persen. Meski menjadikan survei sebagai pegangan, Akbar tetap punya keyakinan bahwa perolehan partai berlambang pohon beringin itu akan melebihi prediksi hasil survei. Ia menebak, Golkar akan memperoleh 16-20 persen suara.

"Angka 20 persen memang tidak mudah. Apalagi, para pendatang baru cukup atraktif, seperti Gerindra dan Hanura. Target audiens dua partai ini juga akan mempengaruhi pemilih Golkar, karena Prabowo dan Wiranto juga dikenal sebagai tokoh Golkar," ujar Akbar.

Kampanye Diikuti 122 Ribu Orang, PKS Masuk Muri


Amanda Ferdina - detikPemilu



Jakarta - Partai Keadilan Sejahtera mendapatkan piagam rekor Museum Rekor RI (Muri) sebagai peserta kampanye terbanyak di Gelora Bung Karno (GBK). Total 122 ribu peserta kampanye tercatat mengikuti kampanye tanggal 30 Maret 2009.

Perinciannya terdiri dari 87 ribu peserta yang menempati kursi, 20 ribu di lapangan sepakbola dan 15 ribu di luar area GBK.

Ketua Umum Muri Jaya Suprana menjelaskan tidak ada unsur politis dalam penganugerahan ini.

"Saya mohon kepada partai-partai yang lain, saya menerima ini (data) dari manajemen Gelora Bung Karno. Ini fakta," ujar Jaya Suprana di sela-sela acara penganugerahan rekor Muri di Kafe D'lounge, Jl Kemang Raya, Jakarta Selatan, Selasa (7/4/2009).

Massa sebanyak itu bukan hitungan Muri, melainkan menurut laporan dari pengelola GBK. Tidak ada perbandingan antara jumlah peserta kampanye PKS dengan partai-partai lain seperti Partai Demokrat, PDI Perjuangan atau Partai Gerindra.

"Muri tidak pakai nominasi tapi yang terbanyak dan kebetulan juga tertib," jelas Direktur Muri Aylawati Sarwono di tempat yang sama.

Ketua Panitia kampanye PKS Adang Daradjatun yang menerima penghargaan dari Muri mengaku merasa bangga. Mantan Wakapolri ini juga menyampaikan permintaan maaf apabila PKS dalam kampanyenya mengganggu kenyamanan warga Ibukota.

Demokrat, PDI-P, Golkar Akan Bersaing Ketat


Selasa, 7 April 2009 | 13:57 WIB
Laporan wartawan KOMPAS.com Inggried Dwi Wedhaswary

JAKARTA, KOMPAS.com — Seperti sudah diprediksi pada survei-survei sebelumnya, survei Lingkar Survei Indonesia (LSI) empat hari menjelang pemilu juga menguatkan prediksi bahwa pertarungan sengit hanya akan terjadi pada tiga partai. Partai Demokrat, PDI Perjuangan, dan Partai Golkar masih berpeluang untuk saling mengalahkan.

Ketiga partai ini diperkirakan memperoleh suara lebih dari 12 persen dan menduduki posisi sebagai papan atas. Siapa pemenang pada 9 April? Sang juara akan ditentukan oleh empat faktor pada empat hari terakhir menjelang pemilu.

Direktur Eksekutif LSI Denny JA menjelaskan, faktor pertama adalah kemampuan mesin lokal memobilisasi calegnya. "Survei menunjukkan bahwa 30 persen responden memilih caleg dan tidak peduli dengan partai politik. Mesin lokal yang kuat akan lebih menguntungkan dan biasanya dimiliki oleh partai besar," kata Denny saat launching hasil survei, Selasa (7/4) di Jakarta.

Untuk faktor ini, PDI Perjuangan dan Golkar lebih unggul dibandingkan Demokrat. Demikian pula untuk faktor kedua, yaitu kemampuan mesin lokal untuk meminimkan golput di basisnya.

"Diduga, golput akan lebih besar dibandingkan golput pada Pemilu Legislatif 2004. Semakin banyak pendukung sebuah partai yang golput, semakin berkurang kekuatannya di bilik suara," kata dia.

PDI Perjuangan dan Golkar pun diprediksi masih lebih unggul dibandingkan Demokrat. Sebaliknya, untuk faktor ketiga, citra partai, Demokrat dinilai lebih unggul dibandingkan dua rivalnya. Begitu juga untuk faktor keempat berupa efek program BLT.

Sebanyak 18 juta kepala keluarga yang mendapatkan BLT akan menguntungkan bagi partai berasosiasi positif dengan BLT. "Demokrat lebih unggul di citra partai dan BLT. Namun, PDI Perjuangan dan Golkar unggul di mesin lokal dan meminimalkan golput di basisnya," kata Denny.

Survei yang dilakukan terhadap 1.200 responden di 33 provinsi ini masih menyisakan 21 persen responden yang belum menentukan pilihannya. Masa tenang selama tiga hari ini, menurut Denny, akan menentukan negasi suara paling masif.

Ke Mana Larinya Suara Partai Islam?


Tantangan berat menghadang partai-partai politik (parpol) berideologi Islam maupun yang dekat dengan kultur Islam. Suara partai-partai tersebut diprediksi akan mengalami penurunan dibandingkan dengan hasil yang mereka raih pada 2004.

Hasil survei Pusat Kajian Politik Fisip Universitas Indonesia (Puskapol UI) belum lama ini menegaskan dominasi partai-partai nasionalis atas partai-partai Islam. Dalam survei yang dilakukan pada 13-20 Maret 2009 (masa kampanye terbuka) tersebut, suara PKS diprediksi hanya akan mencapai 4,43%, masih kalah dari partai baru Gerindra dengan 4,62%.

Sementara partai-partai lain juga mengalami hal yang sama seperti PKB, PPP, PAN. PKB berada di belakang PKS dengan perolehan suara 4,24%, disusul PPP (4,00%) dan PAN (3,61%). Sementara posisi tiga besar dikuasai Partai Demokrat (21,38%), PDIP (17,77%), dan Golkar (16,56%).

Temuan di atas paralel dengan hasil survei sebelumnya yang dilakukan oleh empat lembaga (CSIS, Puskapol UI, LIPI, dan LP3ES) pada 13 Maret 2009. Dalam survei tersebut, Partai Demokrat masih terdepan dalam perolehan dukungan, yaitu 21,52% responden survei menyatakan bahwa mereka akan memilih Partai Demokrat jika pemilu diadakan pada hari pelaksanaan survei.

PDIP dan Golkar menduduki peringkat kedua dan ketiga yang masing-masing didukung 15.51% dan 14.27% pemilih. Peringkat keempat dan kelima diduduki PPP dan PKS yang hanya memperoleh 4,15% dan 4,07% dukungan; kemudian PKB, PAN, dan Gerindra, masing-masing memperoleh 3.25%, 2.91%,dan 2.62%.

Ada tiga kesimpulan yang dapat diambil dari gambaran ini. Pertama, telah terjadi pengerucutan dukungan pemilih terhadap tiga parpol besar yaitu Partai Demokrat, PDIP, dan Golkar. Kedua, berdasarkan survei ini, diperkirakan hanya akan ada 8 parpol yang akan lolos parliamentary threshold. Ketiga, kemungkinan melejitnya partai baru atau kecil masih sangat kecil.

Bertolak dari fakta di atas, dapat ditarik benang merah bahwa telah terjadi pergeseran perilaku pemilih partai Islam yang mengakibatkan berubahnya peta elektabilitas parpol. Hasil 2004 lalu menegaskan perubahan yang terjadi sekarang ini.

Suara PKS, PPP, PKB, dan PAN pada 2004 jauh lebih tinggi dari capaian mereka pada 2009 ini. PKS misalnya pada 2004 mampu menuai 7,34% suara, sementara PPP mengumpulkan 8,15% suara. Turunnya suara PKS dan partai-partai Islam lain dalam survei ini seolah "konsisten" dan terjadi di banyak partai Islam. Padahal seharusnya, masa depan partai Islam di Indonesia cukup strategis mengingat hampir 90% penduduk Indonesia beragama Islam.

Hanya saja, partai-partai Islam gagal memaksimalkan momentum tersebut sehingga umat Islam justru lebih tertarik ke partai nasionalis dan partai nonagama. Banyak teori perilaku pemilih yang dapat menjelaskan pergeseran pilihan seperti kasus ini. Salah satunya teori sosiologis seperti kesamaan etnik, budaya, dan agama.

Scott C Flanagan (1991) dan Seymour Martin Lipset (1981) melihat kecenderungan pola yang melibatkan faktor-faktor di atas dalam beberapa kasus pemilu di Inggris dan Jepang. David Denver menjelaskan perilaku lebih jauh mengenai voters behavior pada konteks masyarakat Inggris.

Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan- pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku pemilih. Pengelompokan sosial seperti umur, jenis kelamin, agama dianggap mempunyai peranan yang cukup menentukan dalam membentuk perilaku pemilih. Untuk itu, pemahaman terhadap pengelompokan sosial baik secara formal sangat vital dalam memahami perilaku politik.

Pergeseran Pemilih


Menarik dicermati ke mana larinya suara partai-partai Islam pada pemilu April nanti. Partai Demokrat merupakan partai yang paling diuntungkan dari adanya pergeseran pemilih partai Islam tersebut. Suara Partai Demokrat yang hanya 7,4% pada 2004, berdasarkan survei, bisa melejit menjadi 21,38% pada 2009 ini.

Kenaikan 13,98% ini diperkirakan berasal dari pemilih partai-partai Islam. Salah satu alasannya adalah bahwa suara PDIP dan Golkar relatif stabil dengan hasil yang mereka bukukan pada 2004. Dengan margin of error sekitar 2%, suara PDIP tersebut dapat dikatakan stabil. Pemilih PDIP di 2004 terindikasikan akan tetap loyal pada pilihannya. Begitu juga dengan Golkar yang grafiknya relatif stabil walaupun mengalami sedikit penurunan.

Potret yang berbeda akan kita jumpai pada partai-partai Islam sebagaimana dijelaskan di awal tulisan ini. Hampir semua partai Islam mengalami penurunan suara yang signifikan. Daya pikat Partai Demokrat di mata pemilih partai Islam juga menjadi bahan kajian tersendiri.

Menurut Dr Lili Romli, Direktur Puskapol UI, larinya suara pemilih partai Islam ke Partai Demokrat dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, ketokohan SBY yang hingga kini masih unggul di antara caprescapres lain. Kedua, mesin di luar partai yang aktif bergerak di komunitas pemilih Islam.

Untuk yang pertama kita tidak perlu banyak berdebat mengingat hampir semua lembaga survei menempatkan SBY pada pole position menuju bursa pilpres nanti. Khusus untuk yang kedua, hadirnya organisasi keagamaan Majelis Dzikir SBY Nurussalam (MDZ), yang bahkan sudah lahir sebelum SBY terpilih menjadi presiden, menjadi modal politik tersendiri di kalangan pemilih Islam.

Lembaga ini tidak berada dalam struktur Partai Demokrat, melainkan ormas yang berdiri sendiri. Di sisi lain, Partai Demokrat juga tidak memiliki organisasi sayap resmi yang mengkhususkan lahan garapan ke kalangan ulama dan umat Islam. Dengan demikian, hadirnya MDZ seolah menjawab kebutuhan Partai Demokrat untuk mendekati kalangan pemilih Islam yang jumlahnya cukup besar.

Sekilas mengenai aktivitas MDZ, organisasi ini memiliki kegiatan keagamaan rutin yang dijalankan mulai dari tingkat pusat hingga kecamatan. Sebuah aktivitas nonpolitis, tapi memiliki dampak yang cukup signifikan dalam mengelola potensi dukungan komunitas muslim. Infrastruktur organ ini juga cukup lengkap di mana struktur organisasi sudah mencapai kecamatan, bahkan desa.

Dari ilustrasi tersebut sedikit terbuka tabir di balik pergeseran dukungan pemilih partai Islam ke Partai Demokrat saat ini. Kesimpulannya adalah bahwa jika hanya mengandalkan mesin politik Partai Demokrat tidak mungkin terjadi pergeseran dukungan tersebut.

Kini patut kita tunggu apakah datadata survei di atas kertas dan manuver organisasi sayap di luar partai dapat sekali lagi terbukti seperti fenomena 2004? Pemilih yang akan menentukan di bilik suara pada 9 April nanti.(*)

Firman Baso
Sekjen Kaum Muda
Indonesia untuk Demokrasi (KMI)
(Koran SI/Koran SI/jri)

Tak Ada Jaminan Yudhoyono Akan Menang

Jakarta, Kompas - Mayoritas hasil survei mengunggulkan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai yang terkuat untuk Pemilihan Umum 2009. Walau demikian, tidak ada jaminan bahwa Yudhoyono akan memenangi Pemilu Presiden 2009 karena figur calon wakil presidennya juga amat menentukan.

Presiden Lembaga Riset Informasi (LRI) Johan O Silalahi di Jakarta, Sabtu (4/4), menyebutkan, figur calon presiden (capres) bukan jaminan penuh untuk memenangi persaingan dalam Pemilu 2009. Dari survei LRI Maret-April 2009, terungkap hampir separuh responden masih setuju Yudhoyono-M Jusuf Kalla berpasangan kembali dalam Pemilu 2009. Namun, Johan memperkirakan, duet Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto bisa menjadi penantang serius.

Bahkan, apabila Yudhoyono-Kalla kembali berpasangan, Megawati-Prabowo diprediksi tetap akan sanggup memaksa pemilu presiden berlangsung sampai dua putaran. ”Kalau ada yang bilang SBY dipasangkan dengan sandal pun akan menang, itu salah,” kata Johan lagi.

Dalam kesempatan itu, Johan memaparkan hasil survei nasional LRI pada 27 Maret-1 April dengan 2.066 responden di 33 provinsi. Responden dipilih dengan teknik sampling gugus bertahap. Estimasi tingkat kesalahan plus-minus 2,2 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.

Menurut Ketua Partai Demokrat Anas Urbaningrum, tak ada alasan untuk pongah menyikapi hasil survei yang mengunggulkan Yudhoyono. Dari hasil survei tak bisa dipastikan, Yudhoyono pasti menang. Bukan hanya karena pemilu presiden belum berlangsung, melainkan juga faktor calon wapres turut menentukan.

Namun, Partai Demokrat yakin, yang utama adalah faktor calon presiden. Anas juga mengapresiasi hasil survei yang menunjukkan Yudhoyono berpasangan dengan siapa pun relatif diterima. ”Itu mengonfirmasi kesimpulan dan sekaligus harapan kami, SBY memang akan ’enteng jodoh’,” ujar Anas.

Secara terpisah, Ketua Partai Golkar Priyo Budi Santoso mengakui, sejujurnya opsi meneruskan duet Yudhoyono-Kalla masih hidup di Partai Golkar. Hanya saja, menjelang 9 April 2009 semua energi terkonsentrasikan untuk pemenangan pemilu legislatif. Kalla sebagai ketua umum ialah nakhoda Partai Golkar untuk pemenangan Pemilu 2009.

”Kami bangga mendorong Jusuf Kalla menjadi calon presiden,” ujar Priyo.

Menurut Anas, koalisi saat ini masih merupakan ”buku terbuka”. Koalisi tak didasarkan pada rumusan matematis. Koalisi ditetapkan berdasarkan rumus politik demi pemerintahan yang kuat dan efektif. (dik)

Pemilu 2009, Pasar, Korupsi, dan Etika Politik

Menjelang Pemilu Legislatif 9 April 2009, iklan politik gencar muncul di berbagai media. Seperti halnya iklan yang menawarkan produk konsumsi, iklan politik juga menggunakan teknik merayu untuk memasarkan partai politik, calon anggota legislatif, dan program.

Calon pun diperlakukan layaknya konsumen, yaitu membeli yang menguntungkan. Menurut Dr Haryatmoko SJ, pakar etika politik dari Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, dalam diskusi ”Pemilu 2009, Ideologi Kebangsaan dan Etika Politik”, pekan lalu di Yayasan Padepokan Musa Asy’arie Yogyakarta, budaya kapitalisme baru memengaruhi konstituen dan warga negara dalam berhadapan dengan politik. Masyarakat yang konsumtif memengaruhi perilaku dan sikap politiknya.

Haryatmoko berpandangan, demokrasi (pemilu) cenderung diarahkan oleh pasar. Warga negara seperti konsumen. Pembelian bergantung pada pencitraan dan pasar. Politik pencitraan sudah berjalan sangat kuat melalui iklan politik, baik melalui media atau baliho dan poster yang bertebaran di pinggir jalan.

Ideologi kehilangan kemampuannya dalam memobilisasi massa. Orang bosan dengan ideologi yang tidak lagi mampu memberi janji. Masyarakat yang konsumtif menjadikan orang lebih pragmatis. Siapa yang memberikan uang lebih banyak, maka dia yang akan dipilih. Bahkan orang tidak melihat dan bertanya lagi, siapa pemberi uang dan apa ideologinya. Di sini tidak ada lagi pemisahan ekonomi, ideologi, dan kebudayaan.

Korupsi

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan suara terbanyak sebagai dasar penetapan calon anggota legislatif (caleg) terpilih bagai pedang bermata dua. Keputusan itu membuka persaingan terbuka antarcaleg. Kondisi ini memacu praktik politik uang dan persaingan yang tidak sehat. Walaupun putusan tersebut bisa menjadi awal dinamika baru, yaitu kepentingan konstituen lebih diperhatikan dan melemahkan daya tawar partai.

Tantangan terberat terletak pada maraknya politik uang dan rendahnya kualitas caleg. Politik kini berubah menjadi lingkaran mencari mata pencarian. Ini bisa dilihat dari daftar caleg yang dipenuhi pencari kerja. Mengutip Hannah Arendt, politik bukan lagi seni untuk berjasa kepada masyarakat. Politik menjadi lingkaran mata pencarian. Lingkaran proses produksi-konsumsi. Politik dimaknai sebagai upaya untuk bertahan hidup, bukan lagi seni untuk membantu menyejahterakan masyarakat.

Realitas paling mencolok adalah praktik politik uang dengan memberikan uang atau barang lain agar memilih partai atau caleg. Uang dicari untuk menopang konsumsi massa. Uang yang akhirnya mengarahkan sistem demokrasi.

Kondisi itu menjadikan demokrasi bukannya meniadakan korupsi, tetapi malah kian membuka peluang korupsi dengan model baru. Menurut Haryatmoko, politik uang biasanya mendapatkan sumber pembiayaan dari korupsi kartel elite, yaitu korupsi yang mendapat dukungan jaringan politik, ekonomi, militer, birokrasi, atau elite komunal.

Banyak partai diduga terlibat dalam pencarian dana melalui jabatan atau badan usaha milik pemerintah. Namun, korupsi kartel elite sulit dilacak. Ini karena lemahnya kemauan politik membongkar praktik korupsi jenis ini. Untuk memeriksanya mustahil karena hampir semua pihak terlibat.

Korupsi sering mengambil bentuk jaringan kerja sama yang menyangkut seluruh kehidupan politik dan pemerintahan. Biasanya korupsi mengambil bentuk ”struktur korporatis”. Anggota parpol tidak lagi bertanggung jawab secara individual atas tindakannya. Sejauh posisi partai tidak terancam, anggota yang korupsi biasanya akan dilindungi. Kalau bukti telanjur kuat, parpol cenderung membiarkan anggota yang terlibat menghadapi sendiri tuduhannya atau bahkan dilepas dari parpol.

Etika politik

Korupsi yang lekat dengan praktik kekuasaan kian menyadarkan urgensi membangun etika politik. Etika politik, papar Haryatmoko, bukan hanya terkait perilaku politisi, melainkan juga upaya membangun tatanan politik, yaitu produk hukum dan institusi politik yang adil. Perilaku politisi hanya satu dari tiga dimensi etika politik.

Tiga dimensi etika politik yang menentukan dinamika politik, yaitu dimensi tujuan politik, pilihan sarana, dan aksi politik. Dimensi tujuan etika politik, yaitu mencapai kesejahteraan masyarakat dan hidup damai berdasarkan pada kebebasan dan keadilan. Dalam negara demokratis, pemerintah bertanggung jawab mewujudkan komitmen tersebut.

Pada dimensi sarana pencapaian tujuan politik, harus diwujudkan tatanan politik (produk hukum dan institusi) yang mengikuti prinsip solidaritas dan subsidiaritas, keadilan prosedural dan penerimaan terhadap pluralitas, yaitu dihargainya ruang kebebasan politik dan kesamaan.

Prinsip subsidiaritas mengatur hubungan antara individu, kelompok, dan negara, terutama dalam mewujudkan keadilan distributif. Prinsip solidaritas mengandaikan keterlibatan warga negara untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Pada dimensi ini kekuatan-kekuatan politik ditata sesuai dengan prinsip timbal balik.

Pada dimensi ketiga, yakni aksi politik, politisi menentukan rasionalitas politik. Penguasaan manajemen konflik adalah syarat aksi politik yang etis, tindakan politisi harus didasari keberpihakan kepada yang lemah.

Yudi Latief, Kepala Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia (PSIK-Indonesia), berpendapat, dalam etika politik, modal moral, seperti kejujuran, perlu dimasukkan dalam sistem politik untuk membangun perilaku politik yang beretika.

Tantangan yang dihadapi kini adalah memperbaiki tatanan politik yang memungkinkan berkembangnya etika politik. Sebab, dalam tatanan politik yang buruk akan melahirkan warga negara yang beretika buruk pula. Seorang individu yang semula adalah individu yang baik ketika masuk dalam arena politik negara yang buruk akan terjerumus ikut berperilaku buruk, seperti terlibat dalam korupsi.

Mengutip Mohammad Hatta, sila pertama Pancasila adalah fundamen etik bernegara. Sila kedua, ketiga, keempat, dan kelima adalah fundamen politik.

Pemilu dan Kepemimpinan

HM Teddy Thohir
Pemerhati Sosial Politik Indonesia

Hampir dalam sebulan ini, suasana di sekitar kita hiruk pikuk oleh kegiatan kampanye. Pawai dan konvoi berlangsung di mana-mana. Setiap hari, ruang dan waktu kita diselingi oleh ornamen pemilu berupa pidato, diskusi, debat, baliho, selebaran, spanduk, dan juga iklan di media massa. Hampir pada setiap kerumunan, pembicaraan soal pemilu akan muncul. Riuh sekali.

Pemilihan umum memang sudah di depan mata. Dijadwalkan, pada 9 April 2009, rakyat Indonesia akan melakukan pemungutan suara guna memilih secara langsung pemimpin bangsa yang siap duduk di lembaga legislatif. Setelah itu, beberapa bulan kemudian, rakyat kembali akan memilih presiden dan wakil presiden, juga secara langsung. Ini adalah pemilu kesepuluh kali yang pernah dilangsungkan di Tanah Air sejak 1955.

Para ahli dan analis politik mengatakan, pemilu di Indonesia kali ini merupakan yang paling rumit sedunia. Selain sarat dengan aturan mainnya yang kompleks, pesta demokrasi ini diikuti oleh 34 partai politik ditambah enam partai lokal di Aceh. Rakyat secara serempak harus memilih 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD provinsi ataupun kabupaten/kota).

Ada ribuan calon legislatif terdaftar yang harus dipilih rakyat. Siapa saja mereka? Kebanyakan kita tidak tahu dan tidak kenal.

Berbeda dengan pemilihan caleg, pada pemilu presiden dan wakil presiden, prosesnya boleh dibilang lebih sederhana. Para calon presiden dan wakil presiden nantinya diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat 2009. Banyak yang memperkirakan pemilihan presiden dan wakilnya paling banyak hanya akan diikuti oleh tiga pasangan calon.

Oleh karena itu, saya menilai bahwa memilih presiden dan wakilnya jauh lebih mudah dibandingkan memilih caleg yang jumlahnya ribuan. Kalau tidak cukup jeli dan mengenal para caleg tersebut dengan baik, bukan tidak mungkin rakyat akan memilih wakilnya dengan seadanya saja. Bila terjadi demikian, akibatnya pun bisa fatal bagi kelangsungan kepemimpinan negara.

Padahal, kita seharusnya sadar bahwa setiap suara yang kita berikan dalam pemilu itu adalah amanah. Bila ternyata amanah tersebut salah alamat dan jatuh ke orang yang salah, yang akan mengalami kesulitan dan kesengsaraan adalah kita sebagai rakyat.

Begitu menentukannya suara rakyat bagi masa depan bangsa, seharusnya itu membuat kita bersungguh-sungguh dalam menentukan pilihan. Jika tidak, berarti kita memilih dengan tidak bertanggung jawab. Itu sama artinya kita berkhianat terhadap bangsa dan negara. Oleh sebab itu, marilah kita gali informasi dan perbanyak pengetahuan tentang para calon pemimpin yang ada. Untuk selanjutnya, kita pilih sesuai dengan hati nurani kita.

Kejelian dan ketelitian masyarakat untuk memilih calon pemimpin, baik yang duduk di eksekutif maupun legislatif pada tingkat pusat atau daerah, sangat penting agar tata kelola pemerintahan masa datang dapat berlangsung lebih baik. Jadi, saya sarankan, jangan memilih calon yang bermasalah, baik secara pidana maupun moralnya. Juga, jangan pilih pemimpin yang individualis dan materialistis, melainkan usahakan pilih calon yang idealis dan nasionalis.

Kemampuan masyarakat memilih caleg yang tepat akan menciptakan parlemen yang mampu bekerja secara profesional dan berkualitas dalam melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah. Dan, parlemen yang bersih tentu saja akan menciptakan pemerintahan yang bersih pula.

Untuk itu, masyarakat harus diberi pembelajaran, bagaimana memilih pemimpin yang tidak bermasalah itu. Peran Lembaga Swadaya Masyarakat dan media massa cetak, elektronik, atau online sangat penting dalam hal ini. Masyarakat diajak agar peduli dan setidaknya mengetahui riwayat dan perjalanan karier para calon pemimpin tersebut.

Dalam konteks Indonesia sekarang, kita mencari pemimpin yang cinta kepada bangsa dan negara, berakhlak mulia, amanah, beriman, dan bertakwa. Orangnya juga harus cakap, berpengalaman, memiliki pengetahuan dan intelektualitas memadai untuk menjadi pemimpin bangsa, berintegritas tinggi, serta mempunyai visi yang jujur. Jika tidak demikian, sebaiknya dia tahu diri dan tidak usah mencalonkan diri. Jangan sampai ada orang yang mencoba menjadi pemimpin secara dadakan atau instan dengan memanfaatkan kesempatan karena partai politiknya miskin kader dan modal.

Namun, bila kita lihat realitasnya sekarang, dalam daftar caleg muncul beragam calon pemimpin yang kita tidak pernah tahu siapa mereka dan bagaimana jejak rekam riwayat kepemimpinannya. Banyak di antara mereka yang tampaknya hanya mengikuti tren untuk mencoba mengisi jabatan politik. Kita tidak pernah mendengar apa misi dan visi politiknya untuk membangun bangsa. Apakah mereka akan menjadi pemimpin atau penguasa? Atau, seperti yang sudah-sudah, umumnya kepentingan pribadi dan golongannya adalah prioritas mereka.

Oleh sebab itu, kembali saya mengingatkan agar masyarakat berusaha mencermati riwayat dan jejak karier para calon pemimpin tersebut. Lebih baik lagi bila bisa mengetahui kehidupan keluarganya. Sebab, keluarga dapat menggambarkan potret sejati pribadi sang calon pemimpin. Sukseskah dia memimpin keluarganya atau apakah dia datang dari keluarga baik-baik?
Pengalaman hidup yang panjang meyakinkan saya bahwa harapan untuk memperoleh pemimpin yang berkualitas dan teladan bisa dimulai dari lingkungan yang terkecil, yaitu keluarga. Melalui keluarga, sifat kepemimpinan dan keteladanan dapat dipupuk sejak dini. Apalagi bila keluarga tersebut berkualitas.

Keluarga yang berkualitas akan melahirkan anak-anak yang bermutu dan tangguh. Dalam Islam, hal ini selalu didengungkan bahwa untuk menciptakan keluarga yang berkualitas lahir dan batin perlu dibangun sistem secara sakinah.

Keluarga sakinah adalah keluarga yang diliputi ketenangan dan keharmonisan. Dalam keluarga sakinah, terdapat nilai-nilai cinta, kasih sayang, tanggung jawab, kehangatan, kebersamaan, saling menghormati, komitmen, dan komunikasi yang baik. Nilai-nilai itu akan dirasakan oleh seluruh anggota keluarga sehingga pada akhirnya keluarga akan menjadi tempat terbaik bagi anak-anak untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.

Membangun keluarga sakinah tentu tidak mudah dan hanya dapat dilakukan secara bersama-sama. Tidak bisa hanya mengandalkan satu pihak, misalnya ayah. Seluruh komponen keluarga harus terlibat. Membangun keluarga sakinah juga memerlukan proses panjang melalui pengalaman-pengalaman setiap anggota keluarga. Pengalaman itulah yang kemudian akan memberi ruang bagi proses pembelajaran guna membentuk suasana kebersamaan, keseimbagan, dan kesepahaman bagi suami-istri atau anak-orang tua.

Bagaimana caranya membangun keluarga sakinah? Banyak literatur atau nasihat para ulama yang bisa kita baca atau dengar sebagai tuntunan. Umumnya, ada tiga syarat utama untuk membentuk keluarga sakinah. Pertama, secara bersama-sama menjalin hubungan vertikal dengan Allah SWT dengan sungguh-sungguh. Artinya suami, istri, dan anak menjadikan ibadah dan cinta kepada Allah sebagai titik sentral kehidupan mereka.

Kedua, selalu menciptakan hubungan horizontal antarseluruh anggota keluarga secara adil, jujur, dan penuh kasih sayang. Ketiga, seluruh komponen keluarga dilatih untuk bekerja keras. Semua harus menyadari bahwa setiap apa yang diinginkan selalu harus diperjuangkan untuk mendapatkannya, tidak instan. Oleh karena itu, agama sangat menganjurkan kita untuk bekerja keras penuh semangat, termasuk dalam beribadah.

Apabila keluarga seperti itu terwujud, insya Allah kita akan dapat meraih kesuksesan dan kebahagiaan secara spiritual, intelektual, finansial (rezeki), moral, ideologi, dan juga seksual. Sungguh, sebuah keluarga indah yang secara lengkap itu disebut sebagai keluarga sakinah mawaddah wa rahmah.

Keadaan tersebut harus terus dibina dan dijaga. Sebab, bila diabaikan, bisa melunturkan semangat kesakinahannya. Misalnya, dengan melakukan hal-hal kecil, seperti shalat berjamaah, saling mendoakan, jalan atau makan bersama, ngobrol, atau berkumpul setiap minggu dengan anak, cucu, menantu, dan sebagainya. Hal ini akan menambah eratnya ikatan batin antara suami, istri, anak, mantu, cucu, dan komponen keluarga lainnya.

Saya percaya, pemimpin yang baik dan berkualitas akan lahir dari keluarga semacam itu. Yaitu, pemimpin yang memiliki visi ke depan yang jelas, merakyat, memiliki kepribadian kuat, selalu bersikap idealis, bermartabat, merakyat, percaya diri, memiliki rasa tanggung jawab, peduli pada nasib orang lain, dan selalu mendahulukan kepentingan umum.

Oleh karena itu, saya ingin mengulang kembali imbauan saya agar para pemilih mencermati siapa yang akan dipilih. Perhatikan riwayat keluarga dan jejak rekam kegiatannya selama ini. Bila dia kotor atau tidak jelas riwayatnya, singkirkan dari daftar pilihan Anda.

Kepada para caleg, saya berharap agar mereka maju sebagai calon. Mudah-mudahan dengan cita-cita menjadi pemimpin, bukan penguasa. Sebab, penguasa itu berkarakter mengendalikan, sedangkan pemimpin memberikan inspirasi. Di samping itu, seorang pemimpin bertindak berdasarkan kebijakan, sedangkan penguasa berlandaskan kekuasaan dan penindasan.

Para caleg juga harus membuktikan bahwa mereka maju dengan dasar orientasi ingin berjuang dan membaktikan diri bagi kepentingan kemajuan bangsa dan negara. Jadi, bila mereka tidak siap untuk serius memperjuangkan kepentingan rakyat dan berani berpolitik secara bersih, lebih baik mundur atau tidak usah mencalonkan diri menjadi pemimpin bangsa.

Harus juga diingat bahwa pemilu adalah manifestasi dari demokrasi dan bukan sekadar soal menang atau kalah. Tujuan akhirnya adalah terbentuknya parlemen dan pemerintahan baru yang mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Itulah esensi demokrasi: terciptanya keadilan dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, mari kita lanksanakan pemilu dengan jujur, adil, dan damai.

(-)

Menggagas Parlemen Berkualitas


H Mutammimul Ula SH.
Anggota DPR RI

Masa kampanye terbuka telah dimulai sejak tanggal 16 Maret kemarin. Pesta demokrasi untuk seluruh rakyat menjadi meriah dengan bertaburannya bendera-bendera partai politik dan gambar para calon anggota legislatif di setiap sisi jalan utama sampai digang-gang sempit rumah penduduk untuk pemilu legislatif 9 April nanti. Sebanyak 11.301 calon anggota DPR mengikuti pemilihan umum legislatif yang diusung oleh 38 partai politik untuk merebut 660 kursi DPR RI. Dengan demikian jumlah calon yang akan memperebutkan kursi panas di Senayan harus berjuang dengan ekstra keras. Persaingan yang keras bukan hanya menghadapi caleg dari partai lain, tetapi juga menghadapi caleg dari partai yang sama untuk meraih suara terbanyak.

Sementara citra parlemen sudah begitu tercoreng oleh persepsi publik bahwa sebagian dari mereka korup, malas, kerap absen, tidak amanah, tidak peduli dengan kepentingan konstituen, tidak efektif menjalankan program legislatif. Apakah tingginya antusias untuk menjadi anggota DPR sebagai upaya untuk memperbaiki citra DPR atau ingin menikmati segala kemewahan yang selama ini ada di DPR? Ini tentu menjadi pertanyaan bagi kita semua rakyat Indonesia.

Legislative heavy
Penguatan fungsi dan peran DPR terjadi sangat signifikan setelah reformasi adalah dengan ditegaskannya DPR sebagai lembaga legislatif baik secara fungsi maupun institusinya. Hal ini merupakan hasil perubahan yang dilakukan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1). Hasil Perubahan UUD 1945 Pasal 5 ayat (1) menyatakan Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Pasal 20 ayat (1) menyatakan Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Dengan adanya ketentuan ini membuat kedudukan DPR sebagai lembaga legislasi sangat strategis untuk menentukan kebijakan negara.

Dalam perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945 muncul Pasal 20A yang semakin memperkuat kedudukan DPR. Hal ini seakan merubah eksekutive heavy menjadi legislative heavy. Ayat (1) menyatakan DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan fungsi pengawasan. Ayat (2) dan (3) menyatakan DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.

Namun realitanya citra DPR justru tidak begitu bagus. Setiap hari yang muncul di media masa adalah sentimen negative dari para wakil rakyat yang terhormat. DPR yang terdiri dari 10 fraksi dan dilengkapi dengan alat-alat kelengkapan, yaitu sebelas komisi, satu Panitia Anggaran dan tiga Badan Legislasi, Badan Kerja Sama Antarparlemen dan Badan Urusan Rumah Tangga. Serta Badan Kehormatan DPR memiliki kinerja yang rendah. Rapat paripurna DPR lebih sering kosong karena banyaknya anggota DPR yang bolos dengan berbagai alasan.

Dilihat dari kinerja pembuatan undang-undang kinerja DPR masih sangat jauh dari apa yang kita harapkan bersama. Prolegnas lima tahunan yang ditetapkan pada tahun 2005 telah menetapkan 284 RUU sebagai prioritas yang akan diselesaikan dalam periode lima tahun. Tapi Dewan hanya mampu menyelesaikan rata-rata 36 rancangan undang-undang per tahun.

19 Desember 2008, DPR periode 2004-2009 baru berhasil menyelesaikan 155 RUU dari total sebanyak 284 RUU yang masuk dalam daftar prioritas legislasi nasional (prolegnas). Target legislasi ini jauh dari selesai meski sudah melewati angka 50%. Namun apabila dilihat lebih jauh, sebagian besar dari jumlah tersebut (total 92 yang terdiri dari 60 RUU pemekaran Wilayah, 15 RUU pengesahan Konvensi Internasional, 11 RUU terkait APBN dan 6 RUU pengesahan Peraturan.

Dilihat dari fungsi anggaran DPR malah menjadi lembaga percaloan dan makelar untuk meningkatkan anggaran terhadap lembaga pemerintah dan ke daerah-daerah. Hal ini dibuktikan dengan divonisnya beberapa anggota DPR oleh Pengadilan korupsi dan yang tertangkap tangan oleh KPK. Saat ini ada 9 anggota Dewan yang dijerat korupsi yaitu Al Amin Nasution (Anggota Fraksi partai Persatuan Pembangunan ini dijerat kasus suap alih fungsi hutan di Bintan, dihukum 8 tahun penjara), Yusuf Emir Faisal (anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa yang dijerat perkara suap alih fungsi hutan di Bintan), Sarjan Taher (anggota Fraksi Demokrat yang juga terjerat kasus suap alih fungsi hutan di Bintan, dihukum 4,5 tahun), Saleh Djasit (anggota Fraksi partai Golkar yang terjerat kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran), Bulyan Rohan (anggota Dewan asal Partai Bintang Reformasi terjerat kasus suap Departemen Perhubungan), Noor Adnan Razak (anggota Fraksi Amanat Nasional terjerat kasus suap proyek Bapeten), Antony Zeidra Abidin (anggota Fraksi Partai Golkar terjerat skandal korupsi Bank Indonesia), Hamka Yamdu (anggota Fraksi Partai Golkar terjerat skandal korupsi Bank Indonesia), Abdul Hadi Jamal (anggota Fraksi Amanat Nasional terjerat kasus suap proyek pelabuhan dan bandara kawasan Indonesia Timur).
Persoalan moralitas anggota DPR juga masih begitu memalukan dan sangat tidak terpuji. Lembaga DPR seolah menjadi lembaga mesum dengan tersiarnya video M Yahya Zaini (Golkar) dan foto syur Max Moein (partai PDI P).

Merubah untuk berwibawa
Saat ini, harapan untuk membangun wajah baru parlemen agar kinerjanya lebih baik tertumpu pada anggota-anggota legislatif. Untuk membangun wajah baru parlemen dibutuhkan langkah-langkah yaitu pertama dari segi karakter moral. Seharusnya setiap anggota DPR tidak lagi menjadikan DPR sebagai tempat untuk mencari makan tetapi tempat aktualisasi politik. Oleh karena itu hendaknya orang-orang yang ingin menjadi anggota dewan harus memiliki keuangan yang baik sehingga tidak tergoda untuk menyalahgunakan kewenangan yang dimiliki DPR.

Kedua, Penguasaan mutlak anggota DPR terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Tugas dan fungsi DPR merupakan pengejawantahan dari konstitusi, Oleh sebab itu sudah menjadi keharusan bagi setiap anggota DPR memahami Undang-Undang Dasar 1945. Bagaimana mungkin seorang anggota dewan dapat menjalankan tugasnya bila tidak memahami konstitusi.

Ketiga, Pendalaman terhadap tata tertib DPR. Setiap anggota DPR harus menjadikan Tatib sebagai pegangan, dimiliki serta dijadikan buku saku. Tatib menjadi prosedur tetap yang harus dipatuhi oleh setiap anggota DPR. Pelanggaran terhadap Tatib bisa berdampak besar terhadap diri pribadi anggota DPR maupun pada produk legislasi yang dihasilkan. Ada beberapa undang-undang yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan tata tertib DPR.

Keempat, kontrol fraksi/partai terhadap anggotanya. Kontrol yang dimaksud bukan dalam arti sikap politik tetapi etika perilaku para anggotanya. Kontrol ini akan membuat anggota tidak lepas kendali dan berbuat sesuka hati. Kasus korupsi yang dilakukan oleh anggota dewan merupakan bukti begitu rendahnya kontrol partai dan fraksi terhadap anggotanya. Sebenarnya partai dan fraksi ikut bersalah dalam kasus korupsi yang dilakukan oleh para anggotanya dengan cara pembiaran/membiarkan mereka melakukan tindak pidana korupsi tanpa usaha untuk mencegah agar tidak terjadi.

Kelima, merubah kinerja kepemimpinan DPR. Kepemimpinan DPR yang hanya sebagai speaker mempengaruhi kinerja seluruh anggota DPR. Pimpinan DPR seakan dilepaskan dari organ DPR itu sendiri. Dalam sidang-sidang paripurna DPR jarang sekali pimpinan DPR hadir secara lengkap. Hal ini menjadi contoh buat anggota dewan untuk tidak hadir dalam rapat-rapat paripurna. Unsur pimpinan tidak pernah mengontrol secara langsung sidang-sidang komisi dan pansus yang sedang berlangsung. Ini tentunya membuat kinerja komisi dan pansus tidak termonitoring secara baik oleh pimpinan DPR.

Keenam, pemberian staffing yang baik kepada setiap anggota dewan. Tugas berat anggota dewan sangat tidak mungkin untuk ditanggung sendiri oleh anggota dewan. Bagaimanapun juga anggota dewan memiliki keterbatasan pengetahuan, kemampuan dan waktu. Oleh karena itu anggota dewan sangat memerlukan bantuan dari tenaga ahli yang dapat mendukung kinerja kedewanan. Staffing harus bekerja dan meningkatkan kinerja para anggota dewan.

Ketujuh, pemberdayaan pasangan kerja DPR. Terjadinya kasus korupsi yang dilakukan oleh anggota dewan tidak terlepas dari peran serta pemerintah sebagai penyusun dan pengguna anggaran. Mitra kerja tiap-tiap komisi yaitu departemen-departemen tertentu dan lembaga negara lebih senang untuk bagi-bagi jatah agar tidak dikritisi oleh anggota DPR. Oleh karena itu presiden harus memberi penegasan bahwa setap departemen yang yang menjadi mitra DPR tidak ada main mata dengan oknum anggota DPR.

Hasil pemilu 2009 merupakan momentum untuk mengubah parlemen menjadi suatu lembaga yang berwibawa. Masyarakat harus memilih wakilnya di DPR secara benar agar nantinya terbentuk DPR yang lebih baik. Dengan demikian akan terjadi proses checks and balances antara eksekutif dan legislatif sehingga tercipta pemerintahan yang bersih dari KKN. Bila kita gagal untuk membenahi parlemen ke depan, maka masa depan reformasi akan semakin tidak jelas.

Kata Empat Lembaga Survei, Tgl 9, Demokrat Jawaranya.

Pemilu tinggal dua hari lagi, masa kampanye sudah berakhir. Kini elit parpol hanya bisa berdoa dan berharap-harap cemas mengenai perolehan suara masing-masing parpolnya. Sebagaimana lazimnya, untuk mengukur sebuah hasil pemilu legislatif sebelum kegiatan dilaksanakan, upaya jajak pendapat dari lembaga survei dipandang merupakan hal yang “lumrah” dan valid.

Empat lembaga survei yang melaksanakan survei dengan tengat waktu antara tanggal 13 Maret s/d 3 April yang merilis hasilnya semuanya berkesimpulan, menurut persepsi publik, maka Partai Demokrat akan menjadi partai terunggul dalam perolehan suara. Keempatnya adalah Pusat Kajian Politik UI (Puskapol UI) menggelar survei dari 13 s/d 20 Maret 2009, Lembaga Survei Nasional (LSN) menggelar survei (23 Maret s/d 3 April 1009), Lembaga Riset Indonesia (LRI) 27 Maret s/d 1 April, Sugeng Saryadi Syndicate (SSS) 28 Maret s/d 1 April 2009.

Puskapol UI memberikan data Partai Demokrat (21.38%), PDIP (17,77%), Golkar 16,56%) Gerindra (4,62%), PKS (4,43%), PKB (4,24%), PPP (4 %), PAN (3,61%), Hanura (2,99%).

LSN mengeluarkan data Demokrat (19,30%), PDIP (16,20%), Gerindra (15,60%), Golkar (14,00%), PKS (6,60 %), PAN (4,30%), PPP(4,10%), PKB (4,00%), Hanura (2,10%).

LRI mengeluarkan data Demokrat (20,66%), Golkar (18,05%), PDIP (16,31%), PKS (8,54%), Gerindra (5,76%), PAN (3,15%), PPP (2,188%), PKB (1,36%), Hanura (1,02%).

SSS mengeluarkan Demokrat (20,20 %), PDIP (13,50%), Golkar (12,20%), Gerindra (10,40%), PKS (9,70%), PAN (5,80%), PPP (4,20%), Hanura (3,60%), PKB (3,00%).

Dari data yang dirilis empat lembaga survei tersebut, Partai Demokrat terlihat menduduki tempat teratas dan rata-rata perolehan suaranya diatas 20%. Tempat kedua dan ketiga umumnya masih diduuki PDIP dan Partai Golkar. Yang menarik, lembaga survei LSN dan SSS menempatkan Partai Gerindra pada kedudukan ketiga dan keempat. Bahkan LSN memperkirakan perolehan suara Gerindra akan melampaui Partai Golkar. Yang terpenting dari hasil survei ke-empat lembaga tersebut, mereka sama-sama memperkirakan bahwa parpol yang akan lolos “parliamentary threshold” hanya sembilan parpol, terdiri dari tujuh parpol lama dan dua parpol baru.

Mengenai kebenaran hasil survei tersebut, kita tunggu hasil pileg yang tersisa dua hari lagi akan dilaksanakan. Kebenaran hasil survei lembaga-lembaga tersebut dibandingkan hasil pileg akan menentukan kredibilitas Lembaga itu sendiri. Kita lihat saja nanti. Selamat mengikuti dan melaksanakan pemilihan umum, mari kita sukseskan pesta demokrasi ini dengan jujur, adil, aman. Semoga Allah Swt memberikan petunjuk dan ridho kepada bangsa Indonesia dalam memilih wakil-wakilnya di DPR, DPD dan DPRD. Salam.

PRAYITNO RAMELAN, Guest Blogger Kompasiana

Senin, 06 April 2009

LSN: Jika Pemilu Hari Ini, Partai Gerindra Nomor 3


Andi Saputra - detikPemilu




Jakarta - Lembaga Survei Nasional (LSN) memprediksi Partai Gerindra menempati urutan ke 3 dalam perolehan suara nasionalnya. Partai besutan Prabowo ini mendapatkan 15,6 persen. Partai nomor satu dan dua adalah Partai Demokrat dan PDI Perjuangan dengan peolehan masing-masing 19,3 dan 16,2. persen

"Jika survei dilakukan hari ini maka Partai Gerindra menempati urutan ke 3 dari 38
partai. Survei dilakukan dari tanggal 28, maret hingga 3 April 2009 di 33 propinsi
dengan 1230 responden," kata Direktur Eksekutif LSN, Umar S. Bakery dalam Konferensi Press di Hotel Century Atlet, Senayan, Jakarta Pusat, Senin, (6/4/2009).

Menurut Umar, peningkatan suara Gerindra ini sangat fenomenal mengingat survey LSN pada akhir Februari 2009, kurang dari 10 %. Strategi Gerindra ini didukung oleh iklan media yang banyak serta membludaknya massa di setiap kampanye sehingga mengakibatkan angka tersebut naik hingga 50 persen menjadi 15,6 persen suara.

"Teknik pengambilan sampel acak bertingkat (multistage random sampling) dengan margin error +/- 2,8 %," tambahnya.

Dari hasil ini, ada 3 faktor yang membuat Partai Gerindra menjadi idola. Pertama karena sosok Prabowo, program kerja yang ditawarkan dalam masa kampanye menyentuh harapan dan selama masa kampanye, Partai Gerindra tampil impresif.

"Pengumpulan data dilakukan melalui teknik wawancara tetap muka dengan responden," pungkasnya.

Hasil Survei LSN


Diprediksi Hanya 10 Partai Lolos ke Parlemen
Andi Saputra - detikPemilu



Jakarta
- Lembaga Survei Nasional (LSN) memprediksi hanya ada 10 parpol yang akan lolos memenuhi parliamentary treshold. Dari 10 partai itu, hanya 2 partai baru yang diprediksi bisa masuk Senayan.

"2 partai baru itu adalah Partai Gerindra dan Partai Hanura. Lainnya partai-partai besar dan menengah yang selama ini mengisi parlemen," kata Direktur Eksekutif LSN, Umar S. Bakery dalam Konferensi Press di Hotel Century Atlet, Senayan, Jakarta Pusat, Senin, (6/4/2009).

Menurut Umar, perjuangan keras untuk mempertahankan kursi di DPR harus dilakukan oleh Partai Golkar. Alasannya, partai ini hanya diprediksi mencapai 14% saja.

"JK baru serius kampanye sejak di ledek terkait perolehan Golkar 2,5 %. Ini yang menjadikan hasil survei Golkar di nomor 4," tambahnya.

Hasil survei LSN terhadap 10 partai tersebut adalah Partai Demokrat (19,3), PDIP (16,2), Partai Gerindra (15,2), Partai Golkar (14), PKS (6,6) PAN (4,3), PPP (4,1), PKB (4), dan Partai Hanura (2,5)

Minggu, 05 April 2009

Hasil Survei, LSI Prediksi 28 Parpol Tak Lolos PT


Minggu, 5 April 2009 - 17:31 wib
Rosmiyati Dewi Kandi - Koran SI

JAKARTA - Lembaga Survei Indonesia (LSI) menduga, sekira 28 partai politik peserta Pemilu 2009 tidak lolos parliamentary threshold (PT) sebesar 2,5 persen.

Sedangkan tiga partai lainnya yakni Partai Bulan Bintang, Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), dan Partai Damai Sejahtera (PDS) masih sulit diprediksi apakah akan lolos PT atau justru harus mundur teratur dari pemilu.

Berdasarkan survei terbaru yang dirilis LSI, PBB hanya mampu meraup 1,4 persen suara, PKNU 1,3 persen, dan PDS 1 persen.

"Jadi sampai hari ini sulit dipastikan apakah mereka akan mampu atau tidak untuk mencapai angka minimal 2,5 persen," tutur peneliti utama LSI Dodi Amardi dalam siaran pers hasil survei "Efek Kampanye Terbuka pada Peta Kekuatan Partai Menjelang Pemilu Legislatif 2009" di Kantor LSI di Jakarta, Minggu (5/4/2009).

Survei LSI tersebut dilakukan pada 31 Maret-1 April 2009 terhadap 2.486 responden.

Sedangkan 28 partai yang mungkin tidak lolos ambang keterwakilan partai di parlemen, adalah partai politik yang merupakan partai baru berdiri dan kecil. (lsi)