Selasa, 17 Maret 2009

JK Menantang SBY?


Selasa, 17 Maret 2009 | 05:32 WIB

EFFENDI GAZALI

Citra personal (personal branding) seperti apakah yang bisa diunggulkan jika Jusuf Kalla benar akan berhadapan dengan Susilo Bambang Yudhoyono?

Buya Syafii Maarif menyebutnya The real President, sementara Straits Times menggelari ”Mr. Fix It”. Budiarto Shambazy pernah memakai istilah ”orisinil dan tidak sok genting”.

Di luar itu, publik mungkin masih memosisikan JK sebagai saudagar yang suka bergaul di antara komunitasnya. Atau yang paling praktis sebagai politikus yang memang tidak populer (sesuai hasil berbagai survei). Jadi, ada jurang antara citra oleh beberapa orang yang mengenal JK dengan publik yang mungkin tidak berkesempatan untuk itu.

Dalam berbagai studi kontemporer terlihat bagaimana tokoh politik dan konsultannya membangun citra personal sejak dini dan dengan amat teliti. Willnat (Political Communication in Asia, 2009) antara lain menyodorkan India sebagai kasus menarik meski pemunculan SBY sejak 2003 seharusnya juga dicatat sebagai hasil dari perencanaan dan pemeliharaan citra personal yang sukses!

Posisi JK kini

Sebenarnya tidak ada kejutan apa pun saat JK setuju diajukan sebagai capres. Dia memang harus menyambut pernyataan bulat semua DPD itu, paling tidak untuk empat alasan.

Pertama, Golkar sedang dilanda friksi dan faksi-faksi, entah itu mau diakui atau terus disangkal.

Kedua, SBY dan Partai Demokrat (PD) sebagai teman koalisi utama Golkar dalam pemerintahan telah memilih untuk ”memulai maraton panjang pencitraan lebih awal dan tidak mengajak Golkar”; bahkan kemudian hasilnya dalam waktu singkat —melalui survei—diklaim mampu melambungkan PD sampai 300 persen.

Ketiga, jika perolehan suara Golkar 2009 berada di bawah prestasi Akbar Tandjung, posisi JK sebagai ketua umum bisa terancam. Keempat, hampir tiap hari aneka komentar tak senada mengalir dari tokoh-tokoh Golkar, soal koalisi, kampanye bersama, dan sebagainya.

Budiarto Shambazy benar, di atas empat alur logika itu, JK masih menambahnya dengan pemilihan momentum yang tepat! Ia menunggu setelah melengkapi berbagai pengakuan dunia internasional lewat lawatannya ke sejumlah negara penting, serta tentu saja pascapernyataan bahwa Golkar hanya akan memperoleh 2,5 persen suara.

Dalam politik, hal-hal yang terlihat ”remeh-temeh” bisa menjadi aset besar yang dimanfaatkan. Sekali JK bilang, ”Ya, saya bersedia”, keempat hal itu terjawab sudah. Seketika itu pula, mereka yang mungkin mengincar kursinya dari belakang, atau sedang punya skema lain, terperangah. Mereka mungkin telah menduga JK akan melakukan hal itu, tetapi magnitude pernyataan JK ternyata menjadi bola panas yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.

Namun, sejak pernyataan itu pula, JK berada di persimpangan jalan antara makin menyolidkan Golkar sebagai ”macan tidur yang baru saja dibangunkan pengurus PD” dan mendongkrak citra personalnya yang, selalu dinyatakan survei, tidak pernah lebih dari 3 persen.

Hangat-dekat-spontan

Lepas dari hitung-hitungan koalisi praksis nantinya, benchmark personal JK sekarang haruslah SBY. Citra personal SBY selama ini dikenal penuh pertimbangan, bijak, agak pelan mengambil keputusan, bicara sistematis, relatif formal; tetapi belakangan dengan strategi serta kemampuan para konsultannya, SBY pelan-pelan makin terasa dekat dengan rakyat.

Lihat pilihan ungkapan iklan testimonial: ”Terima kasih Pak SBY” yang demikian akrab dan personal. Sering pula kita dengar bagaimana Fox Indonesia (konsultannya) meramu semua itu dengan kapabilitas yang tidak coba-coba, sistematis, integratif, dan satu pintu.

Saat menjadi tamu di acara BBM-RCTI (2/3), saya mencermati elemen citra personal JK yang mungkin bisa menjadi alternatif pilihan publik. JK tampil begitu spontan, sebagai pribadi yang hangat dan dekat dengan publik. JK bisa menjawab dengan bahasa rakyat, pendek-pendek, diselingi canda (memang ciri khasnya), dan dalam banyak kesempatan mau diam mendengarkan sambil bertepuk tangan dan tersenyum lepas.

Namun di luar itu, berbeda dengan arah iklan-iklan SBY dan PD yang makin memakai kedekatan dan bahasa rakyat, iklan Partai Golkar hampir semuanya normatif. Yang paling mutakhir adalah iklan JK sedang bicara dengan menggulung tangan seperti seseorang tengah menyuarakan keyakinan untuk menang ”lebih cepat-lebih baik” dari sebuah ”pusat kekuasaan” nun jauh di sana. Jika ini yang dimaksudkan untuk mengejar jarak antara citra personal 3 persen menantang—sedikitnya—59 persen (milik SBY), tentu hampir mustahil, siapa pun konsultannya, dalam sisa waktu satu sampai empat bulan.

Memang kini JK bagai magnet yang memancing banyak free rider yang mungkin memasang dua kaki sambil menawarkan berbagai konsep citra personal baginya. Namun, dengan awal yang tidak jelas, mestinya pengamat lebih yakin, citra personal SBY yang kian dekat dengan rakyat tidak akan banyak terguncang!

Effendi Gazali Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI, Kontributor Buku Political Communication in Asia; Communication Series, 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar