Selasa, 31 Maret 2009

Fragmentasi dan Keseimbangan Dukungan

BAMBANG SETIAWAN

Karakter dukungan pemilih kepada partai politik setidaknya bisa dibaca dari tiga gejala: fragmentasi kepada partai-partai lama, segmentasi partai-partai menengah baru, dan keseimbangan dukungan kepada partai berkembang.

Kemampuan untuk menghimpun pluralitas sebagai kekuatan yang hadir secara bersamaan tampaknya tidak dimiliki oleh semua partai politik. Kecenderungan yang terjadi dalam partai politik Indonesia adalah tidak seimbangnya dukungan yang didapat dari semua kelompok masyarakat. Terutama kepada partai-partai lama, fragmentasi dukungan atas dasar unsur-unsur primordialitas, seperti jenis kelamin, agama, dan suku bangsa, menjadi ciri yang lebih menonjol. Segregasi umur, pendidikan, atau klasifikasi sosial ekonomi lainnya juga makin menunjukkan ketidakseimbangan demografis dalam pilihan terhadap partai-partai lama.

Kecenderungan yang terjadi dalam diri partai-partai lama, seperti Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), memperlihatkan dengan jelas fragmentasi dukungan yang mulai mengelompok pada lapisan-lapisan basis massa tertentu. Dari sisi usia pemilih, misalnya, Partai Golkar yang pernah berjaya pada masa Orde Baru ini makin ditinggalkan oleh pemilih muda. Dukungan terhadapnya kini lebih banyak diperoleh dari kelompok umur di atas 40 tahun. Selain itu, Golkar juga dicirikan oleh karakteristik: didukung oleh masyarakat berpendidikan SD ke bawah, kaum pensiunan, serta kaum petani dan nelayan. Selain itu, ia juga dicirikan oleh dukungan dari etnis non-Jawa yang cukup dominan, terutama Bugis/Makassar, Minahasa, Melayu Banjar, dan kelompok etnik Flores.

Hal yang hampir mirip terjadi juga pada PDI-P. Partai yang pernah berjaya pada Pemilihan Umum 1999 ini harus menghadapi kenyataan tersegmentasinya dukungan dari lapisan-lapisan masyarakat. Walaupun masih cukup banyak dukungan dari semua kelompok umur, terlihat bahwa partai ini sulit mempertahankan kelompok usia mapan (40-49 tahun). Namun, perannya sebagai partai oposisi pada rezim pemerintahan 2004-2009 membuat pamornya naik bagi kalangan muda sehingga cukup banyak pemilih pemula yang mendukungnya.

Perannya sebagai partai oposisi memang kembali menaikkan citranya. Namun, modal itu ternyata tak cukup mampu mendongkrak basis massa dari semua lapisan pekerja. Di wilayah ekonomi, partai ini makin terpinggirkan dari kelompok dominan, seperti pegawai swasta dan PNS/BUMN, sebaliknya makin terpatri pada dukungan dari kelompok petani/nelayan dan buruh lepas.

Sama halnya dengan kedua partai di atas, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang lahir bersamaan dengan Partai Demokrasi Indonesia (akar dari PDI-P), juga terlihat kurang menggarap kalangan berpendidikan menengah ke atas. Dengan demikian, dukungan terbesar bagi partai ini kian terkonsentrasi pada mereka yang berpendidikan rendah, yang tidak bekerja, dan memiliki penghasilan menengah ke bawah.

Sementara itu, pada partai-partai menengah baru yang memiliki basis massa di perkotaan, seperti Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), segmentasi pemilih banyak terkait dengan pendidikan dan penghasilan. Dua partai yang banyak mendapat simpati dari kaum Muhammadiyah ini mendapatkan dukungan, terutama dari kalangan berpendidikan dan berpenghasilan menengah ke atas. Akar di kalangan bawah belum cukup tumbuh untuk menyaingi partai-partai lama.

PKS, sebagai salah satu partai yang cukup fenomenal dalam Pemilu 2004, juga terlihat belum memiliki fondasi yang kokoh di kalangan pemilih tua. Namun, partai ini memiliki basis massa yang cukup kokoh dari kalangan usia muda dan mereka yang sedang dalam usia produktif (di bawah 40 tahun).

Partai berkembang

Kehadiran Partai Demokrat yang mengandalkan sosok Susilo Bambang Yudhoyono telah membuat kejutan pada Pemilu 2004 dengan meraup suara signifikan 7,45 persen. Tampaknya, dalam pemilu mendatang partai ini akan semakin kuat, sebagaimana diprediksi oleh beberapa lembaga penelitian, termasuk Litbang Kompas. Fenomena ini menempatkan Demokrat sebagai partai berkembang yang kini sangat diperhitungkan.

Apa yang terjadi dengan perkembangan Partai Demokrat tak lepas dari pertumbuhan yang terjadi dalam pola dukungan yang diberikan pemilih. Kecenderungan yang terjadi menunjukkan, eskalasi kekuatan Partai Demokrat juga dilandasi oleh seimbangnya kenaikan dukungan dari berbagai lapisan sosial. Dari segi usia, misalnya, partai ini mampu menyerap semua kelompok umur sebagai basis kekuatannya. Partai ini juga paling banyak menarik kalangan berpendidikan menengah ke atas dibandingkan dengan partai-partai lainnya.

Dari sisi kelompok pekerjaan, kekalahan Demokrat dari Golkar hanya dalam hal menarik dukungan dari kelompok petani/nelayan dan para pensiunan. Sebaliknya, Demokrat mulai mengambil alih penguasaan politik atas Golkar dalam jajaran birokrasi. Baik yang bekerja sebagai PNS dan BUMN maupun pegawai swasta menjadi kekuatan baru bagi partai berlambang bintang segitiga ini. Sebagai gambaran, hasil survei Litbang Kompas di 33 provinsi terhadap 3.000 responden menunjukkan bahwa hanya 22 persen calon pemilih yang bekerja sebagai PNS atau di BUMN akan memilih Golkar, sebaliknya yang memilih Demokrat 38,5 persen.

Kehadiran Demokrat juga mampu mengendurkan keterikatan kultural PDI-P dengan etnis Jawa. Walau bagi PDI-P kontribusi etnik Jawa masih cukup besar (23,9 persen), mereka yang mengalihkan dukungan kepada Demokrat tampak lebih menonjol (25,7 persen). Hal yang sama juga terjadi pada keterikatan kultural warga NU dengan PKB atau PPP. Pemilih dari kalangan nahdliyin ini, berdasarkan hasil survei, hanya sekitar 5,9 persen yang menjatuhkan pilihan kepada PKB dan 7 persen kepada PPP. Sebaliknya, Demokrat sebagai partai nasionalis malahan mampu menyedot sekitar 29,7 persen dari kalangan ini.

(BAMBANG SETIAWAN/ Litbang Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar