Sabtu, 04 April 2009

Partai "Kecil" Menghadang Perubahan Politik

Penyelenggaraan pemilu multipartai sepanjang tahun 1999 hingga 2009 senantiasa membuka kesempatan bagi kekuatan politik non-mainstream untuk memperoleh tempat dalam kontestasi politik. Jika pada era Orde Baru aspirasi politik direduksi ke dalam tiga format politik: agama (PPP), penguasa (Golkar), dan nasionalis (PDI), maka dalam pemilu era Reformasi nyaris tak ada pembatasan ideologi parpol sepanjang tak ”bertentangan” dengan Pancasila.

Dalam tiga kali penyelenggaraan pemilu, tercatat jumlah peserta pemilu mengalami pasang surut. Pemilu 1999 diikuti 24 parpol, kemudian Pemilu 2004 diikuti 48 partai, dan Pemilu 2009 bakal diikuti 38 partai (serta enam partai lokal khusus Nanggroe Aceh Darussalam). Meski peserta pemilu tersebar dalam puluhan partai politik, hasil pemilu menunjukkan kekuatan politik dalam dua dekade terakhir relatif mengumpul pada 3-7 partai ”mapan”. Partai-partai papan atas, meliputi Golkar, PDI-P, dan belakangan diperkirakan Demokrat, turut masuk kelompok ini. Adapun partai ”papan tengah” terdiri atas PPP, PAN, PKS, PKB, dan kini diperkirakan masuk pula Gerindra.

Di tengah pergeseran naik turun perolehan suara partai-partai papan atas dan papan tengah, bagaimanakah posisi kekuatan politik partai kecil dan bagaimanakah mereka bertahan?

Hasil survei nasional harian Kompas menunjukkan bahwa kekuatan politik partai-partai kecil/non-mainstream tetap memiliki peluang untuk tetap eksis dalam kancah politik nasional. Salah satu kunci kekuatan partai kecil adalah sifat khas dari partai tersebut yang secara ideologis sulit untuk diakomodasikan oleh partai besar. Ciri khas politik aliran keagamaan, sosialisme, dan ”nasionalisme baru” bisa menjadi daya tarik bagi kalangan pemilih yang mencari alternatif di balik maraknya gelontoran ide konvensional parpol mapan.

Sayangnya, untuk bisa menularkan gagasan khas partai kepada pemilih, kekuatan partai politik dalam mengenalkan diri secara intens kepada pemilih menjadi satu titik yang bisa menentukan hidup matinya partai tersebut. Komunikasi politik kepada masyarakat pemilih, termasuk melalui iklan dan pembahasaan jargon politik yang tepat, bisa saja meretas wacana yang didominasi parpol mapan saat ini. Dari analisis terhadap aspek pengenalan partai oleh responden memperlihatkan, kekuatan penetrasi politik partai relatif setara dengan aspek pengenalan mereka.

Partai yang proporsi pengenalannya paling tinggi adalah Golkar yang mencapai 90,3 persen, diikuti oleh PDI-P (85,4 persen) dan Demokrat (72,3 persen). Partai-partai menengah, seperti PKB, PKS, PAN, dan PPP, berkisar pada tingkat pengenalan di bawahnya, 46,0-62,1 persen. Di sisi lain, partai-partai kecil yang diperkirakan harus berjuang menembus electoral treshold Pemilu 2009 dari survei ini rata-rata berada pada tingkat pengenalan di bawah 5 persen bahkan ada yang di bawah 1 persen.

Anomali pengenalan publik hanya diperlihatkan oleh partai Gerindra. Meski baru kali ini tampil dalam pemilu, partai ini langsung menggebrak. Setelah agresif mengenalkan gagasan kerakyatan-militan dan pencitraan kuat melalui berbagai media, skor tingkat pengenalannya mencapai 47,2 persen, setara pengenalan terhadap PKS dan PKB. Sejalan dengan prediksi elektabilitasnya di Pemilu 2009, yang berdasar survei diperkirakan berada dalam kelompok parpol ”papan tengah” bersama PKB, PAN, dan PPP.

Pencitraan

Zaman informasi dan teknologi komunikasi turut ”mendikte” kekuatan politik di negeri ini. Peran media terlihat cukup dominan dalam menyampaikan gagasan dan membentuk citra partai di tengah masyarakat. Sebaik apa pun visi dan program parpol, tanpa diimbangi dengan teknik pencitraan parpol yang sesuai dengan harapan publik, tampaknya akan berakhir pada gagalnya menaikkan popularitas.

Dari kategori jawaban yang diberikan responden survei, terungkap bahwa ada perbedaan karakteristik serapan informasi antara pemilih partai besar dan pemilih partai kecil. Informasi media yang berpengaruh kepada partai pilihan bagi pemilih partai kecil ternyata relatif lebih kecil daripada informasi yang diserap pemilih partai besar. Artinya dari aspek pengenalan terhadap sosok partai, terbukti partai besar lebih berhasil menanamkan pengenalannya terhadap publik pemilihnya.

Televisi, koran, dan radio merupakan media komunikasi yang paling banyak diakses oleh publik untuk mendapatkan informasi tentang partai politik. Meski demikian, dari ketiga jenis media, terbukti koran (dalam populasi pembaca koran) lebih mampu memengaruhi pilihan politik responden ketimbang televisi dan radio. Televisi, meskipun jauh lebih terakses publik, ternyata masih berhenti pada sarana pengenalan sekilas, tetapi cenderung belum mampu lebih jauh menjadi sarana perubah politik bagi tujuan-tujuan yang lebih lanjut.

Menilik aspek latar belakang domisili responden, tak terlihat perbedaan berarti antara penyerapan aspek informasi dari media bagi responden pemilih pedesaan maupun perkotaan. Artinya, bagi pemilih partai kecil, baik yang tinggal di perkotaan maupun pedesaan, sama-sama merupakan kelompok yang secara kategori menerima lebih sedikit informasi tentang partai-partai yang bertarung saat ini.

Selain melalui media informasi, penularan gagasan partai kecil yang cukup efektif adalah melalui lingkungan terdekat. Dari beberapa kategori jawaban, pengaruh dari keluarga, melalui saran dan informasi, menjadi salah satu kekuatan membangun basis perolehan suara partai kecil. Dengan kata lain, peran keluarga berpengaruh lebih besar bagi pemilih partai kecil daripada pemilih partai besar. Selain menjadi peluang partai kecil, hal ini sekaligus mengindikasikan kelemahan partai kecil yang masih berkutat dalam perekrutan berbasis kelompok terkecil dan belum merambah massa mengambang yang lebih luas.

Tidak loyal

Secara faktual, partai-partai kecil memang cenderung mengandalkan jaringan atas dasar kategori maupun kelompok tertentu dalam merekrut massa. Ambil contoh Partai Buruh pimpinan Mochtar Pakpahan, membangun jaringan dan mendulang suara dari jaringan perburuhan seperti Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) dan suara kaum buruh. Demikian juga partai agama, seperti Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), yang mengambil suara di jalur kaum nahdliyin, termasuk limpahan dari suara pemilih Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Kedua partai ini menjadi contoh militansi partai alternatif yang jatuh bangun dalam pemilu sebelumnya, tetapi tetap berupaya ”bangkit”, dengan jalan membangun partai baru dengan gagasan yang tetap.

Yang perlu diperhatikan adalah, selain militansi pemilih partai kecil, ada bagian besar pemilih yang cenderung kurang loyal. Dibandingkan pemilih partai besar, ketidakloyalan pemilih partai kecil terindikasi mencapai dua kali lipat lebih. Indikasi ini diperoleh dari perbandingan partai yang yang dipilih dalam Pemilu 2004 dengan pernyataan partai yang bakal dipilih dalam Pemilu 2009 mendatang. Memang hasil survei tidak mampu menjangkau karakteristik loyalitas dalam tubuh masing-masing partai. Bisa saja pemilih dengan karakteristik afiliasi keagamaan atau ketokohan tertentu akan tetap memperoleh ”kemujuran”. Kemenangan Partai Bulan Bintang di Bangka Belitung, misalnya, sangat mungkin terkait sosok Yusril Ihza Mahendra. Atau lihat pula kemenangan Partai Damai Sejahtera di Poso, bisa jadi terkait dengan imbas terantuknya wilayah dalam konflik komunal.

Pada akhirnya, naik turunnya perolehan suara partai-partai kecil dalam tiga kali pemilu multipartai memang bakal menjadi catatan, sejauh mana daya juang ideologi dan visi alternatif parpol mampu dibahasakan kepada publik pemilih. Di sisi lain, mencerminkan sejauh mana parpol kecil mampu bertahan di empasan angin perubahan politik negeri ini. Sebuah terobosan perubahan mencerahkan yang dinantikan datang dari partai-partai yang kerap dinilai sebelah mata.

(Toto Suryaningtyas/Litbang Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar