Selasa, 24 Maret 2009

Partai Persatuan Pembangunan


Menguji Kekuatan dengan Bekal Pengalaman
Senin, 23 Maret 2009 | 23:49 WIB

Kemampuan bertahan dalam menghadapi berbagai tekanan, konflik internal, dan perubahan politik secara langsung menunjukkan kekuatan politik Partai Persatuan Pembangunan. Berbekal pengalaman semacam ini, mampukah partai ini memperluas pengaruh politiknya dalam Pemilu 2009? Sultani & Bestian Nainggolan

Usia 36 tahun yang terlewati tidak diragukan lagi telah menempa Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjadi salah satu dari sedikit kekuatan politik yang paling berpengaruh di negeri ini. Corak keislaman yang mendasari berdirinya PPP selama ini telah menyatu dan membentuk watak dasar partai ini.

Memang, dalam perjalanannya partai ini sempat ”berganti baju” ideologi. Sesuatu yang tidak terelakkan oleh kekuatan politik apa pun di negeri ini pada saat menghadapi cengkeraman politik rezim Orde Baru. Namun, kiprah dan dinamika politik partai berlambang kabah ini dalam berbagai ajang kontestasi politik dipandang konsisten. Dalam hal ini, PPP dinilai setia berorientasi pada upaya memperjuangkan aspirasi umat Islam.

Sarat pengalaman

Usia yang panjang juga menyimpan catatan pasang dan surutnya dukungan para pemilih. Ada masa di saat PPP menuai dukungan suara yang mengejutkan. Sikap kritis yang disuarakan para wakilnya di DPR, seperti penolakan Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang diajukan oleh pemerintah pada tahun 1973, misalnya, menarik simpati para pemilih Islam. Begitu pun kekritisan terhadap berbagai paket perundangan yang kurang berpihak pada kepentingan umat Islam di era itu. Kiprah semacam ini membawa berkah sekaligus memperkuat citra PPP sebagai partai penyambung aspirasi umat. Hasilnya, pada Pemilu 1977, PPP meraih sekitar 18,7 juta suara, sekaligus menguasai 99 kursi DPR.

Pemilu 1997 juga menjadi kenangan manis PPP. Tekanan pemerintah terhadap kehidupan politik di luar Golkar tidak memadamkan sepak terjang partai ini. Berhimpunnya dua kekuatan non-Golkar dalam formasi ”Mega-Bintang”, di mana massa PDI pro-Megawati yang mendapat tekanan politik penguasa memilih bergabung dengan massa PPP, menghasilkan dukungan massa yang cukup signifikan kepada kedua partai ini. Bagi PPP sendiri, fenomena Pemilu 1997 merupakan momen untuk mengembalikan kekuatan partai ini setelah 20 tahun terseok di bawah kekangan penguasa. Pada Pemilu 1997 tersebut, PPP mampu meraih 22,4 persen suara dan merebut 89 kursi DPR. Dua kisah pencapaian di atas merupakan prestasi tertinggi dalam sejarah dukungan publik terhadap PPP.

Di balik catatan manis terurai pula situasi yang suram, saat di mana partai ini menghadapi masa paceklik suara. PPP yang terbentuk dari hasil fusi empat kekuatan politik Islam, yakni Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), berkali-kali tergerus oleh konflik internal partai.

Di era 1980-an, lantaran merasa semakin tersisihkan peran politiknya dalam PPP, NU mulai merasakan berbagai ketidakcocokan. Puncaknya, dalam Muktamar ke-27, 8-12 Desember 1984, NU memutuskan menarik diri dari kegiatan politik praktis. Dengan sendirinya PPP ditinggalkan para pemilih kalangan NU. Apalagi, setelah konflik itu berbagai desakan pemerintah untuk menyamakan setiap ideologi partai menjadi Pancasila kian gencar, yang secara langsung semakin memorakporandakan identitas partai ini. Tak pelak, perolehan suara PPP dalam Pemilu 1987 menyusut drastis, tersisa 61 kursi DPR.

Runtuhnya Orde Baru dan bergulirnya gerakan reformasi menjadi momen baru bagi PPP dalam merumuskan kembali strategi penguasaan politik. Bagaimanapun, di era baru ini PPP diperhadapkan oleh ancaman situasi yang tidak membuatnya menjadi lebih mudah dalam memperluas pengaruh politik. Liberalisasi politik di era reformasi dalam waktu singkat telah memunculkan partai-partai bercorak keislaman yang dengan sendirinya menjadi pesaing partai ini. Terlebih, di antara partai Islam yang muncul, sebagian merupakan partai yang kelahirannya dilatarbelakangi oleh unsur ketidakpuasan terhadap PPP dan memilih membentuk partai secara terpisah. Sebagian partai Islam lainnya merupakan partai yang mengklaim merepresentasikan massa NU. Padahal, pemilih berlatar belakang NU menjadi salah satu basis terkuat pendukung PPP. Dalam situasi seperti ini, mampukah PPP bertahan?

Memang, jika dibandingkan dengan masa sebelumnya, dua ajang kontestasi politik terakhir, Pemilu 1999 dan Pemilu 2004, tidak membuat proporsi penguasaan suara PPP semakin bertambah. Di tengah persaingan penguasaan pengaruh massa Islam yang sedemikian ketat, kekuatan pengaruh PPP tergerus cukup dalam. Pemilu 1999, PPP hanya mampu meraih sekitar 10,7 persen suara. Perolehan itu menempatkan PPP di urutan keempat besar pengumpul suara, di bawah PDI-P, Golkar, dan PKB. Pada Pemilu 2004, prestasi yang diraih PPP pun semakin menyusut, hanya sekitar 8 persen suara atau 58 kursi DPR. Dari sisi jumlah kursi yang dikuasai dan posisinya di antara partai bercorak keislaman lainnya, prestasi PPP sebenarnya tidak terlalu tergerus, lantaran partai ini berhasil sebagai peraih kursi DPR terbanyak di antara partai-partai bercorak keislaman lainnya, seperti PKB, PKS, PAN, PBR, dan PBB.

Ujian terbaru

Upaya tetap bertahan dalam berbagai situasi yang sulit memang telah menyatu sekaligus bekal berharga bagi partai ini. Namun, kekuatan itu tampaknya harus diuji kembali dalam ajang Pemilu 2009 ini. Apalagi, pada pemilu kali ini permasalahan yang dihadapi tidak juga menjadi semakin ringan. Bersandar pada hasil survei pasca-Pemilu 2004, kecenderungan pudarnya pengaruh politik partai-partai bercorak keislaman jelas tergambarkan. Bahkan, berbagai hasil survei nasional yang dilakukan menjelang Pemilu 2009 makin memperjelas penurunan pengaruh partai-partai bercorak keislaman dalam perebutan pengaruh pemilih.

Yang tak kurang mengkhawatirkan, kondisi demikian juga terjadi pada PPP. Peta kekuatan pengaruh politik partai ini kurang begitu mencerminkan adanya geliat politik yang agresif. Survei nasional yang diselenggarakan Litbang Kompas, 20 Februari-3 Maret 2009, misalnya, memaparkan proporsi perolehan partai-partai bercorak keislaman pada lapis kedua terbesar perebutan dukungan suara di negeri ini. Berdasarkan hasil survei ini, PPP diperkirakan meraih 5,2 persen. Dengan mempertimbangkan besarnya margin of error survei, diperkirakan pencapaian tertinggi PPP sekitar 7 persen.

Survei sebelumnya pada bulan Februari 2009 yang dilakukan oleh CSIS, LP3ES, LIPI, dan Puskapol UI memaparkan kondisi yang relatif sama. Pencapaian partai-partai bercorak keislaman yang berada cukup jauh di bawah keberhasilan Partai Demokrat, PDI-P, dan Golkar. PPP sendiri diminati sekitar 4,2 persen. Jika mempertimbangkan besarnya margin of error dari penelitian ini dan di sisi lain masih terdapat sekitar seperlima bagian responden yang belum menyatakan pilihan, diperkirakan perolehan tertinggi partai ini juga 7 persen.

Perlu dicatat, kedua hasil survei ini dilakukan sebelum masa kampanye dimulai yang dengan sendirinya masih memungkinkan pula terjadi berbagai perubahan. Namun, jika berpatokan pada hasil survei itu dan membandingkan dengan perolehan suara partai ini pada Pemilu 2004 (8,2 persen), justru bukan perluasan pengaruh politik yang bakal diraih partai ini dalam ajang Pemilu 2009.

Jika hasil survei memaparkan kemungkinan yang lebih pesimistis, hasil pemetaan terhadap penetrasi partai ini dalam berbagai ajang pilkada tingkat kabupaten dan kota justru menunjukkan potensi penguasaan wilayah yang cukup memuaskan. Dalam hal ini, PPP terbukti mampu menampilkan calon-calon kepala daerah yang diminati tidak hanya oleh konstituen partai ini saja. Sepanjang penyelenggaraan pilkada 2005-2008, misalnya, dari sekitar 459 kota dan kabupaten seluruh Indonesia yang telah menyelenggarakan pilkada, tidak kurang dari 105 kabupaten dan kota berhasil dikuasai oleh calon kepala daerah yang didukung PPP. Dari jumlah itu, tujuh kabupaten dan kota bahkan dimenangi calon kepala daerah yang diusulkan secara tunggal oleh partai ini. Sebanyak 98 kabupaten lainnya merupakan kemenangan calon PPP yang diperoleh dengan berkoalisi bersama partai politik lain.

Dua situasi yang agak berseberangan—yaitu di satu sisi hasil survei yang mencerminkan kecenderungan penurunan pengaruh dan di sisi lain terkuaknya potensi penguasaan wilayah yang lebih luas melalui berbagai ajang kontestasi politik lokal pilkada—bagaimanapun telah menjadi informasi yang menyertai segenap sepak terjang PPP menjelang Pemilu 2009. Persoalan yang sama, apakah menjadi semakin luas ataupun menyempitnya pengaruh politik partai ini sebagaimana yang tergambarkan dari semakin besar atau mengecilnya dukungan yang diraih PPP sesungguhnya bukan sesuatu yang asing dan mengejutkan. Bagaimanapun, pengalaman panjang telah menempa sekaligus memperkokoh eksistensi partai ini dalam menghadapi berbagai situasi sulit. (Sultani dan Bestian Nainggolan/Litbang Kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar