Rabu, 01 April 2009

Menyingkap Rumah Politik Nahdliyin


Rabu, 1 April 2009 | 02:59 WIB

Afiliasi politik pemilih berlatar belakang Nahdlatul Ulama tidak serta-merta diwujudkan pada partai politik yang dekat dengan komunitas dari organisasi keagamaan terbesar di Indonesia tersebut. Kini partai-partai bercorak nasionalis justru cenderung menjadi pilihan. Yohan Wahyu

Kecenderungan demikian menjadi salah satu temuan dari survei Litbang Kompas. Dari berbagai partai bercorak nasionalis itu, Partai Demokrat (PD) menjadi partai politik pilihan dari bagian terbesar responden pemilih NU.

Partai yang didirikan Susilo Bambang Yudhoyono ini dipilih oleh 29,8 persen responden warga NU. Selanjutnya 19,4 persen pemilih nahdliyin berniat mengarahkan suaranya ke PDI Perjuangan (PDI-P) pada Pemilihan Umum 2009. Adapun Partai Golkar menempati posisi ketiga sebagai partai politik yang banyak dipilih oleh warga NU dengan besaran dukungan mencapai 16,3 persen suara.

Suara pemilih NU juga menyebar ke Partai Persatuan Pembangunan (7,1 persen) dan Partai Keadilan Sejahtera (6,8 persen).

Ironisnya, partai politik yang dekat dengan NU, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), mendapat dukungan suara jauh lebih rendah dari kelima partai politik yang disebut di atas. PKB hanya meraih 5,9 persen suara dari responden warga NU dan 1,3 persen responden yang lain mengaku memilih PKNU. Dalam tubuh PKB sendiri, tidak lebih dari 82 persennya adalah kalangan NU. Padahal, dua partai ini memiliki hubungan sejarah politik yang sama. PKNU lahir sebagai buah dari konflik yang terjadi dalam PKB. Pemilih NU pun berpotensi terbelah ke dua partai yang sama-sama mencantumkan gambar sembilan bintang dalam logonya ini.

Tidak terikat

Tingginya simpati pemilih NU kepada partai politik bercorak nasionalis sebenarnya bukan gejala baru dalam perilaku pemilih nahdliyin. Di tiga pemilu sebelumnya kecenderungan ini juga tampak dengan besarnya dukungan pemilih NU kepada partai-partai nasionalis. Pada pemilu terakhir era Orde Baru tahun 1997, sebaran dukungan pemilih NU lebih banyak mengarah kepada Golkar dengan raihan suara mencapai 40,1 persen. Di tempat kedua Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang di dalamnya juga bernaung kepentingan politik NU sebagai hasil fusi partai politik tahun 1973, mendapat dukungan terbesar kedua dari pemilih NU dengan 18,3 persen suara. Berbeda tipis dengan PPP, sebanyak 18 persen responden pemilih NU mengaku memilih PDI pada Pemilu 1997 tersebut.

Posisi PPP tergantikan oleh PKB pada Pemilu 1999 dengan dukungan 14,7 persen responden warga nahdliyin, tetapi PKB berada di posisi ketiga setelah dua partai nasionalis, Partai Golkar dan PDI-P. Sebanyak 27 persen responden pemilih NU mengaku memilih Partai Golkar pada Pemilu 1999, sedangkan 23,3 persen lainnya memberikan dukungan kepada PDI-P.

Dominasi partai nasionalis yang menjadi pilihan dari warga nahdliyin kembali tercatat pada Pemilu 2004. PKB yang semula berada di posisi ketiga pada akhirnya tergeser di posisi keempat oleh partai nasionalis lainnya. Partai itu hanya didukung oleh 10 persen pemilih NU.

Adapun tempat ketiga ditempati Partai Demokrat yang cukup sukses pada pemilu yang pertama kali diikutinya ini dengan menggaet 28,2 persen pemilih NU pada Pemilu 2004.

Sementara itu, sekali lagi, di tempat pertama dan kedua partai politik yang banyak didukung warga nahdliyin adalah Partai Golkar dan PDI-P, yang masing-masing meraih dukungan dari pemilih NU sebesar 18,1 persen dan 16,3 persen suara.

Semua pemaparan di atas menunjukkan sebuah potret perilaku pemilih NU yang ternyata sama sekali tidak terlalu terikat dengan institusi partai politik yang dekat dengan NU. Responden pemilih NU tidak sekaligus akan mencurahkan afiliasi politiknya kepada ”partai-partai NU”, seperti PKB, PKNU, atau bahkan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI) yang dalam catatan sejarah kelahirannya juga dibidani oleh kader dan tokoh NU. Hasil survei juga menyebutkan bahwa sebagian besar responden berlatar belakang NU (40,6 persen) menyatakan bahwa pandangan keagamaan dari partai politik tertentu tidak berpengaruh pada keputusan mereka menentukan pilihan partai politik mana yang dipilih pada pemilu nanti.

Ketidakterikatan afiliasi politik warga NU dengan partai berbasis massa nahdliyin juga terjadi pada kekalahan pasangan Megawati-Hasyim Muzadi yang maju pada Pemilu Presiden 2004. Di Jawa Timur yang notabene menjadi basis massa NU, popularitas Hasyim sebagai Ketua Umum Pengurus Besar NU tidak cukup mengangkat pamor pasangan ini dan harus mengakui kekalahan dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla di Jawa Timur.

Kurang maksimalnya dukungan dari pemilih NU kepada partai-partai politik yang didirikan kader dan tokoh NU menjadi sinyal terjadinya fragmentasi pilihan politik dari warga nahdliyin. Fragmentasi ini tidak lepas dari sikap NU secara organisatoris yang memang melepaskan diri dari kepentingan politik. Keputusan NU kembali ke semangat (khittah) NU sebagai organisasi sosial keagamaan dan kemasyarakatan ini ditorehkan di Muktamar NU Ke-27 di Situbondo, Jatim. (Litbang Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar