Kamis, 02 April 2009

Berhitung Cepat dengan Bijaksana


Oleh Palupi Annisa Auliani

Survei atau jajak pendapat tentang pemilu serta penghitungan cepat (quick count) hasil pemilu akhirnya bisa dinikmati pada masa tenang dan hari pemungutan suara. Semua itu bisa terjadi setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Pasal 245 Undang-Undang (UU) No 10/2008 tentang Pemilu Legislatif, Senin (30/3).

Pasal 245 memang membatasi survei, jajak pendapat, dan quick count. Ayat (2) menyatakan pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tak boleh dilakukan pada masa tenang. Ayat (3) menggariskan hasil quick count hanya boleh diumumkan sehari setelah pemungutan suara, atau 10 April. Pelanggaran ketentuan merupakan tindak pidana pemilu.

Putusan MK sudah membebaskan survei, jajak pendapat, dan quick count di waktu-waktu yang semula diharamkan pembuat undang-undang. Tapi, putusan MK itu juga bisa membuat hiruk pikuk quick count dengan segala kontroversinya--yang memicu kerusuhan dalam pemilu kepala daerah (pilkada)--dapat menular pada Pemilu 2009.

Pemantik hiruk-pikuk itu adalah hasil quick count yang pengumumannya dilakukan secara bertahap. Apalagi, hasil quick count yang tak diumumkan sekaligus itu bisa berbeda dengan hasil penghitungan resmi versi Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Pertanyaannya sekarang, secara teoretis, layakkah hasil penghitungan cepat diumumkan secara bertahap? Apakah ini bisa menjadi celah manipulasi atau sebaliknya, menjadi pengantisipasi manipulasi?

Dalam lokakarya "Memahami Angka di Balik Survei dan Quick Count", Manajer Program Pemilu National Democratic Institute (NDI), Anastasia S Wibawa, mengatakan, ada empat hal yang harus dicermati saat membaca hasil quick count. Yaitu, angka ambang kesalahan (margin of error) stabilitas data, keragaman data, dan ukuran data.

Dalam teori statistik, besaran angka ambang kesalahan dipengaruhi oleh jumlah sampel, dan bukan jumlah populasi. Semakin sedikit sampel, semakin besar ambang kesalahan. Namun, jumlah sampel inipun bisa diukur tingkat kecukupannya, tidak selalu sampel yang berjumlah jauh lebih besar memberikan hasil yang lebih akurat. Karena, dengan teori statistik, pada level tertentu, besaran angka ambang kesalahan itu akan tetap.

Adapun ukuran data adalah jumlah sampel yang dipakai dalam penghitungan cepat tersebut. Sementara keragaman data adalah variabel yang dipakai untuk menggambarkan heterogenitas sampel.

Untuk menjawab layak tidaknya penghitungan cepat diumumkan secara bertahap, penentu jawabannya adalah stabilitas data dari proses itu. Bahasa statistiknya adalah konvergensi. ''Quick count tidak dapat diumumkan bertahap, karena ini penghitungan menggunakan sampel dan bukan representasi perolehan suara per tempat pemungutan suara (TPS) seperti penghitungan IT (teknologi informasi--Red) KPU,'' tegas Anastasia.

Lebih bijak
Anastasia mengatakan, penghitungan IT KPU bisa dimunculkan bertahap, karena itu adalah angka perolehan fixed dari setiap TPS. Setiap orang bisa melacak suara yang masuk berasal dari TPS A, B, atau C. Suara per TPS pun bisa dimunculkan. Sementara dalam quick count bisa dilacak partai A atau B unggul di TPS tertentu.

Dalam quick count, kata Anastasia, ''Bisa jadi, pada tahap awal pelaporan, kandidat A unggul dengan [angka] 60 persen dari kandidat lain. Ternyata, yang masuk baru sampel dari basis A.'' Karena persoalan itulah, Anastasia menyarankan sebaiknya quick count diumumkan setelah data stabil, lebih bagus lagi setelah 100 persen data masuk.

Anastasia mengingatkan, bahkan data yang stabil pun, masih bisa punya kelemahan. Yaitu, ketika selisih perolehan suara para kandidat kurang dari angka margin of error suatu quick count. Kasus seperti ini memang sudah terjadi di Jawa Timur--juga di sejumlah negara--dengan hasil akhir yang berbalik 180 derajat: orang yang tadinya mendapat suara lebih rendah ternyata tampil sebagai pemenang.

Anastasia mengatakan penghitungan cepat berbeda dengan survei atau bahkan exit poll yang menanyai pemilih setelah memberikan suara. Quick count tidak bicara persepsi pemilih, tetapi data sampel dari TPS. Atas dasar itu, dia menilai seharusnya quick count tidak terpisah dengan pemantauan pemilu.

Sampai saat ini, masih menjadi perdebatan apakah survei dan quick count bisa mempengaruhi pilihan orang dan mengubah hasil pemilu. Karena itulah, Direktur Eksekutif Center for Electoral Reform (Cetro), Hadar Nafis Gumay, berpendapat, sebaiknya quick count diumumkan setelah 100 persen data sampel terkumpul.

''Ini juga bisa untuk menghindari manipulasi, karena ketika sudah 100 persen pun masih mungkin salah,'' kata dia.

Menurut Hadar, meskipun MK juga sudah membatalkan pasal tentang keharusan mencantumkan pernyataan bahwa hasil penghitungan cepat bukanlah hasil resmi, penyelenggara quick count juga perlu membuat penegasan. ''Harus ditegaskan bahwa ini masih semacam prediksi, sampel hasil pemilu, dengan tingkat kesalahan dan metodologi. Harus itu.''

Tapi, peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI), Burhanuddin Muhtadi, berpendapat, pergerakan suara tetap bisa diumumkan. Sebabnya, kata dia, stabilitas data baru bisa didapat setelah 70 persen data masuk. Yang tidak boleh dilakukan lembaga pollster, kata dia, adalah mendeklarasikan pemenang berdasarkan data yang masih bergerak itu.

Selain itu, kata dia, semua lembaga perlu bersepakat menegaskan bahwa hasil quick count bukan hasil resmi, karena yang menjadi acuan tetaplah data penghitungan manual KPU. Tapi, hasil quick count dinilainya bisa menjadi salah satu mekanisme untuk mengontrol hasil penghitungan manual KPU yang butuh perjalanan panjang dan memiliki banyak celah manipulasi.

Burhanuddin meragukan anggapan bahwa ada konspirasi besar semua penyelenggara quick count berkonspirasi untuk melakukan manipulasi hasil. ''Kalau hasil sama, itu semata karena kesamaan metode objektif. Kalau sampai ada kejahatan berjamaah, tamat riwayat lembaga-lembaga ini,'' kata dia.

Menurut Burhanuddin, putusan MK menjadi moment of the truth bagi semua lembaga penyelenggara quick count. Diibaratkan sebagai pacuan kuda, kata dia, siapa yang terbukti hasilnya menyimpang, seharusnya berlalu dari arena pacuan. ''Sanksi kalau sampai penghitungan cepat salah, adalah kematian lembaga itu. Pasar yang akan menjatuhkan hukuman.''

Ketua DPP PPP, Lukman Hakim Saifuddin, mengimbau penyelenggara quick count betul-betul melakukan kegiatan tersebut untuk tujuan ideal, bukan karena pesanan atau sebagai alat untuk mempengaruhi suara.

Lukman menilai, sulit meminta hasil penghitungan cepat diumumkan ketika 100 persen data sampel sudah terkumpul. Pasalnya, MK tak menggariskan itu. ''Kami hanya bisa mengimbau jangan sampai disalahgunakan.''

Alasan pemerintah dan DPR--selaku pembuat UU--tidak membolehkan quick count diumumkan pada hari pemungutan suara, kata Lukman, antara lain, karena Indonesia terbagi tiga zona waktu. Alhasil, bisa jadi di satu lokasi pemungutan suara sudah selesai, di lokasi lain belum, quick count bertahap itu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar