Kamis, 02 April 2009

Perjudian Politik Para Caleg



Sholehudin A Aziz
(Peneliti CSRC UIN Jakarta)


Suasana perpolitikan nasional menjelang pemilu legislatif semakin memanas dan menegangkan. Seluruh calon legislatif (caleg) kini bertumpuk lumus berkampanye di daerah pemilihannya (dapil) masing-masing.

Tentunya dengan segala cara dan upaya yang ditempuhnya untuk meraih simpati masyarakat. Perihal terpilih atau tidak, itu lain soal. Yang penting habis-habisan. Inilah 'judi' politik terbesar para caleg ini.

Berdasarkan pengumuman KPU, jumlah caleg yang akan bertarung pada Pemilu 2009 mencapai 11.868 orang. Mereka berasal dari 77 daerah pemilihan di 33 provinsi. Seluruh caleg legislatif baik di tingkat pusat maupun daerah ini akan bertarung habis-habisan agar nantinya terpilih menjadi anggota legislatif. Inilah kompetisi tingkat tinggi dengan mempertaruhkan segala hal demi menjadi anggota legislatif yang terhormat. Lebih jauh, pertarungan antarcaleg ini, tidak saja melawan caleg dari partai lain. Tetapi juga harus melawan para caleg di internal partainya sendiri. Inilah buah simalakama bagi para caleg ini.

Jadi, jangan heran bila seorang caleg sebuah partai politik harus 'saling bunuh' antarsesama kader partai. Bahkan, yang lebih ironis adalah melawan ketua umum partai sekalipun. Inilah konsekuensi dari penetapan anggota legislatif berdasarkan suara terbanyak. Tak peduli siapa pun dia, yang jelas peraih suara terbanyak akan dipastikan menjadi anggota legislatif yang terhormat.

Harus diakui bahwa proses demokrasi melalui serangkaian regulasi yang telah ditetapkan terkait dengan Pemilu Legislatif 2009 ini, benar-benar membuat kita sadar bahwa demokrasi itu begitu mahal. Sungguh membutuhkan perjuangan dan pengorbanan yang tidaklah sedikit, baik secara materiil maupun nonmateriil.

Dari segi biaya politik, misalnya, para caleg harus mengalokasikan banyak dana untuk mendekatkan diri dengan konstituen melalui pertemuan langsung dan kunjungan ke daerah basis. Selain itu, mereka juga harus menanggung biaya politik lain berupa pengadaan atribut kampanye. Belum lagi, jika mereka melakukan politik uang. Banyak warga seringkali mengajukan proposal bantuan atau permintaan dana secara langsung kepada caleg. Para caleg ini tak ubahnya seperti Sinterklas yang datang membawa hadiah dan uang. Caleg dipandang sebagai orang berduit. Bagi caleg, itu sukar dihindari sebab semua hal akan diupayakan untuk meraih suara terbanyak.

Inilah 'judi' politik terbesar negeri ini. Betapa tidak! Semenjak penjaringan para kandidat caleg ini di tiap-tiap partai hingga akhirnya mereka disahkan secara resmi oleh KPU, membutuhkan serangkaian pengorbanan yang tidak sedikit, baik dari sisi materi maupun nonmateri.

Pengorbanan itu ternyata tidak berhenti di situ saja. Setelah ditetapkan oleh KPU sebagai caleg, mereka juga harus melakukan sosialisasi (pengenalan) kepada para konstituen di dapilnya masing-masing. Ini pun tak kalah beratnya. Mereka harus berusaha dari titik nadir untuk memperkenalkan identitas diri dan program-program 'jualan'-nya yang akan diperjuangkannya. Semua itu dilakukan untuk meraih simpati masyarakat.

Proses meraih simpati masyarakat tidaklah mudah. Dibutuhkan strategi yang jitu agar hasilnya lebih maksimal. Para caleg dituntut lebih kreatif dalam meramu setiap space kampanyenya hingga akhirnya masyarakat tertarik dan menjadikannya sebagai pilihan terbaik dari yang baik pula. Selain faktor tersebut, kepandaian dan kecerdasan dalam memilih mitra potensial alias tim sukses di tingkat grassroot sebagai corong kampanye dan penyampaian ide-ide yang diusungnya menjadi kunci sukses selanjutnya.

Tim sukses ini setidaknya harus bekerja ekstra keras memanfaatkan seluruh potensi yang dimiliki caleg yang diusungnya, disertai dengan kemampuan merekam setiap kecenderungan pola pemilih yang berkembang di masyarakat. Hal ini tentunya tidaklah mudah karena masing-masing caleg juga akan melakukan dan berpikir hal sama. Bisa dibayangkan, dalam satu dapil, jumlah caleg bisa mencapai ratusan orang. Itu artinya masing-masing caleg memiliki tim sukses sendiri-sendiri yang tentunya berupaya memenangkan kandidat caleg yang diusungnya. Sungguh kompetitif sekali!

Ketersediaan tim sukses yang andal dan metode kampanye yang tepat dan efektif dalam rangka meraih simpati masyarakat juga belum bisa menjamin suksesnya menjadi anggota legislatif. Karena, terlalu banyak faktor yang mempengaruhinya, di antaranya faktor kecerdasan politik masyarakat yang semakin tinggi sehingga suara masyarakat sulit untuk diprediksi.

Walaupun mereka secara sistematis berusaha membungkus dirinya dengan agenda-agenda perubahan dan perbaikan serta menampilkan slogan yang identik dengan 'kebaikan' dan 'kejujuran' untuk meraih simpati masyarakat, toh akhirnya pilihan terakhir ada di tangan masyarakat. Umbaran sejuta janji belum tentu meyakinkan masyarakat untuk memilihnya.

Dengan serangkaian pengorbanan dan kerja keras di atas, apakah ada jaminan dia akan terpilih menjadi anggota legislatif? Tunggu dulu, belum tentu jawabannya. Masih banyak aspek lain yang akan menentukannya. Karena harus diingat, masyarakat kini semakin cerdas dalam menentukan pilihannya. Banyak sekali contoh kasus yang mengurai fakta perihal pilihan masyarakat sangatlah sulit diprediksi. Awalnya yakin dipilih masyarakat, tapi ternyata harus rela kalah telak. Pemilihan gubernur Jawa Barat, misalnya, merupakan bukti autentik bahwa ramalan survei belum tentu linear dengan fakta hasilnya.

Sekali lagi, ajang pemilu legislatif ini merupakan perjudian terbesar yang melibatkan puluhan ribu caleg. Dikategorikan judi karena seluruh proses ini mengandung unsur untung-untungan dan tidak ada jaminan sedikit pun untuk menang. Apalagi, modal yang harus dikeluarkannya sangat fantastis besarnya. Untuk keseluruhan biaya kampanye di tingkat DPR pusat, misalnya, angka 1 miliar adalah angka yang sangat minim jumlahnya yang harus dikeluarkan oleh setiap caleg.

Besarnya modal para caleg ini berimplikasi kepada akibat yang ditimbulkan bila mereka gagal. Harus diingat bahwa cukup banyak bukti para calon bupati dan gubernur yang awalnya sehat lahir batin akhirnya harus mengalami depresi karena kegagalannya mencapai target yang diinginkan. Tentunya hal ini tidak akan berbeda jauh dengan perjudian politik para caleg ini.

Penulis memprediksi pasca-Pemilu Legislatif 2009 banyak politikus kita (caleg) yang akan mengalami depresi dan ujung-ujungnya gila karena gagal mendapatkan suara terbanyak. Padahal, biaya politik yang telanjur dikeluarkan sudah terlampau besar. Ironisnya lagi bila dana yang dikeluarkan tidak berasal dari kantong sendiri, tetapi harus pinjam ataupun hutang ke sana-ke mari. Kiamat kecil benar-benar telah datang.

Melihat seluruh potret di atas, penulis berharap, terdapat kesadaran yang penuh dari seluruh caleg yang ada agar benar-benar bersikap lebih realistis dan penuh perhitungan dalam mengejar sebuah mimpi menjadi anggota legislatif yang terhormat. Perjudian politik ini haruslah dibarengi dengan sikap kearifan dan kebijaksanaan agar kelak bila akhirnya harus meraih sukses tidaklah sombong dan pongah. Begitu pula, bila takdir menentukan gagal, kesedihan dan penyesalan yang membabi buta tidaklah menggelapkan kesadaran diri.

Kepada seluruh caleg, penulis ucapkan selamat berjuang demi meraih sukses. Jika kelak terpilih, jangan lupa utamakan rakyat yang telah memilih dan memberikan amanah kepercayaan untuk membangun bangsa agar lebih maju lagi. Semoga Pemilu 2009 berjalan sukses. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar