Rabu, 01 April 2009

Pemilu dan Deliberasi Publik


Rabu, 1 April 2009 | 03:03 WIB

Ada sesuatu yang sangat menggelisahkan pada pemilu legislatif yang akan diadakan beberapa hari lagi. Meninjau lemahnya jejaring komunikasi politis dalam ruang publik selama ini, kegelisahan tertuju pada hasilnya, yakni orang-orang yang akan mewakili kita semua di legislatif. Parlemen kita tampaknya akan dipadati lagi oleh elite pragmatis yang mengacaukan politik dengan pasar. Hal itu diperparah oleh bencana finansial global yang mengiringi pemilu kita kali ini.

Kita cukup melongok ke barisan panjang poster-poster dan billboards yang memuat wajah para caleg untuk pemilu pekan depan. Banyak yang tak dikenal. Slogan-slogan yang mereka tawarkan tak bisa langsung dinikmati karena baru dijanjikan, yakni masa depan Indonesia yang lebih baik. Produk yang belum ada itu lebih dulu ditukar dengan loyalitas voters yang akan memilih mereka. Untuk memotivasi pertukaran yang serba tidak pasti itu, mereka perlu menggelembungkan citra lewat bagi-bagi uang, penayangan iklan-iklan di TV, atau propaganda penuh kobaran di lapangan kampanye.

Tidak tahu betul siapa yang seharusnya dipilih, voters pun mencontreng citra yang kebetulan lewat dalam benaknya. Peristiwa itu lalu disebut demokrasi, sementara yang terjadi sesungguhnya boleh jadi adalah memberikan lahan mata pencarian baru bagi mereka yang mencari untung dari transaksi yang disebut pemilu itu. Kebebasan dinikmati sekejap di bilik-bilik suara karena begitu pesta ini usai, tidak jelas apakah produk yang dijanjikan itu sampai ke tangan para pemilihnya.

Kembalinya politik massa

Pengaburan politik dan pasar itu diiringi dengan manipulasi massa. Di tengah-tengah nestapa rakyat dan apatisme politis, sekonyong-konyong tampil sosok- sosok yang sesumbar untuk menyelamatkan bangsa dan membela kaum tertindas. Individu-individu tidak diperlakukan sebagai warga negara, melainkan sebagai ”massa”.

Dalam konsepnya yang digagas oleh Rousseau, demokrasi adalah partisipasi politis warga negara untuk menentukan dirinya yang kita kenal dengan ”kedaulatan rakyat”. Individu mengambil alih peran warga negara jika ia meninggalkan kepentingan privatnya dan mengambil alih perspektif para anggota sebuah res publica. Jadi, partisipasi politis bukan sekadar desakan survival belaka, melainkan suatu aktualisasi moral virtue. Karena politik bukan pasar, tindakan memberikan suara dalam pemilu adalah ungkapan collective self determination yang tak boleh dijualbelikan.

Di negeri kita para calon pemilih diperlakukan lebih sebagai ”massa” daripada sebagai warga negara bermartabat. Jadi, merangsang voters dengan uang tidak hanya meracuni demokrasi, melainkan juga memperbodoh mereka. Diperlakukan sebagai kuantitas belaka, para individu dianggap mudah percaya, emosional, dan infantil. Itulah alasan mengapa slogan-slogan kampanye yang hampa itu seperti mengandaikan kedunguan pemirsa dan pendengar mereka.

Apa yang lalu disebut demokrasi itu menjadi ”persekongkolan antara massa dan elite pragmatis” untuk mengkhianati demokrasi itu sendiri. Massa menjual kebebasan politisnya demi uang dan elite menerima posisi yang pada gilirannya dipakai untuk mengembalikan modal kampanye dan mencari untung.

Seperti dianalisis oleh Hannah Arendt, politik massa seperti ini berkaitan dengan sikap apolitis para individu. Saat ini kita memang sedang memetik hasil kebijakan floating mass selama Orde Baru. Dulu orang dibuat takut berpolitik, sekarang ketika politik tidak lagi menakutkan, orang malah melecehkannya. Kali ini pelakunya bukan hanya rezim, melainkan partai-partai dan kelompok-kelompok masyarakat.

Deliberasi publik

Kemunculan kembali elite pencari untung dan politik massa dalam lanskap Pemilu 2009 ini sebagian besar disebabkan oleh keterlambatan civil society dan pemerintah untuk melaksanakan apa yang disebut ”demokrasi deliberatif”. ”Deliberation” berarti proses konsultasi, menimbang-nimbang, dan berargumentasi di antara para warga negara dalam civil society untuk pengambilan kebijakan publik. Banyak produk undang-undang, termasuk perda, di negeri kita yang tidak cukup melibatkan deliberasi publik ini sehingga kesadaran politis sangat tipis.

Menurut Juurgen Habermas, persoalan demokratisasi sesungguhnya tidak terletak pada momen pemilu, melainkan pada waktu di antara dua pemilu. Itulah saat pencerahan politis warga negara dalam proses deliberasi publik. Jika para warga negara terlatih melakukan deliberasi publik, kecenderungan pemilu menjadi arena manipulasi massa akan dapat dikurangi karena mereka memahami rancangan program dan visi caleg serta partai yang mereka pilih.

Partisipasi dalam deliberasi publik menguatkan akar-akar etos demokratis dari bawah sehingga elite pragmatis dapat dibendung sejak dini. Menurut Rainer Forst, demokrasi deliberatif bertolak dari pemahaman bahwa sumber legitimasi kekuasaan adalah proses-proses komunikasi politis para warga negara dalam ruang publik untuk menguji atau merevisi undang-undang/kebijakan-kebijakan publik.

Jika warga negara terlatih untuk berpartisipasi dalam persoalan-persoalan publik sejak dini, kita pasti sudah akan menghadapi pemilu secara berbeda dari yang sekarang. Partai-partai dan para caleg akan lebih berakar pada komunitas dan voters akan lebih terlibat dengan yang mereka pilih.

Kalaupun kita sudah terlambat untuk membendung masuknya elite pragmatis dalam kursi-kursi parlemen, kita belum terlambat untuk mengawasi dan membatasi perilaku mereka nanti. Kalaupun dari para legislator dan pemerintah mendatang kita sulit mengharapkan inisiatif untuk membangun kanal-kanal deliberasi publik, media massa dan organisasi-organisasi warga belum terlambat untuk mereproduksi forum-forum deliberatif untuk menguji produk-produk mereka.

Untuk sementara ini kita terpaksa harus memanen buah-buah masam dari pohon kesadaran politis yang masih sangat muda.

F Budi Hardiman Pengajar di STF Driyarkara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar