Minggu, 15 Maret 2009

Pilihan Politik "Siger Tengah"

Budaya dan karakter masyarakat Jawa Barat tidak dapat dilepaskan dari pengaruh sosio-kultural suku Sunda sebagai etnis terbesar di provinsi ini. Mayoritas (74 persen) penduduk Jawa Barat bersuku Sunda. Mereka mendominasi wilayah yang disebut Priangan, yang terbentang dari Cianjur, Sukabumi, Bandung, Garut, Sumedang, Tasikmalaya, hingga Ciamis.

Nama Priangan diberikan Sultan Agung dari Kerajaan Mataram yang berpusat di Yogyakarta. Sebutan itu untuk menggabungkan wilayah Kerajaan Galuh yang ditaklukkan tahun 1595 dan Kerajaan Sumedanglarang yang dikuasai pada tahun 1620. Selanjutnya, Sultan Agung membagi-bagi wilayah itu lebih kecil yang terdiri atas kabupaten-kabupaten.

Kekuasaan Mataram di Priangan berakhir dengan adanya perjanjian dengan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) tahun 1677 dan 1705. Mataram menyerahkan Priangan Timur ke VOC pada perjanjian pertama. Giliran Priangan Barat dan Tengah diserahkan kemudian.

Pengaruh ”pendudukan” Mataram di Priangan sangat kentara di bidang politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Bupati-bupati Priangan saat itu menunjukkan sikap loyal dan patuh pada Mataram karena mereka masih memiliki kekuasaan secara tradisional. Sebagai pemimpin tradisional, bupati menduduki status tertinggi dalam struktur sosial masyarakat Sunda.

Menurut Ayip Rosidi (1984) dalam bukunya ”Masyarakat Sunda dan Kebudayaannya”, sikap loyal ditunjukkan pula para bupati saat penguasa Mataram mewajibkan bahasa Jawa sebagai bahasa resmi dalam administrasi pemerintahan. Akibatnya, bahasa Sunda—mengikuti bahasa Jawa—mengenal tingkatan bahasa (undak-usuk basa). Padahal, sebelumnya bahasa Sunda tak mengenal tingkatan.

Penggunaan undak-usuk basa dilestarikan Pemerintah Kolonial yang mengambil alih Priangan pada 1705. Belanda mewajibkan orang Sunda yang belajar di sekolah-sekolah Belanda untuk mempelajari undak-usuk basa tersebut. Pembagian tingkatan bahasa itu merupakan usaha feodalisasi masyarakat Sunda.

Tak hanya bahasa, sistem pemerintahan feodal warisan Mataram juga diteruskan dan dibuat lebih modern. Bupati sebagai pemimpin tradisional, tetap memiliki otoritas penuh dan hak-hak istimewa, seperti memungut pajak dan memperoleh tenaga kerja.

Sikap loyal penguasa Priangan terhadap Pemerintah Kolonial, dan sebelumnya terhadap penguasa Mataram, berpengaruh pada karakter dan perilaku masyarakat. Sistem feodal itu menciptakan budaya ”sawios” dan ”ngiringan bae”.

Menurut Kusnaka, antropolog Universitas Padjadjaran, budaya itu terekpresi dalam sikap menghindari konflik, individualis, dan merasa nyaman dengan kondisi yang ada. Padahal, sebelum pengaruh feodal itu, karakter orang Sunda dikenal terbuka, egaliter, dan demokratis.

Dalam pilihan politik masyarakat, sikap itu terwujud dalam pilihan ”siger tengah” yang berarti memosisikan diri berada di tengah atau sikap moderat. Tak mengherankan, partai politik penguasa selalu mendapat dukungan besar dari masyarakat Sunda. (DWI ERIANTO)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar