Jumat, 27 Maret 2009

PDIP Partai Berkubang Konflik

Partai Berkubang Konflik
Jumat, 27 Maret 2009 | 03:32 WIB

Perkembangan partai politik pascafusi partai pada tahun 1973 kerap terkait dengan berbagai persoalan konflik yang terjadi pada tubuh partai. Rentetan konflik tidak hanya terjadi pada tubuh partai bercorak keislaman, persoalan yang sama juga terjadi pada PDI. Sejak pendiriannya, PDI yang dilahirkan melalui fusi partai nasionalis PNI, Murba, IPKI, serta partai keagamaan Parkindo dan Partai Katolik itu harus bersusah payah menyamakan visi dan misi yang jelas berbeda.

Sebagai kompromi, Ketua PNI Mohamad Isnaeni terpilih menjadi Ketua Umum PDI. Isnaeni dikelilingi oleh struktur organisasi kompromi yang gemuk, terdiri atas 25 anggota majelis pimpinan pusat, 11 dewan pimpinan pusat, 5 ketua, dan 4 sekjen.

Jelang usia ketiga partai, kepemimpinan PDI goyah. Di tingkat pusat, pertentangan antara Isnaeni yang juga menjabat salah satu Ketua DPR/MPR dan Soenawar Soekawati yang menjabat Menteri Negara Bidang Kesra memanas. Di tingkat daerah, berbagai mosi tidak percaya bermunculan terhadap para ketua DPD. Kongres I PDI, 13 April 1976, akhirnya meredakan konflik. Usep Ranuwidjaja diangkat sebagai ketua umum. Kubu yang berseteru, Isnaeni dan Soekawati, terdepak. Namun, dua tahun kemudian Isnaeni memunculkan DPP tandingan. Akhirnya, campur tangan pemerintah mendamaikan kedua kubu. Isnaeni kembali masuk DPP. Tidak beberapa lama, posisi Isnaeni kembali terancam. Kali ini Ketua umum PDI Sanoesi Hardjadinata yang mendepaknya. Tidak hanya Isnaeni, Soenawar Soekawati juga senasib. Isnaeni dan Soekawati yang dahulu berseteru pun kini berkoalisi, balas memecat Sanoesi.

Konflik tidak hanya pada para pemimpin pendahulu, generasi selanjutnya pun sama saja. Kali ini dalam kepemimpinan Soerjadi, yang terpilih dan ditunjuk oleh pemerintah akibat kegagalan Kongres III PDI di Jakarta. Saat itu, 21 Agustus 1991, Achmad Subagyo membentuk DPP Peralihan karena menganggap kepemimpinan PDI Soerjadi sudah demisioner sejak 2 Mei 1991. Saat Kongres IV, 21-25 Juli 1993 di Medan, berlangsung, DPP PDI Peralihan bersama Kelompok 17 yang berseberangan dengan kepemimpinan Soerjadi mengambil alih jalannya kongres.

Buntutnya, keputusan Kongres IV tidak diakui, termasuk oleh pemerintah sendiri. Kongres luar biasa (KLB) di Surabaya pun digelar. Inilah kongres paling emosional yang memunculkan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDI secara de facto. Keputusan ini didukung selanjutnya oleh musyawarah nasional partai pada 22 Desember 1993. Namun, baik KLB maupun munas tidak sepenuhnya diakui. Muncul pula DPP tandingan pimpinan Gerry Mbatemoy dan Yusuf Merukh, bersama Kelompok 16 pimpinan Ismunandar, yang kembali mengorganisasikan Kongres PDI 1996 di Medan. Kubu Soerjadi pun muncul bersama Fatimah Achmad. Kali ini dengan dukungan pemerintah, Soerjadi mengukuhkan diri sebagai Ketua Umum PDI hasil kongres. Berikutnya, peristiwa 27 Juli 1996, perebutan Kantor Pusat PDI oleh pendukung Soerjadi dari penjagaan pendukung Megawati Soekarnoputri terjadi. Inilah peristiwa terburuk dalam konflik PDI.

Jika ditelisik, semenjak fusi partai terjadi, berikut rentetan konflik internal yang berlangsung, semua sarat dengan intervensi pemerintah. Tidak ada kemandirian partai. Bagi PDI, persoalan internal yang dialami ini jelas merugikan. Dalam setiap pemilu, misalnya, posisinya selalu terakhir. Sempat pada tahun 1992 meraih 14,9 persen suara. Inilah situasi terbaik PDI, di mana kondisi internal partai berlangsung damai. Keluarga Soekarno, termasuk Megawati, di bawah kepemimpinan Soerjadi mampu menarik massa simpatisan.

Runtuhnya rezim Orde Baru dan nihilnya intervensi penguasa menjadi lembaran baru PDI. Di era kebebasan mendirikan partai politik, PDI versi Megawati memilih menjadi PDI Perjuangan (PDI-P) dan berhasil memenangi Pemilu 1999. PDI versi Soerjadi sendiri tetap berdiri di bawah kepemimpinan Budi Harjono, tetapi tidak mampu meraih suara signifikan.

Persoalan selanjutnya, lepas dari campur tangan penguasa lama dan malah kini berubah menjadi penguasa, PDI-P di bawah kepemimpinan Megawati pun tidak luput dari konflik. Merasa tidak sejalan dengan pola kepemimpinan Megawati, pada tahun 2002 satu per satu jajaran pengurus memilih memisahkan diri dari PDI-P, di antaranya Dimyati Hartono pada Februari 2002 mendirikan Partai Indonesia Tanah Airku dan Eros Djarot pada Juli 2002 mendirikan Partai Nasional Banteng Kemerdekaan. Dalam kondisi seperti ini perolehan suara PDI-P merosot hingga 15 persen. Begitupun pasca-Pemilu 2004, jajaran pengurus inti PDI-P, seperti Roy BB Janis dan Laksamana Sukardi, mendirikan Partai Demokrasi Pembaruan. Berbagai konflik internal dan perpecahan partai yang dialami ini seakan menjadi tradisi. Partai kerap terkungkung dalam problem internal yang jelas-jelas menghambat sepak terjangnya.(Bestian Nainggolan)

1 komentar:

  1. jika semua merasa benr sendiri dan tak mau kompromi begitulah sebuah parpol jadi syarat konflik!Parpol yg ideal adalah bukan figur semata serta visi yg ditonjolkan tapi system DALAM partai harus dibuat dengan pikiran bersih dan dijalankan konsisten !Misalnya Jika Ketum Maksimal 2 Periode yaa udah jalankan itu dan cantumksn dalam ad/art partai! yg melanggar yaa di sanksi ! Titik!

    BalasHapus