Selasa, 17 Maret 2009

Problem Koalisi Pragmatis

Kacung Marijan

Kacung Marijan Akhir-akhir ini, sejumlah pemimpin politik disibukkan oleh safari untuk menjajaki koalisi.

Usaha itu wajar dilakukan karena memiliki sejumlah alasan.

Pertama, secara politik masyarakat Indonesia itu plural. Dalam masyarakat demikian sulit ditemukan kelompok dominan secara politik.

Seperti dikemukakan Ian O’Flynn dan David Russell (2005:1), It is widely accepted by political analysts and policy makers alike that power sharing is the most viable democratic means of managing conflict in divided societies. Di antara bentuk power sharing adalah adanya pemerintahan koalisi.

Kedua, pemilu kita menganut sistem proporsional. Sistem ini cenderung menghasilkan banyak partai yang memperoleh kursi dan tidak satu partai pun yang mampu meraih kemenangan mayoritas (50 persen + 1).

Bahkan, partai yang meraih suara di atas 30 persen, seperti PDI-P pada Pemilu 1999, kini hampir mustahil dilakukan.

Belum efektif

Namun, konteks politik semacam itu juga menyulitkan koalisi pemerintahan yang efektif. Dalam pandangan Maurice Duverger (1954), koalisi suatu pemerintahan tidak cocok untuk membangun pemerintahan yang efektif dan stabil. Dalam pandangan dia, suatu pemerintahan yang stabil membutuhkan prasyarat sistem dua partai itu. Hal ini didasarkan pada pengalaman Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.

Meski demikian, pandangan Duverger ditolak Arend Lijphart (1977). Berdasarkan studi seriusnya di Belanda, Lijphart berpendapat, masyarakat plural yang menganut sistem multipartai bisa memiliki sistem pemerintahan demokratis yang stabil saat mereka mengembangkan demokrasi konsensus (consociational democracy). Masalahnya, sejarah politik Indonesia juga mencatat, bangunan demokrasi konsensus melalui koalisi itu selama ini belum efektif. Pada 1950-an, pemerintahan koalisi tidak berlangsung lama.

Pascaruntuhnya Orde Baru, pemerintahan koalisi, di pusat maupun di daerah, bertahan lama. Hal ini tidak lepas dari sistem pemerintahan yang dianut bukan sistem parlementer. Namun, bangunan pemerintahan yang dibangun itu tidak cukup efektif. Di pusat, hal ini ditandai oleh adanya desain aneka kebijakan yang tidak nyambung di antara pihak-pihak yang terlibat dalam koalisi.

Sementara itu, di daerah, koalisi yang tidak efektif terlihat dari adanya ”penyingkiran” wakil kepala daerah dari arena strategis di dalam proses pembuatan aneka kebijakan publik. Muara dari realitas itu adalah saat diadakan pemilu, masing-masing yang terlibat dalam koalisi bisa berhadapan. Pada Pemilu Presiden 1999, Presiden Megawati dan Wakil Presiden Hamzah Haz berjalan sendiri-sendiri. Pilpres 2009 (kemungkinan) akan mencatat persaingan antara presiden dan wakil presiden.

Daerah juga mencatat pemandangan serupa. Tidak sedikit kepala daerah dan wakil kepala daerah berhadapan saat diadakan pemilihan kepala daerah.

Problem kekuasaan

Munculnya realitas semacam itu tidak lepas dari awal koalisi yang lebih didasari pada kepentingan pragmatis daripada yang bercorak ideologis atau orientasi program.

Dalam banyak kasus, koalisi yang terbangun itu lebih didasari pada pertimbangan ”bagaimana memenangi pemilu”. Di benak pelaku koalisi adalah ”dengan siapa atau partai apa saya bisa menang”.

Pertimbangan semacam itu memang tidak salah karena poin dasar dalam setiap pemilihan adalah bagaimana memenangi pemilihan itu. Tidak mengherankan jika sebelum berkoalisi selalu dipertimbangkan dukungan dari orang atau pihak-pihak yang akan diajak berkoalisi.

Namun, pertimbangan semacam itu seharusnya berlanjut pada pertimbangan lain, yakni adanya kesamaan dalam menggunakan kekuasaan. Pertimbangan terakhir ini menjadi amat penting karena selama lima tahun pihak-pihak yang berkoalisi akan bergulat di dalamnya.

Manakala ada perbedaan dalam merumuskan, membuat, dan melaksanakan aneka kebijakan publik di antara pihak-pihak yang berkoalisi melebar, koalisi yang dibangun cenderung tidak efektif. Implikasinya, kinerja pemerintahan tidak bisa maksimal.

Yang menjadi masalah adalah politisi kita kurang menjadikan sejarah politik sebagai pelajaran berharga. Baik dalam pilkada maupun pilpres 2009, setiap pihak yang hendak berkoalisi cenderung menggunakan kalkulasi ”bagaimana memenangkan kekuasaan”, bukan pada ”bagaimana menggunakan kekuasaan”.

Padahal, yang terakhir itu merupakan esensi demokrasi yang jauh lebih penting. Melalui penggunaan kekuasaan, para pejabat politik akan memperlihatkan sejauh mana janji-janjinya terwujud, berikut responsible dan akuntabilitasnya.

Desain kelembagaan yang kita anut diarahkan untuk membangun pemerintahan yang efektif. Pilpres, misalnya, mensyaratkan adanya pasangan calon memiliki 25 persen suara dalam pemilu legislatif atau 20 persen kursi di DPR.

Namun, saat akumulasi, suara itu hanya didasarkan pada pertimbangan ”bagaimana memperoleh kekuasaan”, desain kelembagaan seperti itu kurang maknanya.

Kini masih ada waktu bagi pihak-pihak yang ingin membangun koalisi dalam pilpres. Semoga yang ada di pikiran mereka tidak hanya ”bagaimana memperoleh kekuasaan”. Lebih dari itu adalah ”bagaimana menggunakan kekuasaan” untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.

Kacung Marijan Guru Besar FISIP Universitas Airlangga, Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar