Rabu, 01 April 2009

Merebut Esensi Demokrasi


Rabu, 1 April 2009 | 03:02 WIB

Kebijakan afirmatif agar perempuan terlibat aktif di arena politik formal adalah upaya merebut inti demokrasi yang terus direduksi menjadi angka dan politik massa. Suara terbanyak tak selalu mencerminkan demokrasi karena pertarungan yang mengarah pada ”yang kuat yang menang” justru mengingkari esensi demokrasi.

Siapa bilang urusan ”sumur, dapur, dan kasur” yang dilekatkan pada persoalan domestik bukan merupakan persoalan publik? Seluruh proses pengambilan kebijakan terkait dengan urusan domestik itu diambil di ruang publik, di arena politik formal.

Kalau para pengambil keputusan tidak memahami ”the personal is political” dan menegasikan pengalaman perempuan, nasib perempuan bersama kelompok-kelompok terpinggirkan akan terus menjadi bulan-bulanan. Hal seperti itu juga akan terus terjadi kalau perempuan menyerahkan nasibnya kepada mereka atau pasif menunggu sampai mereka mau sadar.

Indonesia akan tetap berada di lapis terbawah Indeks Pembangunan Manusia di Asia karena kemajuan pembangunan manusia ditentukan oleh kondisi kesejahteraan dan keterlibatan perempuan secara aktif di berbagai bidang kehidupan.

Akibatnya, di dunia internasional kita akan semakin kehilangan muka. Di dalam negeri, kehidupan terus dipertaruhkan demi kepentingan politik (dan ekonomi) sesaat dari kelompok- kelompok tertentu yang menggunakan prosedur ”demokrasi” sebagai alatnya.

Merangkul

Harus dipahami bahwa kategori ”perempuan” dalam perspektif relasi kuasa yang timpang khususnya antara laki-laki dan perempuan (jender) itu melintasi suku, ras, etnis, kelas sosial dan intelektual, kelompok, golongan, agama, dan lain-lain. Dengan demikian, kriteria ”perempuan” bersifat riel sekaligus simbol yang merangkul semua kelompok yang terbisukan.

Kategori ”perempuan” bahkan melintasi persoalan mayoritas-minoritas karena landasan pembentukan negeri ini adalah keadilan bagi seluruh warga untuk mencapai keamanan hidup, kesejahteraan, dan pemajuan kemanusiaan.

Melalui kebijakan afirmatif, jalan dibuka untuk menggali potensi perempuan berkualitas yang namanya belum dikenal luas, padahal mereka tekun bekerja untuk kesetaraan dan keadilan terhadap perempuan di berbagai bidang kehidupan.

Nama Eva Sundari yang dengan berani menyuarakan kepentingan perempuan di DPR tak dikenal luas kalau tanpa tindakan afirmatif partai. Pun Maria Ulfah Anshor. Siapa mengenal Latifah Iskandar dan banyak lainnya yang mengegolkan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang?

Diporakperandakan

Perjuangan membawa perempuan terlibat aktif di arena politik formal gencar dilakukan gerakan perempuan sejak reformasi.

Kebijakan proaktif yang mendorong perempuan cepat mengejar ketertinggalannya diadopsi lewat UU No 12 Tahun 2003 tentang Pemilu. Kemudian dikuatkan melalui paket UU Politik baru yang mengadopsi kebijakan alternatif secara lebih komprehensif.

Kebijakan afirmatif melalui mekanisme kuota sekurang-kurangnya 30 persen perempuan bukan hanya diatur dalam pencalegan dalam pemilu, tetapi juga diintervensi di hulu, sejak pembentukan partai dan pengaturan dalam kepengurusan partai di semua tingkatan.

UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu bukan hanya mengatur pencalonan perempuan, tetapi juga penempatan caleg dalam daftar calon dengan mekanisme sistem zipper 3:1 serta peluang keterpilihan mereka melalui kombinasi ketentuan minimal 30 persen bilangan pembagi pemilih (BPP) dan nomor urut.

Namun, UU yang belum diimplementasikan itu diamandemen melalui amar putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Pasal 214 UU No 10/2008 tidak berlaku karena ”bertentangan dengan UUD”. Semua dikembalikan pada suara terbanyak, seperti usul beberapa parpol. Keputusan itu membuat Pasal 176 dan Pasal 55 yang mengamankan kebijakan afirmatif tak ada artinya lagi.

Konon, usulan itu juga didukung perempuan dan partai yang semula mendukung mekanisme kuota 30 persen melalui UU. Harus ditengarai relasi kuasa di dalam prosesnya sehingga perempuan tunduk pada suara terkeras kalau tak mau dikucilkan partai.

Kebijakan afirmatif sulit dipahami tanpa pemahaman utuh mengenai konsep diskriminasi yang melintasi berbagai disiplin ilmu, termasuk sosiologi, psikologi, kajian-kajian kritis kebudayaan, kajian jender dan etnik. Jadi, bukan semata-mata legal formal.

Perdebatan pro-kontra kebijakan afirmatif hanya dengan satu lensa sudut pandang sama sekali tidak produktif. Masih banyak yang harus dikerjakan bagi konsolidasi demokrasi setelah Pemilu 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar