Rabu, 01 April 2009

Kisah Jawa dalam Pemilu


Rabu, 1 April 2009 | 03:19 WIB

Sejarah Pemilu di Indonesia tidak lepas dari kontestasi kekuatan antara Jawa-luar Jawa. Pola kontestasi ini sudah terlihat sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 2004. Kecenderungan yang muncul mengarah pada pola partai yang menguasai Jawa akan memenangkan pemilu.

Istilah Jawa di sini bukan mengacu pada etnis, melainkan geografis Pulau Jawa yang termasuk di dalamnya Pulau Madura. Mengapa Jawa memunculkan dikotomi? Secara sederhana, selain pusat pemerintahan dikendalikan dari pulau ini, sebagian besar (sekitar 60 persen) penduduk Indonesia terkonsentrasi di sini. Secara politik, kultur Jawa sangat mendominasi kekuasaan, ditandai dengan banyaknya orang Jawa yang menduduki posisi-posisi penting baik di birokrasi maupun militer.

Pada Pemilu 1955, penguasaan Jawa-luar Jawa menunjukkan pola yang sangat berbeda. Di Jawa, partai nasional dan komunis menguasai hampir 50 persen suara pemilih. Sementara partai-partai ini di luar Jawa tidak mencapai 20 persen suara. Di luar Jawa, partai yang berkuasa adalah partai-partai yang berbasis agama, baik Islam (Masyumi) maupun Protestan (Parkindo). Pemenang pemilu pada tahun 1955 tersebut adalah Partai Nasional Indonesia dengan perolehan 22,3 persen suara dan Masyumi di urutan kedua dengan 20,9 persen.

Pemilu pertama masa reformasi tahun 1999 menempatkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai pemenang dengan perolehan suara 33,7 persen. PDI-P menguasai Jawa dengan 22,8 persen suara, lebih tinggi dibandingkan Partai Golkar yang hanya mampu mengumpulkan 10,4 persen. Basis kekuatan terbesar PDI Perjuangan di Jawa saat itu berada di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta, dan sebagian Jawa Timur kecuali di wilayah timur.

Adapun Partai Golkar mendominasi luar Jawa dengan pusatnya di wilayah Sulawesi. Di Pulau Selebes, perolehan suara Partai Golkar antara 50 persen-70 persen, dengan yang tertinggi di Sulawesi Selatan. Adapun wilayah Sumatera yang terbesar dikuasai Partai Golkar adalah Jambi dengan 35 persen suara.

Pola yang berbeda terjadi pada Pemilu 2004. Partai Golkar menjadi pemenang dengan perolehan 21,43 persen suara. Namun, wilayah Jawa tidak sepenuhnya dikuasai Partai Golkar karena ia hanya mendapatkan 11,55 persen suara, lebih rendah dibandingkan dengan PDI Perjuangan yang mendapat 13,4 persen suara. Formula menang di Jawa berarti menang di tingkat nasional meleset.

Dikotomi figur

Figur presiden juga tidak lepas dari dikotomi Jawa-luar Jawa. Selama 64 tahun merdeka, lima dari enam presiden RI yang pernah ada adalah orang Jawa. Hanya BJ Habibie yang bukan berasal dari Jawa. Selain BJ Habibie yang pernah menjabat sebagai presiden masa transisi pascapengunduran diri Soeharto, posisi tertinggi bagi orang luar Jawa adalah wakil presiden. Diawali oleh Mohammad Hatta (Sumatera Barat) dan diakhiri oleh Jusuf Kalla (Sulawesi Selatan).

Begitu kuatnya dominasi orang Jawa tertanam dalam politik dan kekuasaan, ada kecenderungan etnis-etnis non-Jawa mengakomodasi atau mengadaptasi nilai-nilai kejawaan—cara berpikir serta pola hidup—dan menjadikannya sebagai basis persepsi politik mereka. Pengamat politik William Liddle (1997) menyebutnya sebagai ”kekuasaan nasional yang sangat dipengaruhi oleh konsep kekuasaan Jawa”.

Di masa sekarang, kombinasi presiden dan wakil presiden mulai memperhitungkan calon yang mewakili atau dapat diterima oleh masyarakat luar Jawa. Pertimbangan ini didasarkan pada komposisi calon pemilih pemilu tahun ini yang cukup berimbang antara Jawa dan luar Jawa. Calon pemilih yang terdaftar di Jawa sebanyak 59,53 persen, sedangkan di luar Jawa sebanyak 40,47 persen. Pemilu kali ini akan kembali membuktikan bagaimana kontestasi kekuatan politik Jawa-luar Jawa akan berakhir. (GIANIE/Litbang Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar