Senin, 30 Maret 2009

Janji Kampanye dan Kaum Marjinal


Senin, 30 Maret 2009 | 04:17 WIB

Di banyak negara berasas demokrasi, kampanye menjadi musim elite politik membuat janji bagi kaum marjinal, di antaranya petani, pedagang pasar, pegawai kecil, dan perempuan.

Ada dua penyebab utama. Pertama, demokrasi dengan one man one vote menempatkan tiap individu dari kaum marjinal sama pentingnya dengan pemilih dari kelas menengah dan elite. Kedua, bahkan untuk pemilih kelas menengah, terdidik, dan elite, keberpihakan kepada kaum marjinal merupakan jualan (selling preposition) yang menarik.

Di negara-negara maju, seperti Eropa, para kandidat selalu menunjukkan keberpihakan kepada sektor pertanian. Untuk publikasi di media, mereka kerap berfoto bersama hewan ternak. Kebijakan proteksionis terhadap sektor pertanian menjadi hal lumrah di negara-negara tersebut, juga di Jepang dan Amerika Serikat (Johnson, 1985, dan Cochrane, 1979).

Kaum marjinal memiliki arti penting dalam proses politik Indonesia. Presiden Soekarno bisa berkuasa selama 21 tahun karena dukungan yang mengakar dan tak tertandingi dari kaum marjinal yang sering dijuluki sebagai Kaum Marhaen. Dalam buku (Warisan) Daripada Soeharto, Presiden Soeharto memiliki rasa percaya diri lebih menghadapi para oposan dan lawan politiknya setelah melihat—dalam kunjungan ke desa-desa di Pulau Jawa—kebijakan pemerintahannya berjalan baik.

Dalam demokrasi langsung, arti penting kaum marjinal makin kentara. Dengan menggunakan proksi tenaga kerja di sektor pertanian, jumlahnya 40-50 juta orang. Kaum miskin berdasarkan garis kemiskinan Badan Pusat Statistik 33-38 juta dan dengan standar penghasilan 2 dollar AS per orang per hari mencapai 100 juta orang. Itulah sebabnya kampanye partai politik dalam Pemilu 2009 mengangkat harga bahan pokok, nasib petani, dan ketahanan pangan sebagai isu utama.

Kaum marjinal di Indonesia memiliki dua karakteristik penting yang memengaruhi perilaku dalam merespons kampanye politik. Pertama, kelompok ini relatif tidak terorganisasi atau terfragmentasi.

Ini berbeda dengan situasi di Amerika Latin di mana kaum marjinal jauh lebih terorganisasi karena jauh lebih besarnya kesenjangan, baik dalam pendapatan maupun kepemilikan aset. Juga, di negara-negara kawasan tersebut, terjadi segregasi etnis yang kentara, misalnya peminggiran suku Indian di Bolivia yang pada akhirnya memunculkan Evo Morales sebagai presiden terpilih.

Kedua, perilaku kaum marjinal terfokus pada pemenuhan kebutuhan ”segera” dan kebutuhan pokok. Itulah sebabnya tema janji kampanye selalu mengangkat redistribusi pendapatan dan aset bagi kaum marjinal melalui aneka kebijakan ”jika terpilih”.

Miskin mandat

Daya tawar kaum marjinal turun drastis tepat setelah kandidat—baik legislatif maupun eksekutif—terpilih. Ini karena one man one vote hanya berlaku dalam pemilu dan tidak berlanjut dalam pengambilan kebijakan. Tingginya biaya transaksi politik antarelite di Indonesia, misalnya karena kerancuan sistem presidensial, membuat kaum marjinal menjadi tak penting, bahkan tereksklusi.

Ini juga didukung oleh kemungkinan salah pilih karena adanya informasi yang tidak simetris antara kaum marjinal dan kandidat. Para kandidat dengan mudah memiliki informasi tentang kaum marjinal, misalnya melalui survei. Sebaliknya, kaum marjinal akan memilih berdasarkan ”citra” kandidat karena itulah satu-satunya indikator penilaian yang ada.

Persoalan lain adalah minimnya insentif bagi kandidat untuk memenuhi janji kampanye. Praktis, hanya bagi presiden terpilih insentif tersebut relatif besar karena pemilih akan mengasosiasikan kualitas kehidupan mereka dengan kinerja presiden. Itu pun ada masalah serius dalam bagaimana mengukur kesuksesan seorang presiden dari perspektif kaum marjinal.

Mantan CEO Ford dan Chrysler Lee Iacocca dalam bukunya, Where Have All the Leaders Gone, menyebutkan, buruknya era pemerintahan Bush salah satunya karena tidak ada target capaian yang jelas.

Di negara berkembang, seperti Indonesia, sulit menagih janji maupun kontrak politik para politisi. Gagasan LSM-LSM menuntut pemerintahan Yudhoyono- Kalla karena tidak mampu memenuhi target pengurangan kemiskinan, miskin mandat dari kaum marjinal itu sendiri. Ini terkait dengan tidak terorganisasinya kaum marjinal sehingga hampir mustahil melakukan aksi kolektif dan terpenuhinya kebutuhan segera mereka melalui aneka program sosial, terutama yang bersifat karitatif.

Jalan keluar dari masalah ini adalah meningkatkan kompetisi antarkandidat dengan tampilnya banyak politisi berkualitas yang tak hanya berkomitmen dan mempunyai visi, tetapi juga memiliki keterampilan menarik pemilih. Dengan persaingan, ada ”kewajiban” bagi para politisi untuk menepati janji kampanye.

Nyatanya, kita tak bisa mendelegitimasi elite politik yang dianggap tidak kompeten, tanpa adanya alternatif pilihan. Bagaimanapun, rakyat harus tetap punya wakil dan negara tetap butuh pemimpin.

Tata Mustasya Sedang Belajar di University of Turin dan ITC-ILO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar