Selasa, 31 Maret 2009

Peta Kekuasaan dan Kemiskinan

Perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan bukanlah untuk kemuliaan kekuasaan itu sendiri. Secara konseptual, kekuasaan adalah instrumen untuk mencapai dua tujuan. Ia dapat digunakan sebagai instrumen untuk perubahan atau sebaliknya sebagai alat untuk melestarikan status quo.

Kalau kita sepakat dengan konseptualisasi seperti ini, demokrasi sebagai mekanisme untuk memperoleh kekuasaan juga tidak luput dari kemungkinan dua tujuan ini. Ia dapat menjadi suatu mekanisme yang melahirkan harapan, tetapi sekaligus dapat mengubah dirinya menjadi ”ibu” keputusasaan.

Pergeseran dari harapan menjadi keputusasaan dalam sistem politik yang demokratis tidaklah terjadi secara otomatis, tetapi dalam suatu proses panjang. Secara hipotetis, ia akan muncul ke permukaan jika peta kekuasaan tergambar sangat dinamis, sedangkan peta kemiskinan terbingkai dalam lukisan statis. Kasus Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir menunjukkan adanya kecenderungan untuk membenarkan kalimat hipotetis ini melalui dua indikasi berikut.

Pragmatisme politik

Pertama, tidak ada satu pun basis kekuatan politik partai yang dapat berkuasa tanpa melakukan koalisi. Kasus kejatuhan pemerintahan Gus Dur, disusul dengan kekalahan Megawati pada Pemilu 2004, dan dilanjutkan oleh SBY melalui pembentukan kabinet ”presidensial dengan gaya parlementer”, kesemuanya memberikan ”pelajaran” betapa dinamisnya peta politik negeri ini. Tidak hanya di tataran nasional, di tingkat lokal situasi serupa bisa juga ditemukan. Beberapa pemilihan kepala daerah telah dilakukan melalui ”koalisi melawan akal sehat”. Dinamika peta koalisi politik yang ”irasional secara ideologis” ini bahkan semakin tinggi pada musim kampanye sekarang. Pembicaraan ”tingkat tinggi” tentang pembentukan koalisi di antara partai-partai tertentu sesungguhnya telah menghilangkan basis perbedaan ideologis di antara mereka.

Secara sekilas pembicaraan ”tingkat tinggi” lintas ”ideologi” untuk pembentukan koalisi itu memang dapat saja menyampaikan pesan bahwa elite partai telah berperilaku sebagai ”negarawan” yang lebih memprioritaskan ”kepentingan rakyat yang lebih luas” daripada kepentingan ideologi partainya. Namun, pada saat yang sama, pola pembentukan koalisi lintas ideologi itu dapat juga menyampaikan pesan yang sangat bertolak belakang. Ia juga merefleksikan pragmatisme politik nonideologis yang sangat luar biasa oleh para elite partai. Dalam upaya mendapatkan kekuasaan, ideologi bagi para elite partai hanyalah hiasan aksesori yang tidak harus terus dipakai.

Kedua, tidak ada perubahan yang sangat mendasar dalam peta kemiskinan kita. Debat tentang seberapa besar jumlah angka kemiskinan sesungguhnya tidak relevan untuk menyatakan peta kemiskinan telah mengalami perubahan di negeri ini. Sesungguhnya, hampir tidak ada peta geografis Indonesia yang tidak luput dari rendahnya kualitas pembangunan manusia. Beberapa wilayah geografis itu, seperti Aceh dan Papua, bahkan memiliki kantong-kantong geografis yang menggambarkan persoalan kemiskinan yang masif.

Laporan resmi tentang target pembangunan milenium yang harus dicapai Indonesia pada 2015 sesungguhnya mengindikasikan perjuangan yang sangat berat untuk mengubah peta kemiskinan ini. Beberapa target itu antara lain menurunkan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah 1 dollar AS per hari menjadi setengahnya. Angka resmi pemerintah untuk jumlah penduduk miskin di bawah 1 dollar AS ini pada 2004 sebesar 36,15 juta.

Selaksa janji dan dusta?

Oleh karena itu, siapa pun yang akan memperoleh kekuasaan melalui Pemilu 2009, mereka akan memiliki beban tanggung jawab yang sangat berat untuk mengubah peta kemiskinan Indonesia dalam lima tahun ke depan. Jika demikian halnya, demokrasi seharusnya tidak sekadar dipahami dalam ukuran bagaimana membuat peta-peta kekuasaan menjadi sangat dinamis. Lebih dari itu, peta-peta kekuasaan dinamis yang dilahirkan oleh demokrasi itu seharusnya memiliki agenda untuk mengubah peta kemiskinan.

Namun, upaya untuk mewujudkan gagasan ideal ini bukanlah semudah membalik tangan. Mengubah peta kemiskinan melalui peta kekuasaan hanya bisa dilakukan jika terdapat kejelasan ideologis setiap partai politik. Itu artinya, pragmatisme politik (baca: kekuasaan adalah demi kekuasaan itu sendiri) haruslah ditinggalkan. Itu juga berarti bahwa ”koalisi untuk kemuliaan koalisi” haruslah menjadi pantangan politik (political taboo). Pada titik ini, pertanyaan praktis yang harus dijawab oleh setiap politikus adalah bagaimanakah kekuasaan negara itu nantinya diperlakukan oleh politisi untuk mengatasi kemiskinan itu?

Dalam konteks ini, hampir tidak mungkin dibayangkan pengubahan peta kemiskinan tanpa membicarakan seberapa jauh dan seberapa besar intervensi kekuasaan negara itu harus dilakukan. Instrumen untuk melakukan intervensi ini tentu saja berbaku kait dengan kapasitas keuangan negara, seperti APBN, maupun dengan kapasitas badan-badan usaha publik yang dimiliki negara.

Isu besarnya adalah apakah negara akan menjadi maksimalis atau minimalis? Jika pilihan maksimalis diambil, bagaimana dampaknya terhadap besaran APBN (magnitude of the state budget)? Dari manakah dana itu harus diperoleh? Apakah melalui pajak atau melalui pinjaman negara? Demikian juga sebaliknya, jika pilihan minimalis diambil, apakah akan terdapat penjualan aset negara yang lebih besar?

Jika jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti ini tidak dijawab dan dibeberkan kepada publik, kampanye politik dalam alam demokrasi yang saat ini tengah dilakukan hanya akan dipenuhi oleh maraknya jargon politik. Kampanye kemudian tidak hanya sebagai medan bagi selaksa janji, tetapi sekaligus juga akan sangat cepat dipersepsikan oleh publik menjadi medan bagi selaksa dusta.

MAKMUR KELIAT Pengajar FISIP Universitas Indonesia

2009 | 03:14 WIB

Perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan bukanlah untuk kemuliaan kekuasaan itu sendiri. Secara konseptual, kekuasaan adalah instrumen untuk mencapai dua tujuan. Ia dapat digunakan sebagai instrumen untuk perubahan atau sebaliknya sebagai alat untuk melestarikan status quo.

Kalau kita sepakat dengan konseptualisasi seperti ini, demokrasi sebagai mekanisme untuk memperoleh kekuasaan juga tidak luput dari kemungkinan dua tujuan ini. Ia dapat menjadi suatu mekanisme yang melahirkan harapan, tetapi sekaligus dapat mengubah dirinya menjadi ”ibu” keputusasaan.

Pergeseran dari harapan menjadi keputusasaan dalam sistem politik yang demokratis tidaklah terjadi secara otomatis, tetapi dalam suatu proses panjang. Secara hipotetis, ia akan muncul ke permukaan jika peta kekuasaan tergambar sangat dinamis, sedangkan peta kemiskinan terbingkai dalam lukisan statis. Kasus Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir menunjukkan adanya kecenderungan untuk membenarkan kalimat hipotetis ini melalui dua indikasi berikut.

Pragmatisme politik

Pertama, tidak ada satu pun basis kekuatan politik partai yang dapat berkuasa tanpa melakukan koalisi. Kasus kejatuhan pemerintahan Gus Dur, disusul dengan kekalahan Megawati pada Pemilu 2004, dan dilanjutkan oleh SBY melalui pembentukan kabinet ”presidensial dengan gaya parlementer”, kesemuanya memberikan ”pelajaran” betapa dinamisnya peta politik negeri ini. Tidak hanya di tataran nasional, di tingkat lokal situasi serupa bisa juga ditemukan. Beberapa pemilihan kepala daerah telah dilakukan melalui ”koalisi melawan akal sehat”. Dinamika peta koalisi politik yang ”irasional secara ideologis” ini bahkan semakin tinggi pada musim kampanye sekarang. Pembicaraan ”tingkat tinggi” tentang pembentukan koalisi di antara partai-partai tertentu sesungguhnya telah menghilangkan basis perbedaan ideologis di antara mereka.

Secara sekilas pembicaraan ”tingkat tinggi” lintas ”ideologi” untuk pembentukan koalisi itu memang dapat saja menyampaikan pesan bahwa elite partai telah berperilaku sebagai ”negarawan” yang lebih memprioritaskan ”kepentingan rakyat yang lebih luas” daripada kepentingan ideologi partainya. Namun, pada saat yang sama, pola pembentukan koalisi lintas ideologi itu dapat juga menyampaikan pesan yang sangat bertolak belakang. Ia juga merefleksikan pragmatisme politik nonideologis yang sangat luar biasa oleh para elite partai. Dalam upaya mendapatkan kekuasaan, ideologi bagi para elite partai hanyalah hiasan aksesori yang tidak harus terus dipakai.

Kedua, tidak ada perubahan yang sangat mendasar dalam peta kemiskinan kita. Debat tentang seberapa besar jumlah angka kemiskinan sesungguhnya tidak relevan untuk menyatakan peta kemiskinan telah mengalami perubahan di negeri ini. Sesungguhnya, hampir tidak ada peta geografis Indonesia yang tidak luput dari rendahnya kualitas pembangunan manusia. Beberapa wilayah geografis itu, seperti Aceh dan Papua, bahkan memiliki kantong-kantong geografis yang menggambarkan persoalan kemiskinan yang masif.

Laporan resmi tentang target pembangunan milenium yang harus dicapai Indonesia pada 2015 sesungguhnya mengindikasikan perjuangan yang sangat berat untuk mengubah peta kemiskinan ini. Beberapa target itu antara lain menurunkan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah 1 dollar AS per hari menjadi setengahnya. Angka resmi pemerintah untuk jumlah penduduk miskin di bawah 1 dollar AS ini pada 2004 sebesar 36,15 juta.

Selaksa janji dan dusta?

Oleh karena itu, siapa pun yang akan memperoleh kekuasaan melalui Pemilu 2009, mereka akan memiliki beban tanggung jawab yang sangat berat untuk mengubah peta kemiskinan Indonesia dalam lima tahun ke depan. Jika demikian halnya, demokrasi seharusnya tidak sekadar dipahami dalam ukuran bagaimana membuat peta-peta kekuasaan menjadi sangat dinamis. Lebih dari itu, peta-peta kekuasaan dinamis yang dilahirkan oleh demokrasi itu seharusnya memiliki agenda untuk mengubah peta kemiskinan.

Namun, upaya untuk mewujudkan gagasan ideal ini bukanlah semudah membalik tangan. Mengubah peta kemiskinan melalui peta kekuasaan hanya bisa dilakukan jika terdapat kejelasan ideologis setiap partai politik. Itu artinya, pragmatisme politik (baca: kekuasaan adalah demi kekuasaan itu sendiri) haruslah ditinggalkan. Itu juga berarti bahwa ”koalisi untuk kemuliaan koalisi” haruslah menjadi pantangan politik (political taboo). Pada titik ini, pertanyaan praktis yang harus dijawab oleh setiap politikus adalah bagaimanakah kekuasaan negara itu nantinya diperlakukan oleh politisi untuk mengatasi kemiskinan itu?

Dalam konteks ini, hampir tidak mungkin dibayangkan pengubahan peta kemiskinan tanpa membicarakan seberapa jauh dan seberapa besar intervensi kekuasaan negara itu harus dilakukan. Instrumen untuk melakukan intervensi ini tentu saja berbaku kait dengan kapasitas keuangan negara, seperti APBN, maupun dengan kapasitas badan-badan usaha publik yang dimiliki negara.

Isu besarnya adalah apakah negara akan menjadi maksimalis atau minimalis? Jika pilihan maksimalis diambil, bagaimana dampaknya terhadap besaran APBN (magnitude of the state budget)? Dari manakah dana itu harus diperoleh? Apakah melalui pajak atau melalui pinjaman negara? Demikian juga sebaliknya, jika pilihan minimalis diambil, apakah akan terdapat penjualan aset negara yang lebih besar?

Jika jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti ini tidak dijawab dan dibeberkan kepada publik, kampanye politik dalam alam demokrasi yang saat ini tengah dilakukan hanya akan dipenuhi oleh maraknya jargon politik. Kampanye kemudian tidak hanya sebagai medan bagi selaksa janji, tetapi sekaligus juga akan sangat cepat dipersepsikan oleh publik menjadi medan bagi selaksa dusta.

MAKMUR KELIAT Pengajar FISIP Universitas Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar