Minggu, 15 Maret 2009

Pemimpin atau Penjual

BUDIARTO SHAMBAZY

Salah satu alasan Tritunggal (Soekarno-Mohammad Hatta-Sutan Sjahrir) tak bertahan lama karena kepala mereka lebih keras daripada batu. Tak heran mereka mirip film kartun Tom and Jerry.

Hatta mengakhiri era keemasan Dwitunggal setelah mundur sebagai wapres tahun 1956 karena menganggap Soekarno makin otoriter. Soekarno amat menghormati Hatta, baik sebagai proklamator maupun administrator.

Soekarno memberikan peluang kepada Hatta—juga Sjahrir—memimpin kabinet sebagai perdana menteri. Kala itu ia sering melawat ke daerah menggalang kebinekaan ala Pancasila.

Tentu Soekarno pernah geram kepada Hatta. Saking jengkelnya, ia sempat keceplosan bahwa tanpa Hatta pun ia bisa membaca teks Proklamasi sendirian saja.

Ketika Republik genting menjelang pemberontakan PRRI/ Permesta 1957-1958, Hatta pergi ke sejumlah daerah membela Soekarno. Namun, kritik Hatta makin tajam setelah Soekarno memberlakukan Dekret 5 Juli 1959.

Hatta nekat minta izin ke Soeharto menjenguk Soekarno, sahabatnya yang sekarat. Soekarno siuman, mereka menangis sambil bergenggaman tangan dan dua hari kemudian Soekarno wafat.

Hubungan Hatta-Sjahrir bagus. Setelah menyelesaikan studi di Belanda, Hatta menyiapkan Sjahrir sebagai penggantinya, memimpin Perhimpunan Indonesia.

Namun, Hatta jengkel pada politicking Sjahrir yang ikut menghancurkan demokrasi parlementer sebelum Pemilu 1955. Akibatnya, Hatta ”ditendang ke atas” dari jabatan PM yang berkuasa jadi wapres ban serep.

Kekesalan Hatta tampak dari jawabannya atas pertanyaan basa-basi Sjahrir tentang tugas wapres. ”Saya sekarang mengurus PON (Pekan Olahraga Nasional) agar kita sehat, termasuk kamu,” sindir Hatta.

Soekarno dan Sjahrir ibarat air dan minyak yang mustahil dicampur. Saat bersua pertama kali di Bandung, Sjahrir secara terbuka mengkritik Soekarno yang memakai bahasa Belanda—bukan Indonesia—dalam rapat-rapat PNI.

Sjahrir dongkol tiap kali Soekarno mandi sambil bernyanyi karena suaranya sumbang. Soekarno suka meledek Sjahrir sebagai pejuang yang mengandalkan siaran radio-radio luar negeri.

Sjahrir ditangkap Soekarno 18 Januari 1962 dan disekap di penjara Madiun, RSPAD, Jalan Keagungan, dan RTM Budi Utomo. Ia dituduh terlibat dalam upaya pembunuhan Soekarno saat iring-iringan mobil Kepala Negara dilempari granat di Makassar, 7 Januari 1962.

Selain berbakat memimpin dan berotak cair, Tritunggal terbentuk karena tiga faktor. Kombinasi ketiga faktor itu membuktikan kelahiran Tritunggal sudah menjadi suratan sejarah (fate), bukan sekadar untung- untungan (luck).

Faktor pertama, politik etis Belanda yang membuka sekolah bagi pribumi. Tritunggal mengenyam pendidikan bermutu tinggi, termasuk Hatta dan Sjahrir yang belajar ke Belanda.

Kedua, kemenangan Jepang atas Rusia dalam perang 1905 yang menaikkan gengsi Asia. Dan, ketiga, sukses revolusi Bolshevik di Rusia tahun 1917 yang meruntuhkan kekaisaran Rusia.

Kebebasan bangsa-bangsa yang baru kala itu merupakan ikhtiar bersama—bukan individual effort. Di Uni Soviet ada model triumvirat Vladimir Lenin (1870-1924), Joseph Stalin (1878-1953), dan Leon Trotsky (1879-1940).

Di China ada pula kepemimpinan trio Chiang Kai–shek (1887-1975), Mao Zedong (1893-1976), dan Zhou Enlai (1899-1976). Di India pun sama, ada Mahatma Gandhi (1869-1948), Ali Jinnah (1876-1948), dan Jawaharlal Nehru (1889-1964).

Tritunggal masuk ke Angkatan 1928 walau Sjahrir (1909-1966) jauh lebih muda dibandingkan dengan Soekarno (1901-1970) dan Hatta (1902-1980). Mungkin itu sebabnya Sjahrir tertakdir sebagai ”orang ketiga”.

Buku-buku yang mereka baca sama, begitu juga ideolog-ideolog yang mereka pelajari. Itu sebabnya partai-partai nasionalis yang mereka dirikan dan pimpin tak banyak berbeda, yakni PNI dan PNI Baru.

Sebagai pejuang, Soekarno dikenal mendambakan persatuan, Hatta memimpikan kedaulatan rakyat, dan Sjahrir bersikap nonkooperatif. Sebagai politisi, Soekarno orator pemukau massa, Hatta percaya demokrasi dimulai dari bawah, dan Sjahrir meyakini kaderisasi partai.

Sehubungan dengan peringatan 100 tahun kelahiran Sjahrir, saya sering ditanyai apa warisan PM pertama kita itu? Saya jawab, ”Ia tak meninggalkan warisan apa pun karena enggak punya duit.”

Soekarno ngutang untuk beli rumah, Hatta sampai wafat gagal membeli sepatu Bally. ”Wah, beda ya sama pemimpin sekarang,” tulis seorang pembaca.

Tritunggal adalah leaders (pemimpin), yang sekarang dealers (penjual). Pemimpin bersahabat dengan Nehru atau Mao, penjual berebut mau jumpa Barack Obama.

Saat kampanye Pemilu 1955, pemimpin menawarkan program konkret. Lihat billboard raksasa kampanye penjual: mengepalkan tangan kayak Chris John, mohon doa restu, pasang foto David Beckham, dan... melanggar aturan karena dipajang di jalan protokol.

Dari foto-foto zaman baheula, pemimpin tampak serupa dengan orang-orang biasa. Lihat lagi billboard penjual yang berdandan rapi jali kayak maneken.

Pemimpin mati-matian menjaga kekayaan alam. Penjual ya jualan migas di Freeport, Blok Cepu, dan Natuna.

Sebuah pepatah mengatakan, ”pemimpin adalah penjual harapan”. Teman saya dealer mobil bilang, ”Yang penting anĂ© enggak rugi.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar