Jumat, 27 Maret 2009

PETA POLITIK


Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Geliat Banteng Mengubur Luka
Jumat, 27 Maret 2009 | 03:35 WIB

Oleh Bestian Nainggolan

Mendekati hari-hari pelaksanaan Pemilu 2009, pertanyaan apakah PDI Perjuangan berhasil memenangi perebutan suara pemilih patut dilontarkan. Mungkinkah partai ini bakal mengulang pencapaian terbesar mereka sebagaimana yang pernah diraihnya satu dasawarsa lalu?

Pencapaian masa lampau memang manis untuk dikenang. Perjuangan panjang dan ketekunan dalam menghadapi berbagai tekanan politik dan konflik yang mendera Partai Demokrasi Indonesia (PDI) berbuah pada tahun 1999. Di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, PDI yang selanjutnya diubah menjadi PDI Perjuangan (PDI-P) mampu menuai simpati sekitar 35,7 juta pemilih atau 33,7 persen suara nasional. Dengan proporsi tersebut, partai ini menempatkan 153 wakilnya di kursi DPR. Pencapaian ini jelas teramat tinggi. Hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan pencapaian tertinggi masa lampau saat partai ini berhasil menempatkan 56 wakilnya di DPR pada Pemilu 1992.Prestasi PDI-P dalam Pemilu 1999 menjadi semakin sempurna dua tahun kemudian sejalan dengan dinobatkannya Megawati Soekarnoputri sebagai presiden, hasil Sidang Istimewa MPR 2001. Namun, sayangnya pencapaian itu tidak mampu terpertahankan. Pemilu 2004 merontokkan sebagian besar keberhasilan partai ini. PDI-P hanya mampu menjadi pemenang kedua, di bawah Golkar, dengan raihan 18,5 persen suara. Kursi DPR pun merosot, tinggal 109. Megawati Soekarnoputri juga gagal memperpanjang jabatan kepresidenannya, terkalahkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono.

Peristiwa yang terlalui menjadi catatan pahit PDI-P. Jelas, tidak ada satu pun jajaran pengurus hingga para kader partai yang ingin mengulang kegagalan tersebut. Persoalannya sekarang, seberapa besar pamor PDI-P kini?

Memperkuat pijakan

Tahun awal pascakekalahan Pemilu 2004 masih tampak berat langkah PDI-P. Maklum, partai penguasa kini menjadi yang hilang kuasa. Penyebab kegagalan, partai ini dianggap lalai memelihara basis massanya dan sekaligus gagal memuaskan para simpatisan. Di sisi internal, pascakekalahan juga melahirkan berbagai ketidaksesuaian di antara elite partai. Ketidakpuasan atas putusan DPP bermunculan. Seakan mengulang masa lampau partai yang kerap berlumuran perpecahan, PDI-P nyaris terjebak dalam kubangan yang sama. Pada tahun 2005 sebagian tokoh teras PDI-P memisahkan diri, membangun Partai Demokrasi Pembaruan.

Beruntung, perpecahan tidak berlanjut. Setelahnya, PDI-P berupaya menertibkan kembali persoalan internal yang menggerogoti tubuhnya. Dari sisi perluasan pengaruh partai kepada masyarakat luas, juga intens dilakukan. Sayap-sayap organisasi partai dibangun kembali guna memperlebar peluang merebut kembali suara-suara yang hilang. Menyadari ketidakmampuan partai ini menembus pengaruh di wilayah dominan Islam, misalnya, tahun 2006 dipersiapkan Baitul Muslimin sebagai sayap keagamaan.

Di sisi lain, PDI-P tetap mempertahankan gaya kepemimpinan yang tradisional, bersandar pada figur dan patron Megawati. Namun, pengaderan dan jembatan menuju proses regenerasi kepemimpinan menjadi persoalan yang cukup serius dicermati. Kualitas kader mulai dijadikan pertimbangan dalam berbagai persiapan ajang kontestasi politik lokal ataupun calon anggota legislatif. Sebagai gambaran, dari sekitar 631 calon anggota legislatif PDI-P dalam Pemilu 2009, sedikitnya tiga perempat bagian caleg minimal berpendidikan sarjana. Menariknya, tidak kurang dari 36 calon merupakan tamatan S-3, bergelar doktor! Jumlah ini tertinggi dibandingkan dengan caleg partai politik lain. Bagi PDI-P, tampak jelas bahwa kali ini mereka tidak ingin terperosok untuk kedua kalinya.

Buah perjuangan

Dalam perjalanannya, upaya memperluas pengaruh politik mulai berbuah. Berbagai ajang kontestasi lokal pilkada langsung yang mulai digelar sejak tahun 2005 menjadi salah satu informasi soliditas partai ini. Hasilnya, dari sekitar 459 kota dan kabupaten, PDI-P mampu memenangi calonnya secara tunggal di 41 kabupaten dan kota. Bali, misalnya, menjadi basis yang tetap terjaga, enam dari sembilan kota dan kabupaten dimenangi tanpa berkoalisi. Di samping kemenangan secara tunggal, ada 116 kabupaten dan kota yang dimenangi PDI-P secara berkoalisi. Beberapa wilayah yang hilang dalam Pemilu 2004, melalui ajang pilkada dikuasai kembali. Provinsi Lampung, misalnya, bagian terbesar pimpinan kabupaten dan kota berikut gubernur wilayah itu dikuasai kader partai ini.

Memang ada 39 kabupaten dan kota yang dalam Pemilu 2004 berhasil dikuasai, tetapi dalam ajang pemilihan kepala daerah kabupaten dan kota dikuasai oleh partai lain. Kondisi demikian cukup mengkhawatirkan. Di wilayah yang dikenal sebagai basis PDI-P, seperti Jawa Tengah, misalnya, dari sekitar 27 kota dan kabupaten yang dikuasai, hanya 11 kabupaten/kota yang berhasil dipertahankan secara tunggal dalam pilkada. Bagian besar (14 kota dan kabupaten) direbut oleh calon dari parpol lain. Namun, dengan akumulasi kemenangan yang diraih, dapat dikatakan secara nasional PDI-P berpotensi meluaskan pengaruh politiknya melalui penguasaan kepemimpinan di sepertiga wilayah kabupaten dan kota di Indonesia.

Hasil survei opini publik juga mendukung semakin membaiknya posisi PDI-P dibandingkan masa lampau. Sejumlah survei berskala nasional menunjukkan, sejak tahun 2006 hingga 2009 terjadi trend peningkatan dukungan terhadap partai ini. Survei nasional terbaru yang dilakukan Litbang Kompas, 20 Februari-3 Maret 2009, mengungkapkan, proporsi perolehan PDI-P diperkirakan sebesar 20,4 persen. Dengan mempertimbangkan margin of error survei, diperkirakan potensi pencapaian tertinggi partai ini sekitar 22 persen. Membandingkan pencapaian PDI-P saat Pemilu 2004 (18,5 persen), proporsi peningkatan dukungan signifikan diraih. Hanya, jika tidak terdapat suatu perubahan politik yang radikal, masih agak jauh tampaknya peluang bagi partai ini untuk mengejar kesuksesan perolehan mereka seperti yang ditorehkan pada Pemilu 1999. (Bestian Nainggolan/ Litbang Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar