Selasa, 24 Maret 2009

Partai Keadilan Sejahtera


Mosaik Pluralitas Muslim Perkotaan
Selasa, 24 Maret 2009 | 05:47 WIB

Partai Keadilan Sejahtera mencerminkan sebuah kekuatan baru yang mencirikan pluralitas Islam perkotaan. Ia menjadi mosaik yang menghubungkan patahan-patahan dikotomis antara Islam tradisional dan modern, antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Karakteristik baru dari wajah politik aliran. BAMBANG SETIAWAN

Citra yang melekat pada diri Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai perwujudan dari kekuatan partai Islam pluralis juga tecermin dalam hasil survei nasional yang dilakukan Litbang Kompas 20 Februari-3 Maret 2009. Terbanyak (49,3 persen) dari calon pemilih PKS dalam Pemilu 2009 adalah penganut agama Islam yang tidak terikat dalam salah satu aliran besar (NU atau Muhammadiyah). Baik pemilih dengan latar belakang agama Islam beraliran NU maupun Muhammadiyah memang menyumbang cukup besar pada kekuatan PKS, tetapi terbanyak adalah pribadi-pribadi yang tidak memiliki ikatan emosional dengan kedua aliran tersebut.

Tampaknya, corak ideologis yang dibangun lewat jaringan dakwah di kampus-kampus telah membekaskan sebuah ciri kepartaian Islam yang berbeda dengan tradisi dua aliran besar sebelumnya. Tumbuhnya kekuatan baru ini dapat ditelusuri dari sejarah pembentukan PKS.

Partai Keadilan Sejahtera merupakan partai berasaskan Islam yang pendiriannya terkait dengan pertumbuhan aktivitas dakwah Islam semenjak awal tahun delapan puluhan. Awal dekade itu, gerakan-gerakan keislaman yang mengambil masjid-masjid sebagai basis operasional dan strukturalnya, terutama masjid kampus, mulai bersemi. Gerakan dakwah ini merebak dari tahun ke tahun mewarnai suasana keislaman di kampus-kampus dan masyarakat umum, bahkan menjalar pula ke kalangan pelajar dan mahasiswa di luar negeri, baik Eropa, Amerika, maupun Timur Tengah. Gejolaknya muncul dalam bentuk pemikiran keislaman dalam berbagai bidang dan juga praktik-praktik pengamalan sehari-hari. Persaudaraan (ukhuwah) yang dibangun di antara mereka menjadi sebuah alternatif cara hidup di tengah-tengah masyarakat perkotaan yang cenderung semakin individualistik (Litbang Kompas, Partai-Partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-2009, 2004).

Gerakan dakwah ini semakin membesar dan mengental. Jaringan mereka pun semakin meluas. Mereka juga berupaya membangun ruh keislaman melalui media tablig, seminar, aktivitas sosial, ekonomi, dan juga pendidikan meskipun saat itu berada dalam bayang-bayang kekuasaan Orde Baru yang demikian ketat mengawasi aktivitas keagamaan.

Lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 membuka iklim kebebasan yang makin luas. Musyawarah kemudian dilakukan oleh para aktivis dakwah Islam, yang melahirkan kesimpulan perlunya iklim yang berkembang untuk dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi upaya peraihan cita-cita mereka. Pendirian partai politik yang berorientasi pada ajaran Islam perlu dilakukan guna mencapai tujuan dakwah Islam dengan cara-cara demokratis yang bisa diterima banyak orang.

Sebelumnya, mereka melakukan sebuah survei yang melingkupi cakupan luas dari para aktivis dakwah, terutama yang tersebar di masjid-masjid kampus di Indonesia, untuk melihat respons umum dari kondisi politik yang berkembang di Indonesia. Hasil survei menyimpulkan, saat inilah waktu yang tepat untuk meneguhkan aktivitas dakwah dalam bentuk kepartaian. Survei ini dinilai mencerminkan tumbuhnya kesamaan sikap di kalangan sebagian besar aktivis dakwah.

Partai Keadilan (PK) pun kemudian secara resmi didirikan pada 20 Juli 1998. Islam menjadi asas dari partai baru ini. Tercatat lebih dari 50 pendiri partai ini, di antaranya adalah Hidayat Nur Wahid, Luthfi Hasan Ishaaq, Salim Segaf Aljufri, dan Nur Mahmudi Ismail. Nur Mahmudi Ismail kemudian menjadi Presiden Partai Keadilan, sedangkan Hidayat Nur Wahid duduk sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Partai. Kemudian, partai ini deklarasikan tanggal 9 Agustus 1998 di Masjid Al Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta.

PKS bisa dikatakan merupakan partai kader yang mampu memproduksi pengikut dengan cepat. Pengikutnya dalam waktu singkat tumbuh berkali lipat. Dari partai kecil yang tidak lolos ambang batas perolehan suara, PKS menjadi partai papan menengah di pemilu berikutnya.

Pada Pemilu 1999, Partai Keadilan yang menjadi cikal bakal PKS memperoleh 1.436.565 suara atau 1,36 persen. Dengan hasil itu, Partai Keadilan menduduki peringkat ke tujuh di antara 48 partai politik peserta Pemilu 1999. Bahkan, di DKI Jakarta, Partai Keadilan berhasil menduduki peringkat ke lima. Ia berhasil menduduki 7 kursi DPR, 21 kursi DPRD Tingkat I, dan sekitar 160 DPRD Tingkat II. Sayangnya, dengan hasil ini Partai Keadilan tidak lolos ambang batas perolehan suara untuk bertahan di pemilu berikutnya.

Partai Keadilan pun kemudian mendirikan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada 20 April 2002, sebuah partai baru yang akan menjadi wadah bagi kelanjutan kiprah politik dakwah warga Partai Keadilan. Setelah resmi berbadan hukum pada 17 Juli 2003, PKS dipimpin oleh Hidayat Nur Wahid.

Dalam waktu lima tahun, pamornya naik, menduduki peringkat enam dalam perolehan suara nasional dengan jumlah suara 7,34 persen. Kursi DPR yang diraihnya pun meningkat lebih dari enam kali lipat, menjadi 45. Bahkan, di DKI Jakarta ia mampu menjadi partai pemenang, mengalahkan partai-partai besar lainnya.

Akademisi dan perkotaan

Ciri sebagai partai kaum akademisi sangat kuat tecermin dalam daftar calon anggota legislatif PKS. Jika dibandingkan dengan akademisi yang berjumlah 6,3 persen dari total seluruh caleg DPR, yang disodorkan oleh PKS terasa melampaui rata-rata. Calon akademisi yang diusung PKS untuk menjadi anggota DPR berkisar 20,8 persen, menjadi ciri utama paling menonjol dari daftar caleg yang diajukan semua partai.

Tampaknya PKS memang mencoba mendekatkan struktur latar belakang calegnya dengan komposisi pendidikan pemilihnya. Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan bahwa dibandingkan dengan pemilih untuk sejumlah partai Islam dengan basis massa tradisional, pemilih PKS cenderung lebih banyak berasal dari kalangan berpendidikan menengah ke atas (SLTA-perguruan tinggi).

Karakteristik sebagai partai Islam dengan basis perkotaan juga tampak lekat dengan PKS. Dalam Pemilu 2004, PKS menang di DKI Jakarta serta di tiga kabupaten dan sembilan kota. Meskipun delapan dari 12 kabupaten/kota yang menjadi basisnya di pemilu sebelumnya berhasil direbut oleh partai lain dalam pilkada, kemenangannya dalam seluruh pilkada cukup menonjol. Dari 459 pilkada kabupaten/kota yang telah digelar sepanjang 2005-2009, PKS mampu memenangkan 76 calon yang diusungnya untuk duduk sebagai kepala daerah. Empat di antaranya dimenangkan sebagai pengusung tunggal, yaitu pilkada Bekasi, Kota Depok, Bangka Barat, dan Kota Pariaman. Total kemenangan koalisi PKS di level pilkada gubernur meliputi tujuh provinsi. Selain koalisinya dengan PAN yang mampu mengalahkan dua calon kuat lainnya di dalam pilkada Jawa Barat, kemenangannya di beberapa wilayah Pulau Sumatera (Sumatera Utara, Bangka-Belitung, Bengkulu, Kepulauan Riau) menambah kuatnya penetrasi PKS di jazirah Sumatera. Kemenangan koalisinya di Nusa Tenggara Barat dan Maluku Utara juga menambah kekuatan PKS di Indonesia bagian timur.

Ciri sebagai partai kota bisa dilihat dari perbandingan wilayah yang dimenangkannya dalam pilkada. Jika dibandingkan dengan wilayah berbasis kabupaten, kota lebih menjadi kekuatan bagi partai ini. Rata-rata kemenangan tunggal yang diraihnya sejumlah 0,9 persen dari keseluruhan pilkada. Namun, ia berhasil mengambil 2,1 persen dari total pilkada di wilayah kota. Sebaliknya, di wilayah kabupaten ia hanya berhasil meraih 0,5 persen dari total pilkada kabupaten.

Komposisi kemenangan dalam pilkada yang lebih banyak di kota tampaknya juga mirip dengan pola yang diraihnya dalam pemilu. Dalam Pemilu 2004, dari total 440 kabupaten/kota, PKS meraih 2,7 persennya. Di level kabupaten, dari 349 kabupaten yang ada, PKS hanya meraih 0,9 persennya. Sebaliknya, dari 91 kota, ia meraih 9,9 persennya.

Dilihat dari cakupan yang lebih luas, wilayah Jawa merupakan basis utama PKS, seperti tecermin dari Pemilu 2004. Enam dari 12 kemenangan di raih di kabupaten/kota di Jawa, sisanya Sumatera, Kalimantan, dan Maluku Utara. Di Pulau Jawa, konsentrasi basis massanya terletak di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Di DKI Jakarta, PKS menang di Jakarta Timur, Jakarta Selatan, dan Jakarta Pusat, bersaing cukup ketat dengan Partai Demokrat yang menguasai Jakarta Barat dan Jakarta Utara.

Dengan kemampuannya menempatkan diri sebagai partai yang mewadahi pluralitas Muslim perkotaan dan menjalin kekuatan dengan dunia akademisi yang sebelumnya cenderung cair, bukan tidak mungkin partai kader ini akan menjadi partai basis yang cukup kokoh.(BAMBANG SETIAWAN/Litbang Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar