Selasa, 07 April 2009

Menggagas Parlemen Berkualitas


H Mutammimul Ula SH.
Anggota DPR RI

Masa kampanye terbuka telah dimulai sejak tanggal 16 Maret kemarin. Pesta demokrasi untuk seluruh rakyat menjadi meriah dengan bertaburannya bendera-bendera partai politik dan gambar para calon anggota legislatif di setiap sisi jalan utama sampai digang-gang sempit rumah penduduk untuk pemilu legislatif 9 April nanti. Sebanyak 11.301 calon anggota DPR mengikuti pemilihan umum legislatif yang diusung oleh 38 partai politik untuk merebut 660 kursi DPR RI. Dengan demikian jumlah calon yang akan memperebutkan kursi panas di Senayan harus berjuang dengan ekstra keras. Persaingan yang keras bukan hanya menghadapi caleg dari partai lain, tetapi juga menghadapi caleg dari partai yang sama untuk meraih suara terbanyak.

Sementara citra parlemen sudah begitu tercoreng oleh persepsi publik bahwa sebagian dari mereka korup, malas, kerap absen, tidak amanah, tidak peduli dengan kepentingan konstituen, tidak efektif menjalankan program legislatif. Apakah tingginya antusias untuk menjadi anggota DPR sebagai upaya untuk memperbaiki citra DPR atau ingin menikmati segala kemewahan yang selama ini ada di DPR? Ini tentu menjadi pertanyaan bagi kita semua rakyat Indonesia.

Legislative heavy
Penguatan fungsi dan peran DPR terjadi sangat signifikan setelah reformasi adalah dengan ditegaskannya DPR sebagai lembaga legislatif baik secara fungsi maupun institusinya. Hal ini merupakan hasil perubahan yang dilakukan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1). Hasil Perubahan UUD 1945 Pasal 5 ayat (1) menyatakan Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Pasal 20 ayat (1) menyatakan Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Dengan adanya ketentuan ini membuat kedudukan DPR sebagai lembaga legislasi sangat strategis untuk menentukan kebijakan negara.

Dalam perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945 muncul Pasal 20A yang semakin memperkuat kedudukan DPR. Hal ini seakan merubah eksekutive heavy menjadi legislative heavy. Ayat (1) menyatakan DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan fungsi pengawasan. Ayat (2) dan (3) menyatakan DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.

Namun realitanya citra DPR justru tidak begitu bagus. Setiap hari yang muncul di media masa adalah sentimen negative dari para wakil rakyat yang terhormat. DPR yang terdiri dari 10 fraksi dan dilengkapi dengan alat-alat kelengkapan, yaitu sebelas komisi, satu Panitia Anggaran dan tiga Badan Legislasi, Badan Kerja Sama Antarparlemen dan Badan Urusan Rumah Tangga. Serta Badan Kehormatan DPR memiliki kinerja yang rendah. Rapat paripurna DPR lebih sering kosong karena banyaknya anggota DPR yang bolos dengan berbagai alasan.

Dilihat dari kinerja pembuatan undang-undang kinerja DPR masih sangat jauh dari apa yang kita harapkan bersama. Prolegnas lima tahunan yang ditetapkan pada tahun 2005 telah menetapkan 284 RUU sebagai prioritas yang akan diselesaikan dalam periode lima tahun. Tapi Dewan hanya mampu menyelesaikan rata-rata 36 rancangan undang-undang per tahun.

19 Desember 2008, DPR periode 2004-2009 baru berhasil menyelesaikan 155 RUU dari total sebanyak 284 RUU yang masuk dalam daftar prioritas legislasi nasional (prolegnas). Target legislasi ini jauh dari selesai meski sudah melewati angka 50%. Namun apabila dilihat lebih jauh, sebagian besar dari jumlah tersebut (total 92 yang terdiri dari 60 RUU pemekaran Wilayah, 15 RUU pengesahan Konvensi Internasional, 11 RUU terkait APBN dan 6 RUU pengesahan Peraturan.

Dilihat dari fungsi anggaran DPR malah menjadi lembaga percaloan dan makelar untuk meningkatkan anggaran terhadap lembaga pemerintah dan ke daerah-daerah. Hal ini dibuktikan dengan divonisnya beberapa anggota DPR oleh Pengadilan korupsi dan yang tertangkap tangan oleh KPK. Saat ini ada 9 anggota Dewan yang dijerat korupsi yaitu Al Amin Nasution (Anggota Fraksi partai Persatuan Pembangunan ini dijerat kasus suap alih fungsi hutan di Bintan, dihukum 8 tahun penjara), Yusuf Emir Faisal (anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa yang dijerat perkara suap alih fungsi hutan di Bintan), Sarjan Taher (anggota Fraksi Demokrat yang juga terjerat kasus suap alih fungsi hutan di Bintan, dihukum 4,5 tahun), Saleh Djasit (anggota Fraksi partai Golkar yang terjerat kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran), Bulyan Rohan (anggota Dewan asal Partai Bintang Reformasi terjerat kasus suap Departemen Perhubungan), Noor Adnan Razak (anggota Fraksi Amanat Nasional terjerat kasus suap proyek Bapeten), Antony Zeidra Abidin (anggota Fraksi Partai Golkar terjerat skandal korupsi Bank Indonesia), Hamka Yamdu (anggota Fraksi Partai Golkar terjerat skandal korupsi Bank Indonesia), Abdul Hadi Jamal (anggota Fraksi Amanat Nasional terjerat kasus suap proyek pelabuhan dan bandara kawasan Indonesia Timur).
Persoalan moralitas anggota DPR juga masih begitu memalukan dan sangat tidak terpuji. Lembaga DPR seolah menjadi lembaga mesum dengan tersiarnya video M Yahya Zaini (Golkar) dan foto syur Max Moein (partai PDI P).

Merubah untuk berwibawa
Saat ini, harapan untuk membangun wajah baru parlemen agar kinerjanya lebih baik tertumpu pada anggota-anggota legislatif. Untuk membangun wajah baru parlemen dibutuhkan langkah-langkah yaitu pertama dari segi karakter moral. Seharusnya setiap anggota DPR tidak lagi menjadikan DPR sebagai tempat untuk mencari makan tetapi tempat aktualisasi politik. Oleh karena itu hendaknya orang-orang yang ingin menjadi anggota dewan harus memiliki keuangan yang baik sehingga tidak tergoda untuk menyalahgunakan kewenangan yang dimiliki DPR.

Kedua, Penguasaan mutlak anggota DPR terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Tugas dan fungsi DPR merupakan pengejawantahan dari konstitusi, Oleh sebab itu sudah menjadi keharusan bagi setiap anggota DPR memahami Undang-Undang Dasar 1945. Bagaimana mungkin seorang anggota dewan dapat menjalankan tugasnya bila tidak memahami konstitusi.

Ketiga, Pendalaman terhadap tata tertib DPR. Setiap anggota DPR harus menjadikan Tatib sebagai pegangan, dimiliki serta dijadikan buku saku. Tatib menjadi prosedur tetap yang harus dipatuhi oleh setiap anggota DPR. Pelanggaran terhadap Tatib bisa berdampak besar terhadap diri pribadi anggota DPR maupun pada produk legislasi yang dihasilkan. Ada beberapa undang-undang yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan tata tertib DPR.

Keempat, kontrol fraksi/partai terhadap anggotanya. Kontrol yang dimaksud bukan dalam arti sikap politik tetapi etika perilaku para anggotanya. Kontrol ini akan membuat anggota tidak lepas kendali dan berbuat sesuka hati. Kasus korupsi yang dilakukan oleh anggota dewan merupakan bukti begitu rendahnya kontrol partai dan fraksi terhadap anggotanya. Sebenarnya partai dan fraksi ikut bersalah dalam kasus korupsi yang dilakukan oleh para anggotanya dengan cara pembiaran/membiarkan mereka melakukan tindak pidana korupsi tanpa usaha untuk mencegah agar tidak terjadi.

Kelima, merubah kinerja kepemimpinan DPR. Kepemimpinan DPR yang hanya sebagai speaker mempengaruhi kinerja seluruh anggota DPR. Pimpinan DPR seakan dilepaskan dari organ DPR itu sendiri. Dalam sidang-sidang paripurna DPR jarang sekali pimpinan DPR hadir secara lengkap. Hal ini menjadi contoh buat anggota dewan untuk tidak hadir dalam rapat-rapat paripurna. Unsur pimpinan tidak pernah mengontrol secara langsung sidang-sidang komisi dan pansus yang sedang berlangsung. Ini tentunya membuat kinerja komisi dan pansus tidak termonitoring secara baik oleh pimpinan DPR.

Keenam, pemberian staffing yang baik kepada setiap anggota dewan. Tugas berat anggota dewan sangat tidak mungkin untuk ditanggung sendiri oleh anggota dewan. Bagaimanapun juga anggota dewan memiliki keterbatasan pengetahuan, kemampuan dan waktu. Oleh karena itu anggota dewan sangat memerlukan bantuan dari tenaga ahli yang dapat mendukung kinerja kedewanan. Staffing harus bekerja dan meningkatkan kinerja para anggota dewan.

Ketujuh, pemberdayaan pasangan kerja DPR. Terjadinya kasus korupsi yang dilakukan oleh anggota dewan tidak terlepas dari peran serta pemerintah sebagai penyusun dan pengguna anggaran. Mitra kerja tiap-tiap komisi yaitu departemen-departemen tertentu dan lembaga negara lebih senang untuk bagi-bagi jatah agar tidak dikritisi oleh anggota DPR. Oleh karena itu presiden harus memberi penegasan bahwa setap departemen yang yang menjadi mitra DPR tidak ada main mata dengan oknum anggota DPR.

Hasil pemilu 2009 merupakan momentum untuk mengubah parlemen menjadi suatu lembaga yang berwibawa. Masyarakat harus memilih wakilnya di DPR secara benar agar nantinya terbentuk DPR yang lebih baik. Dengan demikian akan terjadi proses checks and balances antara eksekutif dan legislatif sehingga tercipta pemerintahan yang bersih dari KKN. Bila kita gagal untuk membenahi parlemen ke depan, maka masa depan reformasi akan semakin tidak jelas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar