Selasa, 31 Maret 2009

Menakar Tingkat Partisipasi Pemilih

Rendahnya tingkat partisipasi pemilih belakangan menjadi persoalan yang kerap terjadi dalam berbagai ajang kontestasi politik di negeri ini. Bahkan, dalam berbagai pemilihan kepala daerah lalu, proporsi pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya jauh melebihi perolehan suara pemenang. Dalam Pemilihan Umum 2009, masihkah persoalan yang sama terulang? SUWARDIMAN

Selama satu dekade terakhir, antusiasme pemilih untuk berpartisipasi dalam pemilu mengalami penurunan tajam. Pemilu pertama setelah jatuhnya rezim Orde Baru, misalnya, masih tercatat 92,7 persen pemilih yang menggunakan hak pilihnya. Terlihat benar antusiasme masyarakat saat itu. Namun, pada pemilu berikutnya pada tahun 2004, tingkat partisipasi melorot jadi 84,1 persen.

Ironisnya, penurunan tingkat partisipasi ini berlanjut pada pemilihan umum presiden dan berbagai ajang pilkada yang menerapkan sistem one man one vote. Sistem ini menempatkan setiap suara pemilih menjadi begitu berharga dalam perekrutan pemimpin yang akan menduduki kursi pemerintahan. Pada pemilu presiden putaran pertama, pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya sebesar 21,8 persen. Jumlah tersebut kembali melonjak menjadi 23,4 persen pada putaran kedua.

Kurang diminati

Setelah peristiwa ini, kecenderungan turunnya antusiasme masyarakat semakin jelas terlihat saat pemilihan kepala daerah periode 2005-2008. Jika dirata-ratakan dari angka partisipasi di 28 pemilihan gubernur yang telah berlangsung, tidak kurang dari dua pertiga bagian pemilih yang menggunakan haknya. Sedikitnya, sembilan penyelenggaraan pemilihan gubernur hanya diramaikan oleh kurang dari 65 persen pemilih terdaftar. Minimnya partisipasi masyarakat untuk datang ke tempat pemungutan suara, misalnya, sungguh jelas terlihat saat Pemilihan Gubernur Jawa Timur. Pada putaran pertama pilkada di Jawa Timur hanya diramaikan oleh 61,7 persen pemilih. Adapun pada putaran kedua, yang dimenangi oleh pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf, partisipasinya semakin melorot, dengan catatan 54,3 persen pemilih saja yang memberikan suara.

Analisis terhadap partisipasi pemilih di tingkat yang lebih kecil lagi, ajang pilkada kabupaten dan kota yang terselenggara sepanjang tahun 2005-2008, semakin menegaskan bahwa pemilu tidak terlalu diminati masyarakat. Dari 340 kabupaten dan kota, hanya 103 wilayah yang didukung oleh lebih dari 80 persen pemilih. Mayoritas, sebagaimana yang terjadi di 138 daerah, hanya diminati oleh 75 persen hingga 80 persen pemilih saja. Bahkan terdapat 49 daerah yang tingkat partisipasinya di bawah 65 persen! Tidak heran jika jumlah yang tidak berpartisipasi dalam pilkada melebihi proporsi suara yang diraih para pemenang pemilu. Di Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara, misalnya, pemenang pemilu meraih 28,1 persen suara. Padahal, 44,6 persen pemilih tidak menggunakan hak pilihnya. Kondisi serupa terjadi di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, yaitu tercatat 39,8 persen penduduk tidak menggunakan hak pilih. Pemenang di kabupaten ini hanya meraih 34,4 persen suara.

Menyusutnya partisipasi pemilih, terlebih berlangsung pada pilkada kabupaten dan kota semacam ini sangat mengkhawatirkan. Padahal ajang pemilihan bupati/wali kota ini menjadi momentum bagi rakyat untuk menentukan pemimpin pemerintahan yang akan membuat kebijakan-kebijakan yang secara langsung memengaruhi kehidupan mereka. Persoalannya kemudian, apakah persoalan semacam ini berulang dalam Pemilu 2009 ini? Jika demikian yang terjadi, makna dan manfaat pemilu di era reformasi pupus sudah.

Bibit penolakan

Hasil survei tatap muka yang dilakukan oleh Litbang Kompas terhadap 3.000 masyarakat di seluruh Indonesia menunjukkan terbukanya potensi partisipasi pemilih yang rendah. Kondisi demikian terungkap dari proporsi mereka yang sejak awal menyatakan tidak akan mengikuti pemilu dan proporsi mereka yang belum jelas memilih ataupun yang belum punya pilihan politik. Keseluruhan responden yang dimintai pendapatnya, sebanyak 60,6 persen telah menyatakan pilihan politiknya secara terbuka. Tercatat pula sebanyak 16,9 persen yang enggan mengungkapkan pilihan politik mereka. Sisanya (22,5 persen) terbagi atas kalangan yang secara terang-terangan tidak ingin mengikuti pemilu dan kalangan yang hingga saat ini masih belum tahu apa yang harus mereka lakukan dalam pemilu ini. Bagaimanapun, kedua kelompok pemilih terakhir inilah yang menyimpan potensi rendahnya partisipasi dalam pemilu kali ini.

Jika ditelisik dari sisi jenjang usia, hasil survei menunjukkan antusiasme yang cenderung tinggi justru ditunjukkan oleh kalangan yang tergolong baru mengikuti pemilu. Tidak kurang dari sekitar 71 persen responden kelompok usia 17-22 tahun telah menyatakan siap dengan pilihannya. Namun, bagi kalangan yang berusia relatif lebih tua (di atas 36 tahun), yang telah berkali-kali mengikuti pemilu, antusiasme tersebut justru semakin rendah, tercatat 58 persen.

Berbagai alasan terungkap dari mereka yang tidak ataupun belum menyatakan pilihan politiknya. Dari kelompok yang sejak dini telah menyatakan tidak akan menggunakan hak pilihnya, keputusan untuk tidak berpartisipasi didasarkan pada dua alasan utama. Pertama, kendala teknis sehingga membuat mereka enggan menuju bilik suara. Ini dinyatakan oleh tidak kurang dari 59 persen responden. Beragam alasan teknis yang diungkapkan, mulai dari nama yang tidak terdaftar, persoalan jarak, hingga alasan lebih mengutamakan kegiatan lain pada saat pemilu berlangsung.

Kedua, tercatat pula sebesar 40 persen responden dari kelompok ini yang menyatakan berbagai alasan yang cenderung bersifat ideologis. Alasan-alasan itu antara lain tak akan memilih partai atau calon mana pun karena merasa tidak percaya terhadap partai politik dan merasa tidak bermanfaat atas apa yang dipilihnya. Salah satu faktor yang dijadikan alasan adalah rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik dan buruknya citra elite parpol. Berbagai kasus hukum dan korupsi yang melibatkan anggota DPR, misalnya, mendorong meningkatnya persepsi buruk publik terhadap para elite politik. Perilaku para elite inilah yang memupus kepercayaan masyarakat yang telah memilih mereka. Hasil jajak pendapat Kompas selama tiga tahun terakhir bisa menjadi ilustrasi meningkatnya persepsi buruk publik terhadap DPR ataupun partai politik. Pada tahun 2005 hasil jajak pendapat Kompas mencatat publik yang menaruh persepsi buruk terhadap lembaga DPR sebesar 58 persen. Tiga tahun kemudian, yaitu tahun 2008, persepsi buruk publik terhadap DPR meningkat menjadi 81 persen.

Selain kalangan yang memang secara sadar telah menyatakan tidak akan memilih, patut pula dicermati bagi mereka yang hingga saat ini belum menyatakan pilihan politiknya. Dari aspek wilayah, misalnya, proporsi mereka yang tinggal di kawasan perkotaan yang belum memutuskan pilihannya jauh lebih besar dibandingkan dengan mereka yang bermukim di pedesaan. Dalam kelompok ini, persentase mereka yang berpendidikan rendah pun jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang berpendidikan tinggi. Pada pemandangan lain, kecenderungan lebih banyaknya responden perempuan yang belum memutuskan pilihan politiknya dibandingkan dengan mereka yang berjenis kelamin laki-laki terjadi. Ketiga karakteristik ini, pemilih perkotaan pendidikan rendah, dan perempuan, dapat dipandang dalam dua hal, yaitu masih terdapatnya peluang bagi partai politik untuk meluaskan penetrasinya dalam waktu yang singkat ini. Atau, kelompok ini amat potensial menyumbangkan semakin rendahnya partisipasi pemilih dalam Pemilu 2009. Jika yang terakhir terjadi, bisa jadi suara pemenang pemilu DPR kali ini sebenarnya terkalahkan oleh mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya. (LITBANG KOMPAS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar