Minggu, 15 Maret 2009

Pertanyaan Rakyat, untuk Siapa Pemilu Ini?

Imam Prihadiyoko

Kaum intelektual menyatakan, pemilu harus berjalan lengkap dengan segala pernik demokrasi yang ideal. Pernik itu, seperti bersih dari politik uang, diselenggarakan dengan jujur, tanpa cacat, baik selama proses persiapan maupun pelaksanaan.

Realitas di lapangan tak sepenuhnya berjalan di garis ideal. Ada lintasan abu-abu, bahkan wilayah hitam yang harus dilalui.

Ketika menginginkan pemilu yang bersih dari politik uang, di sisi lain masih banyak warga yang mengatakan, sekarang ini giliran mereka mendapatkan uang dari politisi atau partai politik. Mereka tidak peduli risiko lima tahun yang akan datang. Toh, pengalaman yang menjadi ingatan kolektif rakyat memberikan gambaran, pascapemilu mereka tidak akan mendapat apa-apa lagi.

Tak heran jika rakyat bingung saat salah satu ketua umum parpol terkena peringatan dari Panitia Pengawas Pemilu karena membagikan beras dalam kantong bergambar partai, yang dianggap politik uang. Padahal, rakyat membutuhkan beras itu. Atau, sebagian warga Sulawesi Selatan marah kepada Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Soetrisno Bachir gara-gara memecat calon anggota legislatif (caleg) PAN dari Sulawesi Selatan yang tertangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Padahal, langkah semacam ini seharusnya mendapat dukungan rakyat. Sebab, PAN turut menegakkan hukum dan berkomitmen serius memberantas korupsi. Namun, tampaknya masih ada rakyat yang tidak mau. Pendidikan politik yang mereka terima tidak nyambung dengan problem kehidupan yang dihadapi rakyat dalam keseharian.

Dalam mazhab Gramscian, ada idiom yang mengatakan, kalangan terdidik atau cendekiawan harus memihak dengan kelas atau suatu kelompok tertentu. Hal ini sering diterjemahkan Soetrisno Bachir dengan mengatakan, kekuasaan sesungguhnya bukan untuk kekuasaan semata, tetapi untuk memberikan kesejahteraan yang diamanatkan konstitusi. Kepada rakyatlah ujung dari kekuasaan itu harus berakhir.

Artinya, penyelenggaraan pemilu yang menelan biaya ratusan miliar rupiah dari uang rakyat yang terhimpun dalam APBN, dan pasti lebih besar lagi yang dikeluarkan dari kas partai dan kantong caleg, idealnya didedikasikan untuk menyejahterakan rakyat. Namun, pengalaman lima tahun terakhir, tampaknya memang tidak mudah mewujudkan amanat konstitusi untuk menyejahterakan rakyat. Inilah yang muncul di benak rakyat ketika akhir-akhir ini menyaksikan banyaknya partai dan terutama caleg mendatangi rakyat dengan seribu satu tawaran.

Parpol berharap, pemilu dapat membangun mekanisme untuk merespons citra negatif lembaga perwakilan. Paling tidak, itulah yang diungkapkan mantan Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemilu dari DPR Ferry Mursyidan Baldan.

”Sebagai politisi, saya sering dihadapkan pada pertanyaan konstituen yang langsung menanyakan apa bedanya atau apa yang dijanjikan kepada kami untuk sesuatu yang lebih baik. Karena kondisi psikologis pikiran mereka hari ini berbeda dengan kami politisi. Kami sedang berupaya, pemilu penting, pemilih datang dengan tingkat kesulitan seperti ini. Pikiran mereka, menantunya baru terkena pemutusan hubungan kerja, anaknya belum bayar sekolah. Bagaimana menghubungkan hal ini adalah persoalan tersendiri,” ujarnya.

Sebulan menjelang pemberian suara Pemilu 2009, Givi Efgivia, caleg PAN dari Daerah Pemilihan (Dapil) Jakarta II, juga masih sering ditanyai tentang apa arti pemilu bagi masyarakat. Pertanyaan yang sering dilontarkan masyarakat ini memang tak gampang dijawab. Banyak caleg, seperti Givi, gamang untuk memberikan jawaban. Bukan karena mereka tak bisa memberikan jawaban, tetapi sedikit tebersit keraguan pada sistem pemilu, apakah memang bisa menghasilkan pilihan rakyat yang bisa diharapkan memberikan perubahan nasib bagi rakyat. Keraguan yang hampir sama besar, atau bahkan lebih besar lagi, dirasakan oleh pemilih.

Ferry mengakui, pertanyaan masyarakat saat ini memang sudah lebih maju. Kalau sebelumnya rakyat masih sering mempertanyakan apakah pemilu jadi atau tidak, sekarang pertanyaannya lebih substansial. Mereka punya keyakinan, pemilu akan tetap berlangsung. Sama yakinnya dengan Komisi Pemilihan Umum ketika ditanya tentang pelaksanaan pemilu, yakin 100 persen akan berlangsung sesuai dengan jadwal yang ditentukan.

Menurut Ferry, masyarakat sekarang sudah menanyakan seperti apa pemilu nanti. Meski tampaknya ringan, pertanyaan itu merupakan gambaran bahwa masyarakat memang masih banyak yang bingung menghadapi pemilu nanti dan ada tanda ketidakpastian. Inilah yang menghantui masyarakat.

”Terus terang saya bilang, pemilu jadi. Jawaban ini juga membantu memberikan kesan psikologis. Jadi, intensitas kampanye tak kita turunkan, malah ditingkatkan, karena pemilu sebentar lagi. Ini yang saya lakukan, meski tidak langsung, tetapi bisa meyakinkan bahwa pemilu jadi dilaksanakan,” ujarnya.

Sebagai politisi yang sedang maju sebagai caleg lagi, ia mengakui, memang tidak mudah berkampanye untuk mengumpulkan suara dukungan ketika langsung dihadapkan pada keraguan, bahkan ketidaksukaan rakyat pada partai dan politisi. Apalagi ketika berhadapan dengan masyarakat di dapil yang langsung menanyakan apa yang dibawa. Ketika diberi kartu nama, mereka bertanya mengapa tidak ada kaus. Ketika diberikan kaus, mereka bertanya lagi, mengapa cuma kaus. Ketika diberikan uang tambahan, minta tambahan lagi, dan seterusnya.

Kondisi seperti ini tampaknya membuat sejumlah caleg frustrasi ketika harus berhadapan dengan konstituen di dapilnya. Yang paling mengesalkan, lanjut Givi, adalah menghadapi makelar politik yang datang dan ikut menjanjikan suara pemilih. Bagi caleg yang tak mau turun sendiri dan memiliki modal dana yang besar, kehadiran makelar ini menguntungkan. Tergantung dari bagaimana negosiasi dan kesepakatan yang dibuat.

”Saya yang tidak punya uang banyak sering kali dipusingkan dengan berbagai proposal dan makelar ini. Kalau saya mampu, bisa dibayangkan berapa dana yang harus disiapkan. Kalau dari hitungan-hitungan, bisa saja nantinya berpikir bagaimana harus mengembalikan uang sebanyak itu. Apa harus korupsi? Itu sebabnya saya tak pernah melayani makelar suara ini,” ujar Givi.

Di Dapil DKI Jakarta, harga yang diminta untuk satu suara Rp 50.000-Rp 100.000. Bahkan, ada yang bersedia menerima pembayaran setelah hasil pemilu diumumkan. Harga yang hampir serupa dimintakan makelar suara di Jawa Timur.

Seorang caleg Partai Kebangkitan Bangsa yang maju di Dapil Jawa Timur sampai malu untuk turun menemui konstituen karena selalu ditanyai tentang ”oleh- oleh” yang ia memang tidak sanggup membawanya.

Dilema lain yang dihadapi caleg saat harus turun di dapilnya adalah pilihan untuk terjun langsung atau melibatkan infrastruktur partai. Idealnya, infrastruktur partai bisa menjadi motor untuk memenangi kampanye. Ternyata, semuanya ada harga yang harus dibayar. Inilah yang membuat sesak dada caleg atau mereka yang menghendaki pemilu yang bersih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar