Senin, 30 Maret 2009

Pemilu Legislatif


Masalah dalam Penghitungan Kursi DPR
Senin, 30 Maret 2009 | 04:15 WIB

Penghitungan perolehan kursi dan penetapan calon terpilih anggota DPR hasil Pemilu 2009 tidak lagi sama dengan pemilu sebelumnya. Terdapat berbagai varian teknis ”baru” yang mesti dimasukkan dalam penghitungan perolehan kursi anggota DPR.

Yang pertama, soal ketentuan parliamentary threshold (PT) yang ditetapkan sebesar 2,5 persen total suara nasional. Dengan ketentuan ini, parpol yang total perolehan suaranya tidak mencapai 2,5 persen total suara sah hasil pemilu legislatif tak akan disertakan dalam tahap penghitungan perolehan kursi DPR di seluruh daerah pemilihan.

Artinya, perolehan suara semua parpol peserta Pemilu 2009 di 77 daerah pemilihan harus direkapitulasi terlebih dulu untuk menentukan parpol mana saja yang berhak memperebutkan kursi di sebuah dapil. Perolehan sebuah parpol, sekecil apa pun, akan memengaruhi komposisi keseluruhan perolehan suara parpol secara nasional.

Berdasarkan BPP

Rumusan penghitungan tahap pertama standar, yaitu membagikan kursi kepada parpol yang perolehan suaranya melampaui bilangan pembagi pemilihan di sebuah dapil. BPP ditetapkan sebagai hasil pembagian total perolehan suara parpol yang melampaui PT dengan jumlah kursi DPR yang diperebutkan di dapil bersangkutan.

Yang potensial bermasalah adalah ketentuan berikutnya, dalam hal masih ada sisa kursi DPR yang belum terbagi dalam penghitungan tahap pertama. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 menyebutkan, jika masih ada kursi tersisa, kursi itu dialokasikan kepada parpol yang memperoleh suara minimal 50 persen BPP. Klausul tersebut potensial salah dimengerti.

Prinsip dasar yang mengemuka dalam pembahasan RUU Pemilu, kursi tahap kedua ini diberikan kepada parpol yang perolehan suaranya mencapai 50 persen BPP. Wacana yang mengemuka saat itu, sisa kursi tak boleh dengan gampang diberikan kepada parpol yang hanya mengandalkan sisa suara. Tidak adil jika parpol yang suaranya berlipat-lipat ketimbang parpol lain memperoleh kursi yang sama dengan parpol yang memperoleh kursi dari sisa suara.

Contoh yang mencolok untuk kasus ini adalah perolehan kursi DPR hasil Pemilu 2004 untuk Dapil Maluku Utara.

Klausul dalam UU No 10/2008 dimaksudkan untuk ”mencegah” sebuah parpol menarik keuntungan dengan bermodalkan suara yang pas-pasan. Dengan tahapan penghitungan suara yang diatur UU No 10/2008, prioritas pertama diberikan kepada parpol yang perolehan suaranya melampaui BPP. Berikutnya, prioritas pada parpol yang perolehan suaranya mencapai 50 persen BPP. Berikutnya, parpol yang perolehan suaranya tak mencapai 50 persen BPP hanya akan berharap memperoleh limpahan sisa kursi DPR yang ditarik ke tingkat provinsi.

Namun dalam rumusan KPU di atas, penghitungan tahap kedualah yang layak diperdebatkan. Klausul ala KPU, parpol yang telah memperoleh kursi pada tahap pertama, hanya sisa suaranya yang melebihi 50 persen BPP yang dimasukkan dalam penghitungan tahap kedua. Jika tidak, sisa suara itu akan ditarik ke provinsi memperebutkan sisa kursi, kalau masih ada.

Jika merujuk ”semangat awal” dalam pembahasan RUU Pemilu, ada celah ketidaksinkronan. Penghitungan ala KPU tersebut kemungkinan tidak ”memproporsionalkan” perolehan kursi dengan perolehan suara. Bisa saja terjadi, sebuah parpol yang memperoleh 140 persen BPP memperoleh kursi yang sama dengan parpol yang hanya mendapatkan 51 persen BPP, padahal perolehan suaranya nyaris satu berbanding tiga. Implementasi ketentuan tahap kedua itulah yang luput disimulasikan secara detail.

Dalam berbagai kesempatan, Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary kerap meminta semua pihak tidak berandai-andai menyangkut penyelenggaraan Pemilu 2009. Namun, tanpa simulasi memadai dan penjelasan utuh kepada semua parpol, tata cara penghitungan ini potensial menjadi persoalan. (SIDIK PRAMONO)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar