Selasa, 24 Maret 2009

Fusi yang Tak Lebur

Di antara tiga partai politik yang melekat pada sejarah pemilihan umum semasa Orde Baru, nasib PPP tidak juga ”berkibar” setelah era pemerintahan berganti. PDI melalui PDI-P pada Pemilu 1999 terbukti mampu menjadi pemenang. Bahkan, Golkar, yang kerap diidentikkan dengan Orba, setelah mengubah diri menjadi Partai Golkar mampu menjadi pemenang pada Pemilu 2004. Kesempatan dalam Pemilu 2009 kali ini pun tampaknya masih terlalu berat bagi PPP, sebagaimana digambarkan oleh hasil survei, untuk tampil menjadi pemenang pertama.

Dari sisi kepiawaian berpolitik, amat tidak meragukan. Kiprah politik dalam kurun 36 tahun dan warisan kejayaan partai-partai Islam semenjak Pemilu 1955 telah menjadi bukti kematangannya. Sayangnya, semenjak awal pembentukan (fusi) partai ini, 5 Januari 1973, energi partai lebih banyak tersedot dalam pembenahan internal PPP, yang sekaligus menandakan kurang meleburnya potensi kekuatan dari empat poros kekuatan Islam, NU, PSII, Parmusi, dan Perti, menjadi satu kekuatan utama dalam tubuh PPP. Pada awal berdiri, PPP dipimpin duet tokoh NU dan Parmusi, yaitu Idham Khalid (Ketua Umum Pengurus Besar NU saat itu) sebagai presiden dan Mohammad Syafaat Mintaredja (Ketua Umum Parmusi) sebagai ketua umum. Semenjak awal era ini, tampuk pimpinan PPP tak pernah sepi dari ”goyangan”. Muktamar pun tak kunjung berhasil digelar. Uniknya, walaupun bergejolak, performa PPP cukup memuaskan. Pemilu 1977, di beberapa provinsi, antara lain Daerah Istimewa Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kalimantan Barat, dan Maluku, PPP berhasil mengungguli Golkar.

Tahun 1979, jabatan Ketua Umum PPP beralih kepada Djaelani Naro. Sesaat, gejolak berhasil teredam. Namun, di era kepemimpinan Naro, PPP menerima putusan politik Presiden Soeharto yang mengubah lambang dan asas parpol. Begitupun dari sisi perolehan suara, justru kemerosotan yang diraih. Pada Pemilu 1982, wilayah-wilayah yang sebelumnya menjadi kantong suara PPP direbut Golkar.

Dalam kepemimpinan Naro, bibit konflik kembali tersemai. Setelah muktamar I PPP digelar tahun 1984 atau setelah 11 tahun parpol itu berdiri, perolehan suara PPP tak kunjung membaik. Keputusan NU kembali ke khitah di tahun 1984 yang dinilai sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap PPP amat memengaruhi performa partai ini dalam Pemilu 1987. Kelompok Delapan yang beranggotakan Aisyah Aminy, Ismail Hasan Metareum, Faisal Baasir, Cholil Badawi, Mohammad Sulaiman, Hartono Mardjono, Jusuf Syakir, dan Husni Thamrin muncul menyikapi ketidakpuasan atas kepemimpinan Naro. Pada akhirnya, Naro pun tergeser saat Muktamar ke-2, 1989, digelar. Ia digantikan duet kepemimpinan Parmusi dan NU, yaitu Ismail Hasan Metareum–Matori Abdul Djalil.

Dua periode kepemimpinan Ismail Hasan Metareum, PPP relatif tenteram. Suara PPP pun kembali menggeliat, seperti yang ditunjukkan dalam Pemilu 1997 dengan raihan sekitar seperlima suara pemilih. Padahal, sebelumnya maksimal hanya berkisar 15 persen. Pada muktamar ke-4 partai tahun 1998, pergeseran pucuk pimpinan terjadi. Hamzah Haz, kader NU, menduduki pucuk kepemimpinan PPP. Namun, kali ini dalam kontestasi politik PPP harus bersaing dengan 12 parpol bercorak keislaman lainnya yang muncul di era reformasi. Di era kepemimpinan Hamzah Haz, meskipun berhasil meraih capaian paling fenomenal yang menempatkan Hamzah Haz sebagai wakil presiden, bukan berarti konflik internal pudar. Pada Januari 2002, Zainuddin MZ bersama beberapa tokoh PPP mendirikan PPP Reformasi sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap PPP. PPP Reformasi di tahun 2003 berubah nama menjadi Partai Bintang Reformasi, sebagai pesaing PPP dalam Pemilu 2004.

Dinamika internal PPP sendiri selanjutnya tidak surut dari ketegangan. Pada Muktamar ke-5 PPP tahun 2003, Bachtiar Chamsyah dari unsur Parmusi mencalonkan diri sebagai ketua umum, berkompetisi dengan Hamzah Haz. Perebutan tampuk pimpinan itu kembali menguak jejak persaingan antar-unsur fusi yang pada gilirannya memengaruhi kinerja partai. Tidak mengherankan, dalam dua kali pemilu reformasi PPP tak pernah menguasai satu provinsi pun. Soliditas PPP dalam Pemilu 2009 tengah diuji di bawah kepemimpinan Suryadharma Ali yang terpilih dalam muktamar tahun 2007.

(Nurul Fatchiati dan Bestian Nainggolan/Litbang Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar