Kamis, 19 Maret 2009

Duet Megawati-Jusuf Kalla

Eko Harry Susanto

Dalam dinamika politik nasional yang kian hangat, wacana koalisi antara Megawati Soekarnoputri dan M Jusuf Kalla menarik ditelaah, saat alasan yang dikemukakan demi menegakkan kebinekaan di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tidak bisa dimungkiri, selain dalih itu juga sudah lazim dipakai partai lain, tetapi yang paling faktual dalam tubuh Partai Golkar, ada yang kurang sepakat dengan duet Mega-JK. Dalam hitungan politik praktis, partai berlambang pohon beringin ini merasa lebih unggul karena pada Pemilu 2004 muncul sebagai pemenang. Selain itu, pada kompetisi politik lokal, Partai Golkar merupakan partai politik yang paling banyak memenangi pemilihan kepala daerah di berbagai wilayah. Karena itu, wajar jika sejumlah elite Partai Golkar menginginkan Jusuf Kalla sebagai presiden.

Di pihak lain, Megawati Soekarnoputri tidak mungkin bersedia ditempatkan sebagai calon wakil presiden, mengingat keputusan bulat PDI-P, ingin menempatkan putri Bung Karno itu sebagai orang nomor satu pada Pemilu 2009. Terlebih, dalam berbagai polling, popularitas Megawati Soekarnoputri cenderung lebih unggul dibandingkan dengan Jusuf Kalla.

Terlepas dari siapa yang akan menjadi calon presiden dan wakil presiden, gagasan koalisi dua kekuatan politik itu secara kalkulatif menguntungkan. Terutama jika dikaitkan dengan ideologi ”stabilitas pemerintahan” yang menghendaki kekuatan mayoritas, demi mempertahankan kebinekaan, dan alasan-alasan klise yang menunjukkan kekuatan pemerintahan selama lima tahun.

Bagi PDI-P, pilihan terhadap Golkar untuk maju dalam pemilu presiden telah melalui proses panjang setelah tahun 2004 menggandeng tokoh agama, tetapi tak berhasil bertahan di istana negara. Pilihan terhadap Golkar dilandasi kepercayaan kuat bahwa mereka sudah memiliki Baitul Muslimin sebagai sayap politik partai moncong putih yang diandalkan di akar rumput kantong-kantong Islam.

Pertimbangan lain, mungkin karena melihat elite Partai Golkar bertaburan tokoh dari berbagai organisasi Islam, maka PDI-P tidak risau bakal kehilangan pemilih di basis massa Islam. Maka, dalam urusan pilihan rakyat yang didasarkan persamaan agama, tidak menimbulkan masalah krusial yang merugikan PDI-P.

Namun, melihat kekuatan dan potensi yang ada di dua partai besar itu, bukan berarti duet Mega-JK tidak memiliki risiko yang menghadang mereka. Sebab, bagi sebagian massa akar rumput PDI-P dan loyalis Megawati Soekarnoputri, elite Golkar dan Jusuf Kalla secara empiris masih dinilai memiliki jarak kekuasaan dengan mereka.

Implikasinya, massa cair di akar rumput partai banteng gemuk itu bukan mustahil akan mengalihkan suaranya kepada tokoh atau partai lain, yang memiliki kesamaan orientasi politik, seperti partai-partai dalam bingkai nasionalis-sekuler yang agresif menyongsong Pemilu 2009.

Beralihnya suara bisa dipahami, mengingat konstituen umumnya tidak memahami dan tidak menghiraukan perlunya koalisi permanen untuk menegakkan kebinekaan dalam menghadapi strategi voting di lembaga legislatif, yang sudah menjadi gejala umum dalam politik di Indonesia.

Tinjauan geopolitik

Dalam tinjauan geopolitik, Megawati Soekarnoputri dengan PDI-P memiliki kekuatan yang terkonsentrasi di wilayah timur dan sebagian Indonesia tengah. Sedangkan Golkar, jika mengusung tokoh Indonesia timur sebagai ”presiden atau wapres”, yang dipasangkan dengan kandidat PDI-P, dipastikan mampu menarik simpati massa di belahan timur Indonesia.

Memang ada asumsi, Partai Golkar mulai kehilangan tenaga dalam konteks pilkada tingkat provinsi di Sulawesi, Maluku, dan Papua. Namun, untuk urusan memilih tokoh atau partai politik, mengingat kawasan timur memiliki pengalaman kebinekaan semasa Golkar sebagai partai utama pendukung kekuasaan, pemilih Indonesia timur sepertinya lebih condong kepada M Jusuf Kalla.

Intinya, koalisi PDI-P dan Golkar atau Mega-JK akan berjaya di Indonesia timur. Masalahnya, mengingat budaya paternalistik masih menjadi gejala dalam politik di Indonesia, bisa saja kawasan Indonesia bagian barat, khususnya Sumatera, dengan pemilih signifikan, merasa tidak terwakili oleh duet Mega-JK.

Sebab, secara politis Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua PDI-P lebih merepresentasikan kawasan timur, bagian tengah, dan sebagian Pulau Jawa. Sementara itu, Jusuf Kalla, meski Golkar kuat di Indonesia bagian barat, khususnya Sumatera, citra JK telanjur terikat bingkai ”Saudagar Bugis” yang mewakili suara Sulawesi dan sekitarnya. Akibatnya, koalisi banteng-beringin akan menghadapi tantangan berat di wilayah barat Indonesia.

Bagaimana jika koalisi tetap berjalan, tetapi PDI-P mencari tokoh yang merepresentasikan kekuatan politik di Indonesia bagian barat? Ini amat mungkin terjadi. Namun, masalahnya adalah melihat lingkaran dalam kekuatan Partai Golkar yang berkuasa, kecil kemungkinan mereka akan mencalonkan tokoh internal dari kawasan Indonesia barat sebagai presiden maupun wakil presiden. Kalaupun PDI-P menetapkan sepihak, dengan memilih tokoh Golkar berpengaruh dari wilayah Barat Indonesia, maka suara partai beringin akan terpecah dan dampaknya PDI-P harus bekerja lebih keras untuk mengantar putri Bung Karno kembali ke tampuk kekuasaan.

Dengan demikian, bagi PDI-P, pilihan pendamping menuju kursi presiden dengan menggandeng Partai Golkar meski memiliki peluang, tetapi memiliki risiko yang berpengaruh terhadap upaya melenggang ke istana. Selain itu, melihat gelagat politiknya, secara kelembagaan Partai Golkar gamang berdampingan dengan Megawati Soekarnoputri. Terlebih dogma politik yang sering disuarakan pimpinan Partai Golkar bahwa mereka tidak biasa menempatkan diri sebagai partai oposisi, maka pilihannya harus berada dalam lingkaran kekuasaan.

Dengan kata lain, menyangkut urusan koalisi dengan PDI-P, Partai Golkar tetap akan menunggu hasil pemilu legislatif dan diperkirakan mereka tidak lagi memaksakan JK sebagai presiden, jika ada tokoh lain yang lebih populer serta berpotensi menang dalam pemilu presiden.

Artinya, siapa pun tokoh yang dinilai unggul, Partai Golkar cenderung akan mendukung dan menetapkan koalisinya. Alhasil, harapan membentuk koalisi permanen sulit terwujud, dan celakanya hampir semua partai mengusung jargon klise dalam masalah koalisi permanen.

Eko Harry Susanto Pemerhati Masalah Komunikasi dan Keterbukaan Informasi Publik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar