Kamis, 02 April 2009

Otak-Atik Menyusun Koalisi


Kamis, 2 April 2009 | 03:02 WIB

Mungkin benar, dalam dunia politik yang ada hanya kepentingan abadi. Alih-alih bersaing dalam pemilu legislatif April mendatang, sejumlah elite parpol justru mulai tampil mesra demi menjajaki peluang kongsi politik untuk pemilu presiden. Namun, keinginan elite belum tentu bersambut di akar rumput. Bagaimana membangun koalisi berbasis akar rumput?

Bagi mesin politik partai, menjaring dukungan bukan persoalan mudah. Apalagi, menyatukan kekuatan politik dalam sebuah persekutuan. Berdasarkan survei yang menelusuri loyalitas pemilih menjelang Pemilu 2009, hampir seluruh parpol memiliki pola dukungan yang rentan.

Kondisi ini terlihat dari berubahnya pilihan massa parpol pada Pemilu 1999 dan 2004. Kebimbangan semacam ini diperkirakan terjadi pada Pemilu 2009. Setiap lima orang dari 10 pemilih memiliki pilihan berbeda dengan Pemilu 2004.

Hanya ada segelintir partai yang mampu mempertahankan basis pendukung. Terdapat tiga partai dengan tingkat loyalitas di atas 60 persen, yakni PKS (76,7 persen), PDI-P (67,5 persen), dan Partai Golkar (63,4 persen). Bahkan, Demokrat yang diprediksi berada di posisi teratas pun terancam ditinggalkan sejumlah pendukungnya. Tingkat loyalitas pendukung Demokrat diperkirakan sekisar 59 persen. Namun, di sisi lain, rendahnya loyalitas pemilih justru memuluskan jalan koalisi di tingkat akar rumput.

Berdasarkan survei, Demokrat merupakan partai yang berpeluang menggalang koalisi akar rumput paling besar dibandingkan partai papan atas lainnya. Partai ini mendapatkan paling banyak simpati dari pendukung partai lainnya. Setiap 10 pendukung partai lain, tiga di antaranya mengharapkan Demokrat memenangi Pemilu 2009. Kemungkinan besar, figur Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendongkrak dukungan bagi Demokrat.

Berdasarkan survei, Demokrat, PKS, dan PAN memiliki pola dukungan dengan karakteristik yang mirip, yakni berbasis masyarakat perkotaan dengan pendidikan menengah-tinggi. Pengaruh citra partai pun cukup kuat untuk merangkul pemilih berlatar belakang profesi dominan, seperti PNS, pengusaha, dan pegawai swasta.

Melihat kesamaan kultural itu, tidak salah jika menjelang pilpres 2009 Demokrat berupaya membangun ”jembatan emas” dengan menggandeng PKS dan PAN. Kemungkinan, upaya elite membangun koalisi ini berjalan mulus di tingkat bawah. Terlebih, PKS merupakan partai kader yang sejauh ini mampu secara efektif menggiring pendukungnya mengikuti setiap keputusan partai.

Kongsi Demokrat dan partai Islam modern pernah mendulang sukses dalam sejumlah pilkada. Salah satunya, di Provinsi Bangka Belitung pada 22 Februari 2007 ketika koalisi Demokrat, PBB, PKS, dan PAN sukses memenangkan Eko Maulana Ali-Syamsuddin Basari. Pilkada ini mendapatkan respons cukup besar dari masyarakat dengan tingkat partisipasi 71,7 persen.

Peluang koalisi juga terbuka lebar bagi Partai Golkar. Partai papan atas ini memiliki akar rumput yang kuat, terutama di luar Jawa. Berdasarkan survei, latar belakang ekonomi pendukungnya cukup beragam, terutama dari petani dan PNS. Selain itu, partai juga didukung sekitar 16 persen pemilih Islam NU.

Berdasarkan catatan di ajang pilkada, Golkar masih berjaya menggerakkan sejumlah koalisi. Dari 32 pilkada di tingkat provinsi, enam pilkada merupakan catatan keberhasilan koalisi Golkar dengan sejumlah partai, baik nasionalis maupun Islam. Melihat kondisi itu, besar kemungkinan pada pilpres 2009 Golkar perlu partai pendamping yang memiliki basis cukup mapan di perkotaan. Tentu, dengan kesamaan latar belakang kultural pendukung Golkar yang masih banyak mengandalkan pemilih berpendidikan menengah-rendah.

Sementara itu, PDI-P tampaknya lebih mudah berkoalisi dengan partai Islam bercorak tradisional. Sebab, seperti halnya partai Islam tradisional, basis pendukung PDI-P didominasi masyarakat berpendidikan rendah di pedesaan, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Selama kurun waktu 30 tahun terakhir, partai ini banyak memainkan peran di kalangan buruh dan nelayan yang menjadi sekitar 40 persen pendukungnya. Karakteristik pendukung PDI-P ini mirip dengan PPP. Berdasarkan survei, keduanya memiliki peluang dukungan sedikitnya 10 persen dari pemilih Islam NU.

Saat ini, PDI-P tampak antusias menyambut kemungkinan aliansi Golkar. Bersama dengan PPP, tiga parpol ini giat menggelar komunikasi politik menggalang kekuatan ”segi tiga emas”. Tampaknya PDI-P dan Golkar berpeluang untuk saling mengisi kekurangan masing-masing. Pola dukungan PDI-P yang relatif merata antara Jawa dan luar Jawa dapat menutupi kelemahan Golkar di Jawa. Selain itu, kemiripan latar belakang pendidikan dan ekonomi pendukungnya juga diperkirakan memuluskan koalisi ini di tingkat bawah.

Namun, lagi-lagi, tidak ada rumus baku untuk mencari kecocokan antarparpol. Selain merekam keberhasilan sejumlah koalisi, rentetan 473 pilkada selama 2005-2008 juga menunjukkan bahwa kongsi politik itu tidak pernah langgeng.

(Indah Surya Wardhani/Litbang Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar