Selasa, 17 Maret 2009

PETA POLITIK Jakarta

Cermin Pemilih Kritis
Selasa, 17 Maret 2009 | 03:52 WIB

Sebagai ibu kota negara, Jakarta memiliki segudang kelebihan dibandingkan dengan daerah lain. Kota metropolitan ini memiliki fasilitas dan akses ekonomi yang relatif lebih baik. Tidak mengherankan jika orang berduyun-duyun ke Jakarta untuk mencari rezeki dan memadati setiap jengkal tanah di sana. UMI KULSUM

Padatnya penduduk Jakarta ternyata dipandang sebagai hal yang positif bagi partai politik. Di sanalah potensi pemilih terlihat nyata. Sekitar tujuh jutaan pemilih ada di sana. Oleh karena itu, kota ini sudah barang tentu menjadi primadona parpol-parpol yang bertarung untuk meraih konstituen sebanyak-banyaknya di setiap pemilihan umum.

Kultur perkotaan yang berkembang yang ditandai dengan akses informasi dan tingkat pendidikan penduduknya yang lebih baik membuat karakter masyarakatnya pun lebih pragmatis dalam menentukan pilihan politiknya. Oleh karena itu, sulit memprediksi partai yang akan menjadi pemenang dalam setiap pemilu di wilayah tersebut. Setiap pemilu, partai yang dipilih mayoritas warganya selalu berubah.

Sikap warga Jakarta ini dapat dilihat dari hasil perolehan suara beberapa pemilu sebelumnya. Pada pemilu 1999, misalnya, tiba-tiba saja Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) berhasil menguasai pemilu dengan meraih 39,4 persen suara. Lalu disusul oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan meraih 17,2 persen. Partai Golkar yang sebelumnya menguasai perolehan suara di wilayah ibu kota meraih rangking ketiga dengan 10,3 persen suara. Ini menunjukkan pilihan politik masyarakat Jakarta bukanlah kristalisasi ideologi, tetapi lebih pada kepentingan mereka saat itu.

Menurut Ketua Center for Information and Development Studies (Cides) Umar Juoro, pilihan politik masyarakat Jakarta sangat dinamis. Jika melihat sejarah setiap pemilu di wilayah ini, warna partai pemenang pemilu sangat berbeda-beda.

Ini menunjukkan bahwa Jakarta merupakan representasi daerah urban yang masyarakatnya memiliki karakter khas. Masyarakatnya bersifat lebih terbuka terhadap informasi dan lebih kritis, yakni dalam arti apakah kepuasan mereka terpenuhi baik oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Selain itu, masyarakat Jakarta “kurang” loyal pada pegangan pilihan partai tertentu dibanding masyarakat pedesaan sehingga mereka bisa saja berubah dari satu partai ke partai lain.

Sebagai masyarakat dengan agregasi sosial ekonomi yang sangat mencolok, masyarakat Jakarta lebih dimotori oleh kepentingan sosial ekonomi mereka dalam menentukan pilihan politiknya daripada ideologi. Maka, tidak mengherankan jika kota dengan kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia ini menjadi sebuah pertaruhan politik bagi parpol pada setiap pemilu.

Pada Pemilu 1955, partai Islam cukup mendominasi hasil pemilu di Jakarta. Dengan pemilih sebesar satu juta orang untuk memperebutkan lima kursi DPRD, dua kursi diambil oleh Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi), satu oleh Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Di tingkat nasional, PNI menjadi pemenang pemilu, tetapi di Jakarta Masyumi mendapat 26,1 persen dan PNI hanya 19,8 persen suara. Untuk seterusnya, partai Islam selalu mendapat tempat di DKI Jakarta.

Partai pemenang berubah setelah Orde Baru berkuasa. Golkar sebagai mesin politik penguasa saat itu dapat dikatakan sebagai ”penguasa” Jakarta. Akan tetapi, Jakarta tetaplah kota dengan banyaknya kepentingan yang dilandasi sikap terbuka. Saat Orde Baru, di mana pengawasan pemerintah saat itu masih ketat, PPP pernah memenangi pemilu di Jakarta.

Lebih mengejutkan lagi adalah perolehan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), partai ini berhasil memenangkan pemilu pada tahun 2004. Meskipun corak haluannya sebagai partai Islam, tetapi ”wajah” yang ditampilkan sangat berbeda dengan partai Islam lainnya.

”Perpindahan pilihan parpol ini tentunya sangat situasional, tergantung kepentingan pragmatis semata. Jika pada Orde Baru PPP menang, itu merupakan perlawanan terhadap penguasa saat itu. Demikian pula, PDI-P yang menang sesudahnya, lebih disebabkan kekecewaan pada Golkar sebagai pemenang Pemilu 1997,” urai Umar Juaro.

Namun, yang terjadi kemudian adalah kekecewaan rakyat kepada PDI-P yang dianggap tidak memenuhi janji kepada konstituen. Akibatnya, orientasi masyarakat mulai melirik partai lain yang dianggap menjanjikan. Lalu, PKS-lah yang berhasil memenangkan pemilu di Jakarta pada Pemilu 2004. Saat itu, PKS memperoleh 1 juta suara dari 4,5 juta pemilih di Jakarta.

Fenomena ini menunjukkan bahwa pragmatisme politik masyarakat Jakarta yang terjadi tidak hanya pada kalangan masyarakat bawah, tetapi juga kelompok elite, seperti warga keturunan. Meski tidak memilih partai Islam, mereka akan bermain di PDI-P atau Golkar saja.

Secara terbuka Adang Ruchyatna, Ketua Dewan Pimpinan Daerah PDI-P DKI Jakarta, mengakui bahwa partai berlambang banteng ini melupakan wong cilik yang merupakan konstituen ideologis mereka setelah kemenangan tahun 1999. ”Hingga akhirnya kami ditinggalkan,” ungkap Adang.

Setelah kekalahan tahun 2004, PDI-P memulai pendekatan baru ke masyarakat dengan mendatangi langsung masyarakatnya, bahkan lebih dari 200 titik di Jakarta, ”Kami tidak segan meminta maaf kepada konstituen kami yang merasa ditinggalkan oleh PDI-P,” lanjut Adang.

Menyadari akan hal itu, sejak pertengahan tahun 2005 PDI-P bahkan membangun sebuah Pusat Pendidikan dan Pelatihan di Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Di sana, masyarakat dari berbagai elemen mendapat pelatihan seperti perbengkelan, pertanian, peternakan bahkan industri tahu dan tempe.

Menurut Abidin Fikri yang bekerja di sana, hingga saat ini sudah ada 74 angkatan atau sekitar 6.000 orang yang dilatih karena setiap angkatan biasanya lebih dari 100 orang.

Itulah sebabnya, partai-partai mulai sadar dalam meraih simpati warga Jakarta. Hal senada juga diungkapkan Dedi Supriadi, staf ahli PKS yang sering kali melakukan riset popularitas partai sekaligus melihat kebutuhan masyarakat di ibu kota. Berdasarkan riset internal partai tahun 2003 diketahui bahwa masyarakat membutuhkan pemimpin yang bersih dari korupsi dan memiliki kepedulian kepada masyarakat. Maka, slogan yang dipakai menjelang pemilu tahun 2004 adalah ”Bersih, Peduli”. Namun, Dedi tidak menampik bahwa peran media massa menjelang pemilu sangat besar mendongkrak popularitas partai ini. ”Yang sulit bagi kami adalah memprediksi kelompok ”swing voters” yang lebih dari 26 persen di Jakarta,” ujar Dedi.

Dari riset pula diketahui bahwa persoalan Jakarta bagi warganya adalah banjir, pengangguran, keindahan kota serta kemiskinan, maka slogan untuk memenangkan pemilihan gubernur tahun 2007 adalah ”Ayo Benahi Jakarta”. Maka, hasilnya sangat mengejutkan, PKS yang mengusung Adang Dorodjatun tanpa berkoalisi mampu memperoleh hasil 42,1 persen suara.

Sementara itu pasangan Fauzi Bowo-Priyanto memenangkan pemilihan gubernur tersebut dengan perolehan suara 57,8 persen dengan didukung oleh 19 partai politik saat itu. Ini menunjukkan mesin politik PKS bekerja secara luar biasa dan layak diperhitungkan oleh parpol lainnya di negeri ini, khususnya di wilayah ibu kota. (UMI KULSUM/Litbang Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar