Minggu, 29 Maret 2009

Jangan Meratapi Putusan MK



INDONESIA akan menggelar hajatan besar di tahun ini, tepatnya 9 April mendatang, guna memilih para calon legislatif untuk menduduki kursi DPR, DPD, dan DPRD provinsi/kota/kabupaten. Para calon legislatif (caleg) sibuk menjual janji-janji manis.

Pernahkah Anda mencermati perbandingan jumlah caleg perempuan dan laki-laki? Sayangnya, Indonesia masih menganut ideologi patriarkhi.

Dalam pengambilan keputusannya, partai politik dan negara masih mengacu kepada konsep perempuan makhluk domestik (mengandalkan emosi) dan laki-laki sebagai makhluk publik (lebih mengandalkan rasio yang rigit dan normatif). Dalam urusan politik dan negara, perempuan diletakkan di barisan belakang !

Menurut Prof Dr Agnes Widanti, koordinator Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA) Jateng, ratifikasi Konvensi (Internasional) tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) ke dalam UU No 7/1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (terutama hak-hak politik perempuan) nyatanya tak membuahkan hasil yang nyata.

’’Belum ada percepatan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, terutama hak-hak politik mereka,’’ kata Agnes Widanti, ketika menjadi pembicara dalam diskusi publik mengenai Peluang Keterwakilan Perempuan dalam Parlemen di Pemilu 2009, di Ruang Serba Guna DPRD Jateng, Kamis (12/3) lalu.

Hilangnya Kuota

Hal ini makin dikukuhkan melalui keputusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK), yang justru menjadi pemicu hilangnya affirmatif action dan kuota keterwakilan perempuan di parlemen. Sebelum ada putusan MK, ada sedikit jaminan bahwa jumlah perempuan di parlemen sedikitnya 30 persen. Kini, dengan adanya klausul suara terbanyak, sulit tercapai perempuan di parlemen dalam kuota minimal tersebut.

Saat ini, jumlah perempuan di MPR hanya sembilan persen dan di DPR malah delapan persen. Hal ini menandakan kaum perempuan belum diterima dalam konstruksi sosial masyarakat dan penguasa negeri ini. Fakta ini sekaligus mengukuhkan persepsi bahwa politik hanya didominasi kaum laki-laki, dan meminggirkan kaum perempuan.

’’Keputusan MK memunculkan pesimisme mengenai nasib caleg perempuan. Putusan itu menutup peluang perempuan untuk menuai berkah dari sistem nomor urut bersyarat,’’ kata Dra Hj Sri Marnyuni, caleg DP 5 untuk DPRD Propinsi Jawa Tengah, dalam seminar nasional Hak Politik Perempuan sebagai Anggota Legislatif di Graha Kebangsaan, kampus Untang Semarang, Sabtu (14/3).

Semula, kata sekretaris Pemberdayaan Perempuan DPW PAN Jateng itu, upaya meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen dilakukan dengan menempatkan sedikitnya satu calon perempuan dari setiap tiga orang caleg. Kini semuanya sulit direalisasi.

Strategi Baru

Memang, tidak semua caleg perempuan menentang putusan MK. Bagi Hj Hesty Wahyuningsih, caleg PDI-P untuk Dapil 2 DPRD Kota Semarang, putusan MK justru bijaksana. ’’Biar terlihat kedaulatan betul-betul di tangan rakyat. Melalui suara terbanyak, kita buktikan perempuan mampu bekerja karena memiliki kompetensi,’’ ujarnya.

Ya, sebaiknya caleg perempuan tak perlu meratapi kehilangan kuota. Mereka harus percaya diri dan memiliki kemampuan berpolitik. Selain itu, harus mampu memanfaatkan keunggulannya sebagai makhluk yang teliti, cermat, jujur, dan mudah meredam konflik.

Lalu, strategi apa yang diperlukan agar caleg perempuan dapat survive dalam kompetisi elektoral ini? Dyah Woro Haswini, caleg PKS, memaparkan strategi baru ini dalam diskusi publik di Ruang Serba Guna DPRD Jateng.

Ke depan, kata dia, harus ada upaya perempuan di parlemen untuk mengajukan amandeman UU.

Selain itu, menyosialisasikan dan memengaruhi pandangan masyarakat, tokoh masyarakat / agama, dan pandangan partai masing-masing, mengenai urgensi kuota keterwakilan perempuan di parlemen. (Tafrida Tsurayya-32)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar