Rabu, 01 April 2009

Menyoal Netralitas TNI-Polri


Rabu, 1 April 2009 | 03:13 WIB

Pahlawan Pemilu 2009 untuk menunjukkan netralitas TNI-Polri sebenarnya sudah lahir, yaitu mantan Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Inspektur Jenderal Herman Surjadi Sumawiredja. Jenderal polisi berbintang dua ini rela mengundurkan diri sebagai polisi karena mendengarkan hati nurani dan memakai akal sehat.

Apakah kesalahannya? Karena bertindak sebagai polisi profesional, obyektif, dan jujur, ia menetapkan Ketua Komisi Pemilihan Umum Jatim Wahyudi Purnomo sebagai tersangka pemalsuan daftar pemilih tetap (DPT). Dari penyelidikan aparat Polda Jatim, ditemukan 27 persen data yang tidak benar atau ada penggandaan DPT di Sampang dan Bangkalan. Kita tercengang sambil membayangkan bagaimana jika hal ini terulang lagi pada Pemilu Legislatif 9 April 2009 dan Pemilu Presiden 8 Juli 2009?

Sayangnya, peluang emas untuk menghasilkan Pemilu 2009 yang berkualitas lepas dari tangan kita karena Mabes Polri menghentikan penyidikan dan mencabut status tersangka Ketua KPU Jatim tersebut.

Yang lebih menyedihkan, keputusan Mabes Polri berakibat melegitimasi pemalsuan DPT dan membuat KPUD dan KPU bersikap keras kepala tak mengakui kesalahan fatal pada jantung setiap pemilu: data pemilih akurat. Ini sekaligus merobek kepercayaan publik terhadap pemilu. Tidak mustahil golongan putih (golput) akan unggul lagi!

Mewaspadai polisi

Kasus Jatim kembali membuka pertanyaan, ”benarkah netralitas TNI dan Polri adalah harga mati dalam Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2009?”

Prof Bilveer Singh dari National University of Singapore menunjukkan pengamatan sebaliknya karena sesungguhnya potensi TNI ”bermain politik” itu tetap ada karena sejumlah alasan: (1) peremajaan struktur teritorial TNI; (2) mantan TNI sebagai partisipan dan kompetitor pemilu; (3) kontinuitas daerah konflik di Papua (versus Organisasi Papua Merdeka) dan Aceh (versus Partai Aceh) atas nama NKRI dan Pancasila; (4) tradisi lama dan insting psikologis aktif secara politik untuk menyelamatkan negara; (5) kegagalan sipil untuk memenuhi kepentingan TNI sebagai lembaga dan korps seperti anggaran minimal, kesejahteraan prajurit, fasilitas, perlengkapan dan pelatihan yang buruk, cara berpikir sipil dan petinggi tentara yang belum berubah.

Perlu juga ditambahkan bahwa teritorial TNI ini tidak akan menjadi masalah lagi bila agenda reformasi 1998 dipenuhi yang berkaitan dengan pembubaran dwifungsi ABRI, yaitu (1) pembubaran teritorial TNI, (2) pembubaran bisnis TNI, (3) pembubaran keterlibatan TNI di legislatif dan eksekutif. Ketiga tuntutan itu idealnya akan membuat postur TNI yang profesional, netral, dan fokus pada upaya pertahanan negara saja. Dengan demikian, meski ada struktur baru netralitas TNI berupa peraturan dan lainnya, kultur, cara berpikir, dan psikologi tetap membutuhkan waktu untuk ditransformasi.

Menurut Singh, publik memang melihat dan tidak menyangsikan perubahan formal pada TNI, seperti (1) paradigma dan lingkungan politik baru, (2) regulasi baru untuk TNI, (3) batasan dan kendala apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan TNI, (4) upaya TNI menjadi tentara profesional. Secara legal dan formal, TNI memang tak lagi ter- libat di politik, tetapi tetap saja ada kondisi dan perkembangan yang dapat mendorong TNI terlibat dalam politik sekalipun dilakukan ”secara halus”.

Mungkin kasus DPT Jatim bukanlah petunjuk utama keterlibatan polisi dalam politik, tetapi Singh justru lebih melihat potensi politik pada postur polisi pascareformasi. Sejumlah alasan yang berkaitan dengan kehadiran polisi dan aktivitasnya: (1) berada di garis depan penegakan hukum dan aturan, (2) pendatang baru yang sedang menegakkan posisi ekonomi dan politik, (3) langsung di bawah presiden, bukan Mendagri seperti umumnya praktik di negara lain, (4) pemain otonom di daerah dan mudah terseret ke dalam kontroversi politik, (5) ”politicking” di Pilkada Jatim berpotensi juga terjadi pada Pemilu 2009, (6) dapat mencerminkan ”TNI Kedua” ketika terseret politik pada masa Orde Baru dengan segala konsekuensinya di masa depan.

Ujian netralitas

Pemilu berkala yang jujur tanpa paksaan dan kekerasan dari pihak mana pun, termasuk dari aparat pertahanan (TNI) dan keamanan (polisi), adalah persyaratan minimal demokrasi. Setiap pemilih menetapkan pilihannya secara sukarela, bahkan menjadi golput sekalipun. Dalam pemilu kita semua dituntut untuk menyaksikan kekuatan individu dalam menentukan pilihan hidup sesuai dengan hati nuraninya tanpa campur tangan pihak mana pun, termasuk TNI dan Polri.

Secara legal dan formal, publik memang harus mengakui adanya upaya untuk menjauhkan TNI dan polisi dari politik otoriter model Soeharto-Orde Baru. TNI, misalnya, menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, adalah ”Tentara Rakyat, Tentara Pejuang, Tentara Nasional, dan Tentara Profesional”. Tetapi, apakah ketidakpuasan pada kesejahteraan, peralatan, kondisi konflik, serta peremajaan teritorial tidak akan menggoda mereka untuk berpolitik?

Namun, regulasi dan posisi garis depan ”hukum dan ketertiban” polisi dianggap lebih berpotensi ”bermain politik” daripada TNI. Benarkah polisi dalam posisi yang paling mudah terseret dalam politik dan kehilangan netralitasnya dalam pemilu, ini merupakan pertanyaan yang kita jawab bersama. Namun, polisi juga harus membuktikan diri bahwa institusi ini adalah alat negara, bukan alat pemerintahan alias bawahan presiden yang sedang berkuasa.

M Fadjroel Rachman Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar