Selasa, 17 Maret 2009

PETA POLITIK Banten

"Jembatan Politik" Jawa- Sumatera
Senin, 16 Maret 2009 | 03:44 WIB

IGNATIUS KRISTANTO

Banten memiliki posisi yang istimewa, yaitu sebagai ”jembatan penghubung” antara Jawa dan Sumatera. Sebagai ”jembatan”, ia pun mudah terpengaruh oleh kedua sisi wilayah yang dihubungkannya. Baik itu pengaruh budaya maupun preferensi politiknya.

Bagian Jawa yang luasnya meliputi sepertiga Pulau Jawa ini sejak dulu memang mendapat pengaruh dari kedua sisi, baik dari kerajaan yang berkuasa di Sumatera maupun di Jawa. Berlapis-lapis budaya pernah memengaruhi masyarakat Banten.

Menurut Claude Guillot (2008) dalam bukunya Banten, Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII, pada awalnya Banten didirikan oleh bangsawan dari kerajaan di Jawa Tengah yang berlatar Hindu pada abad ke-10. Pada tahun 1016, wilayah ini kemudian dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya yang berlatar budaya Melayu. Setelah itu, penguasanya berganti ke Pajajaran yang berpusat di Bogor sekitar tahun 1400. Pengaruh budaya Jawa kembali masuk Banten setelah wilayah ini dikuasai oleh Kerajaan Demak. Namun, kali ini Demak sekaligus juga ”membawa” Islam.

Latar sejarah yang mendapat berbagai pengaruh budaya tersebut membuat masyarakat Banten terbuka akan perubahan. Di masa kini, perubahan budaya ini memengaruhi juga perubahan politik masyarakatnya.

Perubahan politik ini dapat ditelisik dari pemilihan umum yang terjadi sebelumnya. Pada Pemilu 1955, misalnya, wilayah yang waktu itu masih bergabung dengan Provinsi Jawa Barat ini dimenangi oleh Partai Majelis Syuro Indonesia (Masyumi). Partai berideologi Islam ini memang mendominasi wilayah Sumatera pada waktu itu.

Ketika Orde Baru berkuasa, ”jembatan penghubung” ini berhasil diwarnai oleh penguasa dengan warna tunggal, kuning. Mesin politik Orde Baru waktu itu, Golkar, berhasil menguasai seluruh wilayah Banten. Dalam penyelenggaraan Pemilu dari 1971 hingga 1997, Golkar selalu meraih mayoritas suara di wilayah tersebut.

Wilayah Banten kembali menjadi ajang perebutan politik oleh partai-partai dari beraneka ideologi setelah pemilu secara demokratis kembali dilakukan pada tahun 1999. Kali ini Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang berhasil mengambil ”jembatan penghubung” tersebut. Kali ini pula partai yang banyak dipilih oleh ”masyarakat Jawa” ini yang mampu menguasai wilayah Banten. Perolehan suaranya mencapai 35 persen. Jadi, orientasi pilihan politik masyarakat Banten serupa dengan seluruh Jawa.

Lima tahun kemudian, Pemilu 2004, orientasi politik sebagian besar masyarakat Banten berubah kembali. Kali ini sama dengan yang dipilih oleh warga di Sumatera, yakni Partai Golkar. Seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Banten dikuasai oleh partai berlambang beringin ini. Secara keseluruhan, partai ini mampu meraih 22 persen suara.

Dalam pemilihan kepala daerah untuk memilih gubernur dan wakilnya yang berlangsung pada tahun 2006, komposisi pilihan masyarakat Banten juga berubah. Pilkada ini memang dimenangi oleh pasangan Ratu Atut Chosiyah-M Masduki yang didukung oleh koalisi Partai Golkar, PDI-P, PBB, PBR, dan PDS, tetapi yang istimewa adalah perolehan suara yang diraih calon yang didukung Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Meskipun kalah, partai berideologi Islam yang mengusung Zulkieflimansyah-Marissa Haque itu mampu meraih 30-an persen suara. Bahkan, besaran angka ini melampaui perolehan suara yang diraih Partai Masyumi pada tahun 1955 yang mencapai 26 persen.

Berbagai pemilu tersebut mengindikasikan bahwa pilihan politik masyarakat Banten sering berubah. Apakah ini berarti menyalahi pandangan Herbert Feith (1999) yang mengungkapkan bahwa preferensi politik masyarakat Jawa relatif tetap, termasuk Banten, yaitu masih bersandar pada politik aliran?

Jika merujuk pandangan Feith tersebut, apabila pemilahannya berdasarkan politik aliran yang lebih luas, yakni partai-partai Islam dan nasionalis-sekuler, pandangan tersebut masih terbukti kebenarannya. Hal ini dapat dilihat dari hasil penggabungan perolehan suara partai-partai berideologi Islam dan berbasis massa Islam, dilawankan dengan perolehan suara gabungan partai-partai sebaliknya, nasionalis-sekuler. Hasilnya tetap, gabungan suara partai-partai Islam meraih sekitar 40 persen, sedangkan partai-partai nasionalis-sekuler mendapat kurang lebih 60 persen. Proporsi ini hampir sama antara Pemilu 1955, Pemilu 1999, dan Pemilu 2004.

Akan tetapi, jika dilihat secara rinci berdasarkan perolehan suara masing-masing partai dari ke tiga pemilu tersebut terus berubah. Tidak ada partai politik yang stabil mempertahankan perolehan suaranya di sini.

Utara-selatan

Meskipun secara keseluruhan pilihan politik masyarakatnya terhadap partai sering berubah, hal itu ternyata tidak terjadi di semua bagian wilayahnya. Perbedaan dari sisi perubahan politik ini lebih terasa apabila dipilah antara wilayah utara dan selatan Banten.

Masyarakat di wilayah utara, di Kabupaten Serang, Kabupaten Tangerang, Kota Cilegon, dan Kota Tangerang, relatif lebih gampang berubah dibandingkan dengan wilayah selatan, yaitu Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak. Ini bisa dilihat dari hasil perolehan suara PDI-P dalam dua pemilu terakhir.

Pada Pemilu 1999, suara PDI-P di wilayah utara mencapai 35 persen, lima tahun kemudian merosot menjadi 13 persen. Lain dengan di wilayah selatan, sebelumnya mencapai 34 persen kemudian menjadi 18 persen. Wilayah utara perubahannya lebih besar dibandingkan dengan wilayah selatan.

Dalam banyak hal, perkembangan di wilayah utara memang lebih dinamis. Misalnya seperti yang terlihat pada sisi ekonomi antara utara-selatan yang timpang. Kegiatan ekonomi Banten 90 persen ada di wilayah utara. Industri-industri besar banyak dibangun di wilayah ini, seperti di Cilegon dan Tangerang. Akibatnya, banyak pendatang dari berbagai provinsi mencari rezeki di sini. Inilah yang berdampak pada komposisi penduduknya. Oleh karena itu, orientasi pilihan politiknya pun berubah berdasar latar etnis dan budayanya.

Ciri khas hubungan pilihan politik dan etnis ini dapat dilihat di Kabupaten dan Kota Tangerang. Di kedua wilayah yang merupakan tempat limpahan penduduk pendatang dari Jakarta ini, proporsi etnis Jawa mencapai 30 persen, paling banyak di antara daerah lain di Banten, ternyata perolehan suara PDI-P hampir setara dengan jumlah orang Jawa di sini.

Itulah Banten. ”Jembatan penghubung politik” ini dapat berubah sewaktu-waktu. Partai-partai politik yang bertarung di Pemilu 2009 mempunyai peluang yang sama besar untuk menaklukkan daerah ini, tergantung pengaruh siapa yang menang dari dua sisi yang mengapitnya.

(Ignatius Kristanto/ Litbang Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar