Rabu, 01 April 2009

Tak Berhenti pada Pemilu 2009


Rabu, 1 April 2009 | 03:11 WIB

Kita semua menyaksikan bagaimana partai politik, calon anggota legislatif, dan para elite politik saat ini bermanuver menyongsong pemilu yang tinggal menunggu hari. Mereka berlomba agar partainya dipilih rakyat, lolos parliamentary threshold, dan akhirnya mempunyai kursi yang memadai.

Dalam manuvernya, mereka mengklaim keberhasilan yang telah dilakukan, mengkritik kegagalan lawan, menonjolkan sisi kebaikan, serta memberikan janji-janji yang gampang dilupakan dan susah ditagih kembali. Anehnya, tidak ada satu partai politik pun yang berani mengakui kegagalan dari program pemerintah yang juga sering terjadi.

Di sisi lain, rakyat seakan tak terlibat dan merasa tidak peduli dengan para politisi itu. Rakyat sibuk berpikir bagaimana menyiasati hidup yang semakin sulit akibat harga-harga kebutuhan pokok yang meninggi, memikirkan biaya pendidikan anaknya, juga ongkos transportasi dan kesehatan yang sulit dikompromikan dengan penghasilan. Kesenjangan antara gegap gempita para politisi dan kesulitan hidup rakyat kebanyakan ini mestinya menjadi bahan renungan kita semua guna dicarikan solusinya.

Kesalahan substansial

Memang pemilu selama ini hanya menjadi sarana untuk memilih orang yang berkuasa atau menetapkan kembali orang yang sudah berkuasa. Pemilu tidak pernah berhasil menjadi sarana untuk memperbarui sistem kepemimpinan dan menciptakan kepemimpinan baru. Karena hanya sebagai sarana mengganti orang yang berkuasa, akhirnya pemilu tidak pernah berhasil memperbaiki sistem pemerintahan, memperbaiki nasib rakyat, dan menciptakan perubahan yang prorakyat.

Akibat dari itu, pergantian penguasa di Indonesia hanya menjadi pergantian rezim, tetapi sistem yang dianut dan program yang dilaksanakan tampak jauh dari aspirasi rakyat. Mereka tetap menghasilkan pemerintahan dengan sistem presidensial dan parlementer yang sebetulnya sama saja dengan pemilu Orde Baru. Pembaruan kepemimpinan dan perubahan sistem yang benar-benar melindungi rakyat masih jauh dari kenyataan. Yang diseleksi hanya para calon penguasa yang mengandalkan popularitas, bukan para pemimpin yang berdasarkan kualitas. Partai politik yang meraih suara banyak pun berputar pada partai lama yang gemar melakukan politik wacana, perbaikan citra, dan klaim keberhasilan saja.

Dengan dua sistem yang dianut itu, model politik yang dijalankan Pemerintah Indonesia menjadi rancu dan kadang menimbulkan problem ketika hendak mengeksekusi kebijakan untuk rakyat. Meski presiden dipilih langsung oleh rakyat dan mempunyai kekuasaan penuh, dengan sistem semiparlementer yang kita anut, yang mengharuskan kebijakan presiden harus mendapatkan persetujuan para anggota DPR, sering kali kebijakan itu tertunda dan menjadi ajang politik ”dagang sapi” dan tawar-menawar kedudukan politik. Dengan penduduk Indonesia yang plural, idealnya sistem yang lebih tepat diterapkan adalah sistem semipresidensial. Artinya, presiden tetap dipilih langsung oleh rakyat, tetapi ada juga parlemen yang jadi mewadahi berbagai kepentingan dalam masyarakat, tetapi presiden tetap mempunyai mandat yang jelas.

Selain itu, dalam sistem suara terbanyak yang diterapkan sekarang, harapan idealnya tentu masyarakat dapat memilih secara rasional. Namun, yang kurang diperhatikan adalah bahwa dalam sistem itu, politik uang mengancam para calon anggota legislatif potensial. Kita tentu tidak bisa membayangkan bagaimana wajah demokrasi kita nanti jika para anggota DPR-DPRD yang terpilih mayoritas adalah mereka yang banyak punya modal dan popularitas, tetapi miskin visi dan kepemimpinan. Kita harus mencegah agar pemilu tidak hanya menjadi ajang bagi-bagi kursi para elite politik, tetapi juga benar-benar bermanfaat untuk rakyat.

Visi perubahan

Agar bisa menciptakan sistem pemerintahan yang prorakyat dan memperbaiki nasib rakyat, ke depan perlu diciptakan sistem kepartaian yang kokoh. Penyederhanaan partai politik tampaknya mendesak untuk segera dilaksanakan. Jangan sampai syarat mendirikan partai sama mudahnya dengan mendirikan perusahaan. Karena di Indonesia tidak ada partai yang memperoleh suara mayoritas lebih dari 50 persen, perlu ada koalisi yang stabil antarpartai politik. Koalisi yang stabil perlu dibangun agar sistem dan kebijakan pemerintah bisa terjamin, segera dilaksanakan, dan tidak banyak berhenti dalam proses bargaining politik. Meskipun UMNO di Malaysia banyak kekurangannya, keberhasilan mereka dalam menciptakan sistem politik yang kokoh perlu dicontoh. Dengan kekuatan UMNO yang besar itu, Malaysia tampak lebih cepat memajukan kualitas ekonomi rakyatnya.

Di samping itu, ada tiga agenda mendesak yang perlu segera dipikirkan dan dilaksanakan oleh politisi kita. Pertama, perubahan paradigma bernegara dari kolektivisme yang terbukti gagal menjadi individualisme dengan koreksi secara kolektif. Kedua, kejelasan pada level institusi negara, yaitu sistem pemerintahan yang kita anut. Jangan sampai ambiguitas dua sistem yang dianut menjadikan antarlembaga tidak punya koherensi. Dengan sistem yang jelas, lembaga-lembaga negara akan bisa saling bersinergi untuk perbaikan nasib rakyat. Ketiga, tingkah laku politik kita mesti diarahkan menjadi kompetisi yang terbuka, tetapi yang bertanggung jawab.

Haluan baru untuk menghadapi pemilu sebetulnya tidak pernah terlambat untuk disodorkan kepada rakyat. Sebab, perjalanan bangsa ini tidak berhenti pada Pemilu 2009 saja. Dengan menciptakan haluan baru, kita berharap ada penataan sistem politik dan desain kelembagaan yang properubahan dan bermanfaat untuk rakyat banyak. Tentu saja kultur masyarakat kita harus terus dibangun dengan cara diberikan pencerahan dan pendidikan politik agar mereka menjunjung tinggi budaya politik yang santun dan bermartabat.

Ahmad Fuad Fanani Peneliti di Pusat Studi Agama dan Peradaban

Tidak ada komentar:

Posting Komentar