Selasa, 31 Maret 2009

Menakar Tingkat Partisipasi Pemilih

Rendahnya tingkat partisipasi pemilih belakangan menjadi persoalan yang kerap terjadi dalam berbagai ajang kontestasi politik di negeri ini. Bahkan, dalam berbagai pemilihan kepala daerah lalu, proporsi pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya jauh melebihi perolehan suara pemenang. Dalam Pemilihan Umum 2009, masihkah persoalan yang sama terulang? SUWARDIMAN

Selama satu dekade terakhir, antusiasme pemilih untuk berpartisipasi dalam pemilu mengalami penurunan tajam. Pemilu pertama setelah jatuhnya rezim Orde Baru, misalnya, masih tercatat 92,7 persen pemilih yang menggunakan hak pilihnya. Terlihat benar antusiasme masyarakat saat itu. Namun, pada pemilu berikutnya pada tahun 2004, tingkat partisipasi melorot jadi 84,1 persen.

Ironisnya, penurunan tingkat partisipasi ini berlanjut pada pemilihan umum presiden dan berbagai ajang pilkada yang menerapkan sistem one man one vote. Sistem ini menempatkan setiap suara pemilih menjadi begitu berharga dalam perekrutan pemimpin yang akan menduduki kursi pemerintahan. Pada pemilu presiden putaran pertama, pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya sebesar 21,8 persen. Jumlah tersebut kembali melonjak menjadi 23,4 persen pada putaran kedua.

Kurang diminati

Setelah peristiwa ini, kecenderungan turunnya antusiasme masyarakat semakin jelas terlihat saat pemilihan kepala daerah periode 2005-2008. Jika dirata-ratakan dari angka partisipasi di 28 pemilihan gubernur yang telah berlangsung, tidak kurang dari dua pertiga bagian pemilih yang menggunakan haknya. Sedikitnya, sembilan penyelenggaraan pemilihan gubernur hanya diramaikan oleh kurang dari 65 persen pemilih terdaftar. Minimnya partisipasi masyarakat untuk datang ke tempat pemungutan suara, misalnya, sungguh jelas terlihat saat Pemilihan Gubernur Jawa Timur. Pada putaran pertama pilkada di Jawa Timur hanya diramaikan oleh 61,7 persen pemilih. Adapun pada putaran kedua, yang dimenangi oleh pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf, partisipasinya semakin melorot, dengan catatan 54,3 persen pemilih saja yang memberikan suara.

Analisis terhadap partisipasi pemilih di tingkat yang lebih kecil lagi, ajang pilkada kabupaten dan kota yang terselenggara sepanjang tahun 2005-2008, semakin menegaskan bahwa pemilu tidak terlalu diminati masyarakat. Dari 340 kabupaten dan kota, hanya 103 wilayah yang didukung oleh lebih dari 80 persen pemilih. Mayoritas, sebagaimana yang terjadi di 138 daerah, hanya diminati oleh 75 persen hingga 80 persen pemilih saja. Bahkan terdapat 49 daerah yang tingkat partisipasinya di bawah 65 persen! Tidak heran jika jumlah yang tidak berpartisipasi dalam pilkada melebihi proporsi suara yang diraih para pemenang pemilu. Di Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara, misalnya, pemenang pemilu meraih 28,1 persen suara. Padahal, 44,6 persen pemilih tidak menggunakan hak pilihnya. Kondisi serupa terjadi di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, yaitu tercatat 39,8 persen penduduk tidak menggunakan hak pilih. Pemenang di kabupaten ini hanya meraih 34,4 persen suara.

Menyusutnya partisipasi pemilih, terlebih berlangsung pada pilkada kabupaten dan kota semacam ini sangat mengkhawatirkan. Padahal ajang pemilihan bupati/wali kota ini menjadi momentum bagi rakyat untuk menentukan pemimpin pemerintahan yang akan membuat kebijakan-kebijakan yang secara langsung memengaruhi kehidupan mereka. Persoalannya kemudian, apakah persoalan semacam ini berulang dalam Pemilu 2009 ini? Jika demikian yang terjadi, makna dan manfaat pemilu di era reformasi pupus sudah.

Bibit penolakan

Hasil survei tatap muka yang dilakukan oleh Litbang Kompas terhadap 3.000 masyarakat di seluruh Indonesia menunjukkan terbukanya potensi partisipasi pemilih yang rendah. Kondisi demikian terungkap dari proporsi mereka yang sejak awal menyatakan tidak akan mengikuti pemilu dan proporsi mereka yang belum jelas memilih ataupun yang belum punya pilihan politik. Keseluruhan responden yang dimintai pendapatnya, sebanyak 60,6 persen telah menyatakan pilihan politiknya secara terbuka. Tercatat pula sebanyak 16,9 persen yang enggan mengungkapkan pilihan politik mereka. Sisanya (22,5 persen) terbagi atas kalangan yang secara terang-terangan tidak ingin mengikuti pemilu dan kalangan yang hingga saat ini masih belum tahu apa yang harus mereka lakukan dalam pemilu ini. Bagaimanapun, kedua kelompok pemilih terakhir inilah yang menyimpan potensi rendahnya partisipasi dalam pemilu kali ini.

Jika ditelisik dari sisi jenjang usia, hasil survei menunjukkan antusiasme yang cenderung tinggi justru ditunjukkan oleh kalangan yang tergolong baru mengikuti pemilu. Tidak kurang dari sekitar 71 persen responden kelompok usia 17-22 tahun telah menyatakan siap dengan pilihannya. Namun, bagi kalangan yang berusia relatif lebih tua (di atas 36 tahun), yang telah berkali-kali mengikuti pemilu, antusiasme tersebut justru semakin rendah, tercatat 58 persen.

Berbagai alasan terungkap dari mereka yang tidak ataupun belum menyatakan pilihan politiknya. Dari kelompok yang sejak dini telah menyatakan tidak akan menggunakan hak pilihnya, keputusan untuk tidak berpartisipasi didasarkan pada dua alasan utama. Pertama, kendala teknis sehingga membuat mereka enggan menuju bilik suara. Ini dinyatakan oleh tidak kurang dari 59 persen responden. Beragam alasan teknis yang diungkapkan, mulai dari nama yang tidak terdaftar, persoalan jarak, hingga alasan lebih mengutamakan kegiatan lain pada saat pemilu berlangsung.

Kedua, tercatat pula sebesar 40 persen responden dari kelompok ini yang menyatakan berbagai alasan yang cenderung bersifat ideologis. Alasan-alasan itu antara lain tak akan memilih partai atau calon mana pun karena merasa tidak percaya terhadap partai politik dan merasa tidak bermanfaat atas apa yang dipilihnya. Salah satu faktor yang dijadikan alasan adalah rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik dan buruknya citra elite parpol. Berbagai kasus hukum dan korupsi yang melibatkan anggota DPR, misalnya, mendorong meningkatnya persepsi buruk publik terhadap para elite politik. Perilaku para elite inilah yang memupus kepercayaan masyarakat yang telah memilih mereka. Hasil jajak pendapat Kompas selama tiga tahun terakhir bisa menjadi ilustrasi meningkatnya persepsi buruk publik terhadap DPR ataupun partai politik. Pada tahun 2005 hasil jajak pendapat Kompas mencatat publik yang menaruh persepsi buruk terhadap lembaga DPR sebesar 58 persen. Tiga tahun kemudian, yaitu tahun 2008, persepsi buruk publik terhadap DPR meningkat menjadi 81 persen.

Selain kalangan yang memang secara sadar telah menyatakan tidak akan memilih, patut pula dicermati bagi mereka yang hingga saat ini belum menyatakan pilihan politiknya. Dari aspek wilayah, misalnya, proporsi mereka yang tinggal di kawasan perkotaan yang belum memutuskan pilihannya jauh lebih besar dibandingkan dengan mereka yang bermukim di pedesaan. Dalam kelompok ini, persentase mereka yang berpendidikan rendah pun jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang berpendidikan tinggi. Pada pemandangan lain, kecenderungan lebih banyaknya responden perempuan yang belum memutuskan pilihan politiknya dibandingkan dengan mereka yang berjenis kelamin laki-laki terjadi. Ketiga karakteristik ini, pemilih perkotaan pendidikan rendah, dan perempuan, dapat dipandang dalam dua hal, yaitu masih terdapatnya peluang bagi partai politik untuk meluaskan penetrasinya dalam waktu yang singkat ini. Atau, kelompok ini amat potensial menyumbangkan semakin rendahnya partisipasi pemilih dalam Pemilu 2009. Jika yang terakhir terjadi, bisa jadi suara pemenang pemilu DPR kali ini sebenarnya terkalahkan oleh mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya. (LITBANG KOMPAS)

Persaingan Parpol-Caleg

Identifikasi pemilih Indonesia tampak mulai goyah. Fakta banyak partai politik yang gagal memenangi pemilihan kepala daerah di daerah basis massanya menjadi bukti melemahnya keterikatan pemilih Indonesia terhadap partai politik itu.

Saat ini parpol diuji perannya sebagai kendaraan politik, apakah basis massa yang dimilikinya riil atau semu. Partai yang memiliki basis massa kuat pada Pemilu 2004 terbukti banyak yang tak mampu mengandalkan modal suaranya untuk memenangkan pasangan calonnya di pilkada. Fenomena ini disadari betul oleh parpol, buktinya tidak banyak parpol yang percaya diri mengusung calonnya secara tunggal.

Sukses atau tidaknya kerja parpol dalam pilkada beririsan dengan faktor lain yang lebih menentukan. Dalam pemilihan model langsung, pertarungan benar-benar ditentukan tak hanya oleh kekuatan modal suara partai. Faktor lain, seperti dana dan figur pasangan yang akan diusung, menjadi lebih menentukan kemenangan.

Partai Golkar, misalnya, gagal mengantar pasangan calonnya menjadi gubernur Sulawesi Utara, Juni 2005. Partai yang memiliki modal suara 32,32 persen di Sulut saat Pemilu 2004 itu harus mengakui kemenangan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang mengusung pasangan Sarundayang- Freddy Sualang. Golkar juga gagal menggiring kekuatan politiknya di basis massa Sumatera Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Jawa Barat, dan Sumatera Utara. Sementara itu, PDI-P sukses menjadi pengusung tunggal untuk pemilihan enam gubernur.

Pada pemilihan bupati/wali kota, partai yang menguasai basis massa satu daerah pada Pemilu 2004 gagal menunjukkan taringnya pada pilkada. Golkar, misalnya, gagal mempertahankan basis massanya di Kabupaten Aceh Tamiang (NAD), Pesisir Selatan (Sumbar), dan Gunung Kidul (DIY). Ketiga daerah itu direbut Partai Amanat Nasional (PAN). Selain itu, PAN juga merebut kantong suara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) saat pilkada di Lamongan, Jawa Timur.

Gejala melemahnya keterikatan pemilih terhadap parpol tampak dari hasil survei Litbang Kompas yang dilakukan terhadap 3.000 responden di 33 provinsi di Indonesia. Lebih banyak responden yang menyukai memilih nama calon anggota legislatif (caleg) ketimbang lambang partai (43,1 persen ) dan hanya 27,3 persen yang menyatakan lebih memilih lambang partai. Sisanya, 29,5 persen, tak mempermasalahkan memilih partai atau caleg.

Ikatan lemah antara parpol dan pemilih juga tampak dari besarnya jumlah responden ”tidak loyal”, dalam arti sudah memilih parpol tertentu pada Pemilu 2004, tetapi ragu akan memilih lagi partai yang sama pada Pemilu 2009. Tercatat hanya 28,34 persen yang ”loyal” menyatakan akan memilih partai yang sama dengan pilihannya pada pemilu lalu. Adapun 17,61 persen responden menyatakan bakal mengubah pilihannya pada pemilu mendatang.

Menjelang pemilu legislatif kekuatan partai di tingkat lokal berpotensi rapuh dengan diterapkannya sistem pemilihan langsung yang menekankan kekuatan individu. Sistem yang diterapkan pada pemilu kali ini, di mana kemampuan setiap caleg memperoleh ruang dalam menyosialisasikan dirinya akan lebih menentukan perebutan suara. Partai kecil dan partai baru yang mampu menggaet caleg yang lebih populer di mata pemilih akan diuntungkan. Fenomena ini terbukti terjadi dalam berbagai pilkada.

Jika ditelusuri dari hasil survei, lemahnya identifikasi atau keterikatan pemilih dengan partai politik ternyata lebih banyak terjadi pada pemilih dengan tingkat pendidikan menengah dan tinggi. Semakin tinggi tingkat pendidikan responden, kian sedikit yang memilih partai. Responden yang berpendidikan rendah (tidak sekolah, lulusan SD dan SMP) tercatat 41,26 persen yang menyatakan lebih suka memilih nama caleg ketimbang lambang partai. Responden yang berpendidikan menengah 46,18 persen dan responden berpendidikan tinggi sebanyak 47,83 persen yang lebih suka memilih nama caleg.

Artinya popularitas caleg cenderung berarti dibandingkan dengan partai. Pemilih, yang meski tak merasa dekat dengan partai, menyerahkan suaranya karena suka atau merasa dekat dengan caleg pilihannya.

(Suwardiman/Litbang Kompas)

Fragmentasi dan Keseimbangan Dukungan

BAMBANG SETIAWAN

Karakter dukungan pemilih kepada partai politik setidaknya bisa dibaca dari tiga gejala: fragmentasi kepada partai-partai lama, segmentasi partai-partai menengah baru, dan keseimbangan dukungan kepada partai berkembang.

Kemampuan untuk menghimpun pluralitas sebagai kekuatan yang hadir secara bersamaan tampaknya tidak dimiliki oleh semua partai politik. Kecenderungan yang terjadi dalam partai politik Indonesia adalah tidak seimbangnya dukungan yang didapat dari semua kelompok masyarakat. Terutama kepada partai-partai lama, fragmentasi dukungan atas dasar unsur-unsur primordialitas, seperti jenis kelamin, agama, dan suku bangsa, menjadi ciri yang lebih menonjol. Segregasi umur, pendidikan, atau klasifikasi sosial ekonomi lainnya juga makin menunjukkan ketidakseimbangan demografis dalam pilihan terhadap partai-partai lama.

Kecenderungan yang terjadi dalam diri partai-partai lama, seperti Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), memperlihatkan dengan jelas fragmentasi dukungan yang mulai mengelompok pada lapisan-lapisan basis massa tertentu. Dari sisi usia pemilih, misalnya, Partai Golkar yang pernah berjaya pada masa Orde Baru ini makin ditinggalkan oleh pemilih muda. Dukungan terhadapnya kini lebih banyak diperoleh dari kelompok umur di atas 40 tahun. Selain itu, Golkar juga dicirikan oleh karakteristik: didukung oleh masyarakat berpendidikan SD ke bawah, kaum pensiunan, serta kaum petani dan nelayan. Selain itu, ia juga dicirikan oleh dukungan dari etnis non-Jawa yang cukup dominan, terutama Bugis/Makassar, Minahasa, Melayu Banjar, dan kelompok etnik Flores.

Hal yang hampir mirip terjadi juga pada PDI-P. Partai yang pernah berjaya pada Pemilihan Umum 1999 ini harus menghadapi kenyataan tersegmentasinya dukungan dari lapisan-lapisan masyarakat. Walaupun masih cukup banyak dukungan dari semua kelompok umur, terlihat bahwa partai ini sulit mempertahankan kelompok usia mapan (40-49 tahun). Namun, perannya sebagai partai oposisi pada rezim pemerintahan 2004-2009 membuat pamornya naik bagi kalangan muda sehingga cukup banyak pemilih pemula yang mendukungnya.

Perannya sebagai partai oposisi memang kembali menaikkan citranya. Namun, modal itu ternyata tak cukup mampu mendongkrak basis massa dari semua lapisan pekerja. Di wilayah ekonomi, partai ini makin terpinggirkan dari kelompok dominan, seperti pegawai swasta dan PNS/BUMN, sebaliknya makin terpatri pada dukungan dari kelompok petani/nelayan dan buruh lepas.

Sama halnya dengan kedua partai di atas, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang lahir bersamaan dengan Partai Demokrasi Indonesia (akar dari PDI-P), juga terlihat kurang menggarap kalangan berpendidikan menengah ke atas. Dengan demikian, dukungan terbesar bagi partai ini kian terkonsentrasi pada mereka yang berpendidikan rendah, yang tidak bekerja, dan memiliki penghasilan menengah ke bawah.

Sementara itu, pada partai-partai menengah baru yang memiliki basis massa di perkotaan, seperti Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), segmentasi pemilih banyak terkait dengan pendidikan dan penghasilan. Dua partai yang banyak mendapat simpati dari kaum Muhammadiyah ini mendapatkan dukungan, terutama dari kalangan berpendidikan dan berpenghasilan menengah ke atas. Akar di kalangan bawah belum cukup tumbuh untuk menyaingi partai-partai lama.

PKS, sebagai salah satu partai yang cukup fenomenal dalam Pemilu 2004, juga terlihat belum memiliki fondasi yang kokoh di kalangan pemilih tua. Namun, partai ini memiliki basis massa yang cukup kokoh dari kalangan usia muda dan mereka yang sedang dalam usia produktif (di bawah 40 tahun).

Partai berkembang

Kehadiran Partai Demokrat yang mengandalkan sosok Susilo Bambang Yudhoyono telah membuat kejutan pada Pemilu 2004 dengan meraup suara signifikan 7,45 persen. Tampaknya, dalam pemilu mendatang partai ini akan semakin kuat, sebagaimana diprediksi oleh beberapa lembaga penelitian, termasuk Litbang Kompas. Fenomena ini menempatkan Demokrat sebagai partai berkembang yang kini sangat diperhitungkan.

Apa yang terjadi dengan perkembangan Partai Demokrat tak lepas dari pertumbuhan yang terjadi dalam pola dukungan yang diberikan pemilih. Kecenderungan yang terjadi menunjukkan, eskalasi kekuatan Partai Demokrat juga dilandasi oleh seimbangnya kenaikan dukungan dari berbagai lapisan sosial. Dari segi usia, misalnya, partai ini mampu menyerap semua kelompok umur sebagai basis kekuatannya. Partai ini juga paling banyak menarik kalangan berpendidikan menengah ke atas dibandingkan dengan partai-partai lainnya.

Dari sisi kelompok pekerjaan, kekalahan Demokrat dari Golkar hanya dalam hal menarik dukungan dari kelompok petani/nelayan dan para pensiunan. Sebaliknya, Demokrat mulai mengambil alih penguasaan politik atas Golkar dalam jajaran birokrasi. Baik yang bekerja sebagai PNS dan BUMN maupun pegawai swasta menjadi kekuatan baru bagi partai berlambang bintang segitiga ini. Sebagai gambaran, hasil survei Litbang Kompas di 33 provinsi terhadap 3.000 responden menunjukkan bahwa hanya 22 persen calon pemilih yang bekerja sebagai PNS atau di BUMN akan memilih Golkar, sebaliknya yang memilih Demokrat 38,5 persen.

Kehadiran Demokrat juga mampu mengendurkan keterikatan kultural PDI-P dengan etnis Jawa. Walau bagi PDI-P kontribusi etnik Jawa masih cukup besar (23,9 persen), mereka yang mengalihkan dukungan kepada Demokrat tampak lebih menonjol (25,7 persen). Hal yang sama juga terjadi pada keterikatan kultural warga NU dengan PKB atau PPP. Pemilih dari kalangan nahdliyin ini, berdasarkan hasil survei, hanya sekitar 5,9 persen yang menjatuhkan pilihan kepada PKB dan 7 persen kepada PPP. Sebaliknya, Demokrat sebagai partai nasionalis malahan mampu menyedot sekitar 29,7 persen dari kalangan ini.

(BAMBANG SETIAWAN/ Litbang Kompas)

Ketika Perempuan Menentukan Pilihan

Bagi mesin partai politik, menjaring dukungan pemilih perempuan mungkin gampang-gampang sulit. Penggalangan kekuatan massa, memperbanyak caleg perempuan, atau menjual prestasi dan kinerja bukanlah pertimbangan utama. Namun, pandangan keagamaan serta pengaruh keluarga merupakan dua hal yang paling memengaruhi pilihan politik perempuan.

Demikian salah satu temuan survei Litbang Kompas yang secara khusus diselenggarakan menjelang Pemilihan Umum 2009. Survei memperlihatkan bahwa perempuan memiliki pertimbangan yang unik dalam menentukan sikap politik. Karakteristik ini tidak dapat diabaikan mengingat jumlah pemilih perempuan cukup besar, yakni 84,7 juta orang. Artinya, setiap 10 pemilih, sekitar 5 orang di antaranya adalah perempuan.

Berdasarkan survei, responden perempuan lebih mempertimbangkan faktor keagamaan dalam pilihan politik daripada responden laki-laki. Sekitar sepertiga responden perempuan menyatakan bahwa pandangan keagamaan atau keberadaan tokoh agama dalam suatu parpol menjadi pertimbangannya dalam menentukan pilihan. Sementara itu, pandangan serupa pada responden laki-laki hanya berkisar 28 persen.

Wajah domestik pun masih membayangi sikap politik perempuan. Alih-alih mandiri, pilihan politik perempuan masih dipengaruhi oleh pilihan politik keluarga. Berdasarkan survei, setiap 10 responden perempuan, tiga di antaranya menyatakan informasi keluarga berpengaruh pada pilihan politiknya. Adapun pada responden laki-laki, sekitar dua dari 10 pemilih yang menyatakan hal tersebut.

Keterwakilan perempuan

Isu keterwakilan perempuan dalam parlemen berpeluang termentahkan. Harapan UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu akan memberikan panggung nasional yang lebih luas bagi perempuan terancam sekadar pepesan kosong. Salah satunya, syarat 30 persen caleg perempuan dalam daftar yang diajukan parpol dalam pemilu April mendatang. Suka tidak suka, faktor kesamaan jenis kelamin ternyata tidak serta-merta efektif menarik dukungan perempuan.

Berdasarkan survei, hanya sekitar 13 persen responden perempuan yang menganggap kesamaan jenis kelamin caleg menjadi dasar pertimbangan. Adapun pada responden laki-laki, pertimbangan ini lebih kuat, yakni dinyatakan 29 persen responden. Pengabaian serupa juga terlihat dari pilihan perempuan terhadap kader dan caleg parpol. Dari 10 pemilih perempuan, hanya empat yang menyatakan akan mempertimbangkan latar belakang tokoh dan kader. Sementara itu, pada responden laki-laki, 5 pemilih menyatakan hal tersebut.

Melihat sejumlah faktor tersebut, mesin parpol dan caleg harus lebih jeli dalam membidik peluang dukungan kaum perempuan. Berdasarkan survei, parpol yang berhasil meraih dukungan terbanyak dari kaum perempuan pada tahun 1999 dan 2004 justru parpol yang dalam kampanyenya cenderung tidak mengumbar kekuatan massa, dan bahkan bukan dari parpol dominan di papan atas.

(INDAH SURYA WARDHANI/ Litbang Kompas)

Mempertanyakan Fungsi Parpol

Pada tahun 1970-an terbit dua buku yang menelanjangi profil anak bangsa. Mochtar Lubis menyebut tak bertanggung jawab, munafik, hipokrit, suka iri, dan seterusnya. Koentjaraningrat bilang mentalitet bangsa ini tidak siap untuk membangun (mental menerabas).

Media massa kemudian dipenuhi opini penolakan terhadap kedua buku itu, Mochtar Lubis dimaki habis. Sebulan polemik di harian Kompas, sampai pemimpin redaksi terpaksa menghentikannya. Tapi, tak satu pihak pun yang menangkap (termasuk pemerintah) bahwa mereka mewartakan sesuatu yang mahapenting.

Benarkah mutu sumber daya manusia bangsa (termasuk di bidang politik) serendah itu? Atau, SDM Indonesia sungguh bermutu tinggi, ukurannya apa, tes IQ, EQ, SQ, atau ada yang lain lagi? Ukuran itu mutlak dibutuhkan untuk membuat perencanaan tepat guna, SDM (man behind the gun) selalu menjadi unsur utama untuk keberhasilan manajemen apa pun.

Perubahan oleh siapa?

Negara ini milik orang banyak, dibutuhkan ukuran. Manipulasi terhadap ukuran SDM akan membuat perencanaan menjadi terlalu elok dan selalu muncul masalah dalam pelaksanaan. Lalu dalam pembahasan selalu mencuat istilah ”seharusnya” begini begitu, dan buntutnya melahirkan kambing hitam kebersamaan. Yang penting bukanlah saya yang salah, soal manajemen dan keberhasilan menjadi tidak penting lagi.

Demikian ulang-berulang, tak ada output yang pantas dicatat dalam sejarah Indonesia selain karya Pendiri Negara dan pejuang TKR/TNI yang mengusir penjajah.

Kini, saat semua calon presiden mengampanyekan ”perubahan”, bangsa bertanya, ”apanya yang akan diubah?” Ternyata tidak satu calon presiden pun yang akan mengubah SDM dan perilakunya. Ini menyedihkan. Terbayang untuk sekian tahun ke depan, manajemen negara ini masih tetap ditangani oleh man behind the gun berkualitas rendah. Kita masih akan bergantung pada SDM (dan manajemen/value/investasi) asing.

Pertanyaan berikut adalah siapa yang harus melakukan perubahan terhadap perilaku manusia Indonesia? Mampukah seorang presiden, atau parpol, atau Tuhan? MPR mewakili utusan golongan, utusan daerah dan parpol/DPR dapat melakukan perubahan dengan bermusyawarah mufakat (UUD 1945). Sedangkan UUD 2002 yang berorientasi pada demokrasi, maka parpol di DPR yang harus mengubah. Bagaimana dengan DPD?

Pada era demokrasi yang diperlihatkan dalam Pemilu 2009, tidak jelas siapa subyeknya. Tidak jelas siapa yang bertanggung jawab terhadap sistem. Parpolkah, presidenkah, KPU-kah, MK- kah, MA-kah, atau manusia jalanan, termasuk golongan putih yang jumlahnya semakin besar? Atau, dibiarkan mengambang agar preman bisa merajalela dan bisa melayani kepentingan asing secara bebas?

Cuma kendaraan politik

Ricuh Pilkada Maluku Utara dan Jawa Timur menjelaskan. Saat Maluku Utara, KPU pusat langsung mengambil alih persoalan yang tak bisa ditangani KPU daerah. Ternyata KPU pusat juga tak mampu, lalu diambil alih MA yang juga gagal, lalu ditangani Menteri Dalam Negeri baru ”bisa selesai”. Rupanya cara itu tak berlaku untuk Jawa Timur, tiba- tiba MK yang menangani. Mana yang akan dipakai, bila pemilu pada 9 April nanti macet?

Tidak terlihat fungsi parpol dalam kasus-kasus pilkada. Lalu, apa fungsi parpol dalam permasalahan bangsa, khususnya pasca-9 April? Saat ini masyarakat melihat parpol seolah cuma kendaraan politik untuk berburu kekuasaan semata. Selebihnya tak ada. Artikulasi terhadap aspirasi rakyat, penjaga ideologi bangsa, pembentuk pemimpin, upaya perbaikan manajemen negara, pendidikan politik, semuanya tidak dirasakan masyarakat.

Pemilu 2009 terjadi dalam kondisi bangsa tanpa nilai, sarat dengan kebencian. Berarti rawan ricuh sampai dengan terjadinya deadlock politik. Istilah deadlock politik harus diadakan agar ada kendali kerawanan untuk mencegah kekagetan politik, tiba-tiba kita sadar, ”lho, negeri ini kok sudah berantakan”. Kekagetan politik pernah terjadi ketika Camdessus bersedekap (sedakep) menyaksikan Soeharto menandatangani perjanjian dengan IMF.

Deadlock politik harus dirumuskan deskripsinya lewat musyawarah antarparpol untuk dimufakati bersama dan dijadikan pegangan oleh seluruh anggota masyarakat. Kebangkitan parpol dalam musyawarah mufakat akan memberikan harapan kepada seluruh rakyat akan masa depan bangsa. Pertama yang harus dibenahi adalah mengubah mental anak bangsa supaya menjadi merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Roch Basoeki Mangoenpoerojo Mantan Sekretaris Balitbang PDI-P (1993-1999)

Peta Kekuasaan dan Kemiskinan

Perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan bukanlah untuk kemuliaan kekuasaan itu sendiri. Secara konseptual, kekuasaan adalah instrumen untuk mencapai dua tujuan. Ia dapat digunakan sebagai instrumen untuk perubahan atau sebaliknya sebagai alat untuk melestarikan status quo.

Kalau kita sepakat dengan konseptualisasi seperti ini, demokrasi sebagai mekanisme untuk memperoleh kekuasaan juga tidak luput dari kemungkinan dua tujuan ini. Ia dapat menjadi suatu mekanisme yang melahirkan harapan, tetapi sekaligus dapat mengubah dirinya menjadi ”ibu” keputusasaan.

Pergeseran dari harapan menjadi keputusasaan dalam sistem politik yang demokratis tidaklah terjadi secara otomatis, tetapi dalam suatu proses panjang. Secara hipotetis, ia akan muncul ke permukaan jika peta kekuasaan tergambar sangat dinamis, sedangkan peta kemiskinan terbingkai dalam lukisan statis. Kasus Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir menunjukkan adanya kecenderungan untuk membenarkan kalimat hipotetis ini melalui dua indikasi berikut.

Pragmatisme politik

Pertama, tidak ada satu pun basis kekuatan politik partai yang dapat berkuasa tanpa melakukan koalisi. Kasus kejatuhan pemerintahan Gus Dur, disusul dengan kekalahan Megawati pada Pemilu 2004, dan dilanjutkan oleh SBY melalui pembentukan kabinet ”presidensial dengan gaya parlementer”, kesemuanya memberikan ”pelajaran” betapa dinamisnya peta politik negeri ini. Tidak hanya di tataran nasional, di tingkat lokal situasi serupa bisa juga ditemukan. Beberapa pemilihan kepala daerah telah dilakukan melalui ”koalisi melawan akal sehat”. Dinamika peta koalisi politik yang ”irasional secara ideologis” ini bahkan semakin tinggi pada musim kampanye sekarang. Pembicaraan ”tingkat tinggi” tentang pembentukan koalisi di antara partai-partai tertentu sesungguhnya telah menghilangkan basis perbedaan ideologis di antara mereka.

Secara sekilas pembicaraan ”tingkat tinggi” lintas ”ideologi” untuk pembentukan koalisi itu memang dapat saja menyampaikan pesan bahwa elite partai telah berperilaku sebagai ”negarawan” yang lebih memprioritaskan ”kepentingan rakyat yang lebih luas” daripada kepentingan ideologi partainya. Namun, pada saat yang sama, pola pembentukan koalisi lintas ideologi itu dapat juga menyampaikan pesan yang sangat bertolak belakang. Ia juga merefleksikan pragmatisme politik nonideologis yang sangat luar biasa oleh para elite partai. Dalam upaya mendapatkan kekuasaan, ideologi bagi para elite partai hanyalah hiasan aksesori yang tidak harus terus dipakai.

Kedua, tidak ada perubahan yang sangat mendasar dalam peta kemiskinan kita. Debat tentang seberapa besar jumlah angka kemiskinan sesungguhnya tidak relevan untuk menyatakan peta kemiskinan telah mengalami perubahan di negeri ini. Sesungguhnya, hampir tidak ada peta geografis Indonesia yang tidak luput dari rendahnya kualitas pembangunan manusia. Beberapa wilayah geografis itu, seperti Aceh dan Papua, bahkan memiliki kantong-kantong geografis yang menggambarkan persoalan kemiskinan yang masif.

Laporan resmi tentang target pembangunan milenium yang harus dicapai Indonesia pada 2015 sesungguhnya mengindikasikan perjuangan yang sangat berat untuk mengubah peta kemiskinan ini. Beberapa target itu antara lain menurunkan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah 1 dollar AS per hari menjadi setengahnya. Angka resmi pemerintah untuk jumlah penduduk miskin di bawah 1 dollar AS ini pada 2004 sebesar 36,15 juta.

Selaksa janji dan dusta?

Oleh karena itu, siapa pun yang akan memperoleh kekuasaan melalui Pemilu 2009, mereka akan memiliki beban tanggung jawab yang sangat berat untuk mengubah peta kemiskinan Indonesia dalam lima tahun ke depan. Jika demikian halnya, demokrasi seharusnya tidak sekadar dipahami dalam ukuran bagaimana membuat peta-peta kekuasaan menjadi sangat dinamis. Lebih dari itu, peta-peta kekuasaan dinamis yang dilahirkan oleh demokrasi itu seharusnya memiliki agenda untuk mengubah peta kemiskinan.

Namun, upaya untuk mewujudkan gagasan ideal ini bukanlah semudah membalik tangan. Mengubah peta kemiskinan melalui peta kekuasaan hanya bisa dilakukan jika terdapat kejelasan ideologis setiap partai politik. Itu artinya, pragmatisme politik (baca: kekuasaan adalah demi kekuasaan itu sendiri) haruslah ditinggalkan. Itu juga berarti bahwa ”koalisi untuk kemuliaan koalisi” haruslah menjadi pantangan politik (political taboo). Pada titik ini, pertanyaan praktis yang harus dijawab oleh setiap politikus adalah bagaimanakah kekuasaan negara itu nantinya diperlakukan oleh politisi untuk mengatasi kemiskinan itu?

Dalam konteks ini, hampir tidak mungkin dibayangkan pengubahan peta kemiskinan tanpa membicarakan seberapa jauh dan seberapa besar intervensi kekuasaan negara itu harus dilakukan. Instrumen untuk melakukan intervensi ini tentu saja berbaku kait dengan kapasitas keuangan negara, seperti APBN, maupun dengan kapasitas badan-badan usaha publik yang dimiliki negara.

Isu besarnya adalah apakah negara akan menjadi maksimalis atau minimalis? Jika pilihan maksimalis diambil, bagaimana dampaknya terhadap besaran APBN (magnitude of the state budget)? Dari manakah dana itu harus diperoleh? Apakah melalui pajak atau melalui pinjaman negara? Demikian juga sebaliknya, jika pilihan minimalis diambil, apakah akan terdapat penjualan aset negara yang lebih besar?

Jika jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti ini tidak dijawab dan dibeberkan kepada publik, kampanye politik dalam alam demokrasi yang saat ini tengah dilakukan hanya akan dipenuhi oleh maraknya jargon politik. Kampanye kemudian tidak hanya sebagai medan bagi selaksa janji, tetapi sekaligus juga akan sangat cepat dipersepsikan oleh publik menjadi medan bagi selaksa dusta.

MAKMUR KELIAT Pengajar FISIP Universitas Indonesia

2009 | 03:14 WIB

Perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan bukanlah untuk kemuliaan kekuasaan itu sendiri. Secara konseptual, kekuasaan adalah instrumen untuk mencapai dua tujuan. Ia dapat digunakan sebagai instrumen untuk perubahan atau sebaliknya sebagai alat untuk melestarikan status quo.

Kalau kita sepakat dengan konseptualisasi seperti ini, demokrasi sebagai mekanisme untuk memperoleh kekuasaan juga tidak luput dari kemungkinan dua tujuan ini. Ia dapat menjadi suatu mekanisme yang melahirkan harapan, tetapi sekaligus dapat mengubah dirinya menjadi ”ibu” keputusasaan.

Pergeseran dari harapan menjadi keputusasaan dalam sistem politik yang demokratis tidaklah terjadi secara otomatis, tetapi dalam suatu proses panjang. Secara hipotetis, ia akan muncul ke permukaan jika peta kekuasaan tergambar sangat dinamis, sedangkan peta kemiskinan terbingkai dalam lukisan statis. Kasus Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir menunjukkan adanya kecenderungan untuk membenarkan kalimat hipotetis ini melalui dua indikasi berikut.

Pragmatisme politik

Pertama, tidak ada satu pun basis kekuatan politik partai yang dapat berkuasa tanpa melakukan koalisi. Kasus kejatuhan pemerintahan Gus Dur, disusul dengan kekalahan Megawati pada Pemilu 2004, dan dilanjutkan oleh SBY melalui pembentukan kabinet ”presidensial dengan gaya parlementer”, kesemuanya memberikan ”pelajaran” betapa dinamisnya peta politik negeri ini. Tidak hanya di tataran nasional, di tingkat lokal situasi serupa bisa juga ditemukan. Beberapa pemilihan kepala daerah telah dilakukan melalui ”koalisi melawan akal sehat”. Dinamika peta koalisi politik yang ”irasional secara ideologis” ini bahkan semakin tinggi pada musim kampanye sekarang. Pembicaraan ”tingkat tinggi” tentang pembentukan koalisi di antara partai-partai tertentu sesungguhnya telah menghilangkan basis perbedaan ideologis di antara mereka.

Secara sekilas pembicaraan ”tingkat tinggi” lintas ”ideologi” untuk pembentukan koalisi itu memang dapat saja menyampaikan pesan bahwa elite partai telah berperilaku sebagai ”negarawan” yang lebih memprioritaskan ”kepentingan rakyat yang lebih luas” daripada kepentingan ideologi partainya. Namun, pada saat yang sama, pola pembentukan koalisi lintas ideologi itu dapat juga menyampaikan pesan yang sangat bertolak belakang. Ia juga merefleksikan pragmatisme politik nonideologis yang sangat luar biasa oleh para elite partai. Dalam upaya mendapatkan kekuasaan, ideologi bagi para elite partai hanyalah hiasan aksesori yang tidak harus terus dipakai.

Kedua, tidak ada perubahan yang sangat mendasar dalam peta kemiskinan kita. Debat tentang seberapa besar jumlah angka kemiskinan sesungguhnya tidak relevan untuk menyatakan peta kemiskinan telah mengalami perubahan di negeri ini. Sesungguhnya, hampir tidak ada peta geografis Indonesia yang tidak luput dari rendahnya kualitas pembangunan manusia. Beberapa wilayah geografis itu, seperti Aceh dan Papua, bahkan memiliki kantong-kantong geografis yang menggambarkan persoalan kemiskinan yang masif.

Laporan resmi tentang target pembangunan milenium yang harus dicapai Indonesia pada 2015 sesungguhnya mengindikasikan perjuangan yang sangat berat untuk mengubah peta kemiskinan ini. Beberapa target itu antara lain menurunkan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah 1 dollar AS per hari menjadi setengahnya. Angka resmi pemerintah untuk jumlah penduduk miskin di bawah 1 dollar AS ini pada 2004 sebesar 36,15 juta.

Selaksa janji dan dusta?

Oleh karena itu, siapa pun yang akan memperoleh kekuasaan melalui Pemilu 2009, mereka akan memiliki beban tanggung jawab yang sangat berat untuk mengubah peta kemiskinan Indonesia dalam lima tahun ke depan. Jika demikian halnya, demokrasi seharusnya tidak sekadar dipahami dalam ukuran bagaimana membuat peta-peta kekuasaan menjadi sangat dinamis. Lebih dari itu, peta-peta kekuasaan dinamis yang dilahirkan oleh demokrasi itu seharusnya memiliki agenda untuk mengubah peta kemiskinan.

Namun, upaya untuk mewujudkan gagasan ideal ini bukanlah semudah membalik tangan. Mengubah peta kemiskinan melalui peta kekuasaan hanya bisa dilakukan jika terdapat kejelasan ideologis setiap partai politik. Itu artinya, pragmatisme politik (baca: kekuasaan adalah demi kekuasaan itu sendiri) haruslah ditinggalkan. Itu juga berarti bahwa ”koalisi untuk kemuliaan koalisi” haruslah menjadi pantangan politik (political taboo). Pada titik ini, pertanyaan praktis yang harus dijawab oleh setiap politikus adalah bagaimanakah kekuasaan negara itu nantinya diperlakukan oleh politisi untuk mengatasi kemiskinan itu?

Dalam konteks ini, hampir tidak mungkin dibayangkan pengubahan peta kemiskinan tanpa membicarakan seberapa jauh dan seberapa besar intervensi kekuasaan negara itu harus dilakukan. Instrumen untuk melakukan intervensi ini tentu saja berbaku kait dengan kapasitas keuangan negara, seperti APBN, maupun dengan kapasitas badan-badan usaha publik yang dimiliki negara.

Isu besarnya adalah apakah negara akan menjadi maksimalis atau minimalis? Jika pilihan maksimalis diambil, bagaimana dampaknya terhadap besaran APBN (magnitude of the state budget)? Dari manakah dana itu harus diperoleh? Apakah melalui pajak atau melalui pinjaman negara? Demikian juga sebaliknya, jika pilihan minimalis diambil, apakah akan terdapat penjualan aset negara yang lebih besar?

Jika jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti ini tidak dijawab dan dibeberkan kepada publik, kampanye politik dalam alam demokrasi yang saat ini tengah dilakukan hanya akan dipenuhi oleh maraknya jargon politik. Kampanye kemudian tidak hanya sebagai medan bagi selaksa janji, tetapi sekaligus juga akan sangat cepat dipersepsikan oleh publik menjadi medan bagi selaksa dusta.

MAKMUR KELIAT Pengajar FISIP Universitas Indonesia

Pemilih yang Bimbang


Survei ini memotret 22,5 persen dari 3.000 responden yang diwawancarai di 33 provinsi belum menentukan pilihan, partai politik apa yang akan dipilih dalam pemilu legislatif, sedangkan 17,5 persen responden masih merahasiakan pilihan politik mereka.

Pemilu 9 April diikuti 38 partai politik nasional dan enam parpol lokal. Jumlah calon anggota legislatif sebanyak 11.219 orang untuk memperebutkan 560 kursi DPR. Pemilu juga diikuti 1.109 calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk memperebutkan 132 kursi DPD.

Selain DPR dan DPD, pemilu diikuti begitu banyak calon anggota DPRD kabupaten/kota untuk memperebutkan 16.270 kursi DPRD dan 1.198 kursi DPRD provinsi. Namun, dalam masa kampanye yang justru lebih menonjol adalah kampanye calon presiden yang baru dilaksanakan Juli.

Seperti terekam dalam pemberitaan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta dukungan rakyat untuk melanjutkan pemerintahannya. Calon presiden dari PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, mengkritik kebijakan bantuan langsung tunai yang sedang dilaksanakan pemerintah yang berkuasa. Capres dari Partai Gerindra, Prabowo, dan capres dari Partai Hanura, Wiranto, mengusung tema kampanye yang lebih dekat dengan pencalonan mereka sebagai presiden. Kampanye calon anggota DPD malah tak terdengar.

Panggung pemilihan presiden memang menarik. Namun, hiruk-pikuk kampanye capres seakan menenggelamkan keseluruhan kampanye pemilu legislatif. Pemilu legislatif adalah untuk memilih wakil rakyat—DPR, DPD, dan DPRD—untuk duduk di parlemen. DPR berfungsi mengawasi pemerintah, menyusun undang-undang, dan menyusun hak budget.

Campur aduknya isu kampanye boleh jadi menjadi salah satu faktor yang menambah kebimbangan pemilih mengenai esensi pemilu legislatif. Kondisi ini tak bisa dilepaskan dari desain sistem pemilu kita yang terus berubah dan belum menemukan bentuknya.

Kebimbangan pemilih menentukan pilihan juga terkait dengan pendidikan politik yang seharusnya diberikan partai politik. Tanpa adanya pendidikan politik mengenai pemilu legislatif, ditambah dengan keruwetan seputar persiapan pemilu, hiruk-pikuk kampanye hanya menambah kepenatan politik pemilih yang pragmatis.

Kita berharap ada upaya signifikan untuk meyakinkan pemilih bahwa memilih adalah tanggung jawab akan demokrasi, meskipun itu adalah hak asasi warga negara. Di masa mendatang perlu ada pemikiran mengenai desain sistem pemilu agar terjadi pemisahan tegas antara pemilu legislatif dan pemilu presiden atau pemisahan pemilu nasional dan pemilu regional. Kajian diperlukan agar kita bisa menemukan demokrasi prosedural yang bisa lebih implementatif untuk menjawab problem riil bangsa.

Mempertanyakan Fungsi Parpol

Pada tahun 1970-an terbit dua buku yang menelanjangi profil anak bangsa. Mochtar Lubis menyebut tak bertanggung jawab, munafik, hipokrit, suka iri, dan seterusnya. Koentjaraningrat bilang mentalitet bangsa ini tidak siap untuk membangun (mental menerabas).

Media massa kemudian dipenuhi opini penolakan terhadap kedua buku itu, Mochtar Lubis dimaki habis. Sebulan polemik di harian Kompas, sampai pemimpin redaksi terpaksa menghentikannya. Tapi, tak satu pihak pun yang menangkap (termasuk pemerintah) bahwa mereka mewartakan sesuatu yang mahapenting.

Benarkah mutu sumber daya manusia bangsa (termasuk di bidang politik) serendah itu? Atau, SDM Indonesia sungguh bermutu tinggi, ukurannya apa, tes IQ, EQ, SQ, atau ada yang lain lagi? Ukuran itu mutlak dibutuhkan untuk membuat perencanaan tepat guna, SDM (man behind the gun) selalu menjadi unsur utama untuk keberhasilan manajemen apa pun.

Perubahan oleh siapa?

Negara ini milik orang banyak, dibutuhkan ukuran. Manipulasi terhadap ukuran SDM akan membuat perencanaan menjadi terlalu elok dan selalu muncul masalah dalam pelaksanaan. Lalu dalam pembahasan selalu mencuat istilah ”seharusnya” begini begitu, dan buntutnya melahirkan kambing hitam kebersamaan. Yang penting bukanlah saya yang salah, soal manajemen dan keberhasilan menjadi tidak penting lagi.

Demikian ulang-berulang, tak ada output yang pantas dicatat dalam sejarah Indonesia selain karya Pendiri Negara dan pejuang TKR/TNI yang mengusir penjajah.

Kini, saat semua calon presiden mengampanyekan ”perubahan”, bangsa bertanya, ”apanya yang akan diubah?” Ternyata tidak satu calon presiden pun yang akan mengubah SDM dan perilakunya. Ini menyedihkan. Terbayang untuk sekian tahun ke depan, manajemen negara ini masih tetap ditangani oleh man behind the gun berkualitas rendah. Kita masih akan bergantung pada SDM (dan manajemen/value/investasi) asing.

Pertanyaan berikut adalah siapa yang harus melakukan perubahan terhadap perilaku manusia Indonesia? Mampukah seorang presiden, atau parpol, atau Tuhan? MPR mewakili utusan golongan, utusan daerah dan parpol/DPR dapat melakukan perubahan dengan bermusyawarah mufakat (UUD 1945). Sedangkan UUD 2002 yang berorientasi pada demokrasi, maka parpol di DPR yang harus mengubah. Bagaimana dengan DPD?

Pada era demokrasi yang diperlihatkan dalam Pemilu 2009, tidak jelas siapa subyeknya. Tidak jelas siapa yang bertanggung jawab terhadap sistem. Parpolkah, presidenkah, KPU-kah, MK- kah, MA-kah, atau manusia jalanan, termasuk golongan putih yang jumlahnya semakin besar? Atau, dibiarkan mengambang agar preman bisa merajalela dan bisa melayani kepentingan asing secara bebas?

Cuma kendaraan politik

Ricuh Pilkada Maluku Utara dan Jawa Timur menjelaskan. Saat Maluku Utara, KPU pusat langsung mengambil alih persoalan yang tak bisa ditangani KPU daerah. Ternyata KPU pusat juga tak mampu, lalu diambil alih MA yang juga gagal, lalu ditangani Menteri Dalam Negeri baru ”bisa selesai”. Rupanya cara itu tak berlaku untuk Jawa Timur, tiba- tiba MK yang menangani. Mana yang akan dipakai, bila pemilu pada 9 April nanti macet?

Tidak terlihat fungsi parpol dalam kasus-kasus pilkada. Lalu, apa fungsi parpol dalam permasalahan bangsa, khususnya pasca-9 April? Saat ini masyarakat melihat parpol seolah cuma kendaraan politik untuk berburu kekuasaan semata. Selebihnya tak ada. Artikulasi terhadap aspirasi rakyat, penjaga ideologi bangsa, pembentuk pemimpin, upaya perbaikan manajemen negara, pendidikan politik, semuanya tidak dirasakan masyarakat.

Pemilu 2009 terjadi dalam kondisi bangsa tanpa nilai, sarat dengan kebencian. Berarti rawan ricuh sampai dengan terjadinya deadlock politik. Istilah deadlock politik harus diadakan agar ada kendali kerawanan untuk mencegah kekagetan politik, tiba-tiba kita sadar, ”lho, negeri ini kok sudah berantakan”. Kekagetan politik pernah terjadi ketika Camdessus bersedekap (sedakep) menyaksikan Soeharto menandatangani perjanjian dengan IMF.

Deadlock politik harus dirumuskan deskripsinya lewat musyawarah antarparpol untuk dimufakati bersama dan dijadikan pegangan oleh seluruh anggota masyarakat. Kebangkitan parpol dalam musyawarah mufakat akan memberikan harapan kepada seluruh rakyat akan masa depan bangsa. Pertama yang harus dibenahi adalah mengubah mental anak bangsa supaya menjadi merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Roch Basoeki Mangoenpoerojo Mantan Sekretaris Balitbang PDI-P (1993-1999)

SURVEI "KOMPAS"


Parpol Berusaha Rebut Suara Pemilih Bimbang
Selasa, 31 Maret 2009 | 02:51 WIB

Jakarta, Kompas - Untuk menjaring suara pemilih yang belum bisa memutuskan pilihan atau masih bimbang pada Pemilu 9 April 2009, Badan Pemenangan Pemilu Pusat Partai Golkar mengimbau calon anggota legislatifnya untuk mengubah strategi kampanye. Selain meningkatkan secara intens kampanye dari pintu ke pintu, caleg juga diminta fokus menyosialisasikan nomor partai dan bukan fokus pada nomor urut caleg saja.

Demikian disampaikan Ketua Harian Bappilu Partai Golkar Firman Soebagyo di Jakarta, Senin (30/3). Ia menanggapi mengenai masih sekitar 40 persen pemilih yang belum bisa menentukan pilihan terhadap partai politik berdasarkan survei Kompas (Kompas, 30/3).

Dengan upaya itu, kata Firman, diharapkan ada tambahan 10 persen suara dari persentase suara yang diperoleh Partai Golkar pada Pemilu 2004, yaitu lebih dari 21 persen.

Secara terpisah, Senin di Kediri, Jawa Timur, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat Anas Urbaningrum mengemukakan, pemilih bimbang (undecided voters) adalah fenomena demokratis yang bisa jadi adalah kumpulan pemilih cerdas. Untuk memikat mereka, partainya menawarkan masa depan dengan melanjutkan hal baik dan menambal kekurangan pemerintah.

Terhadap hasil survei Kompas itu, Partai Demokrat bersyukur karena tengah bertransformasi dari partai menengah menuju partai besar. ”Kami yakin elektabilitas Partai Demokrat karena rakyat percaya,” katanya lagi.

Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Tjahjo Kumolo optimistis hasil akhir perolehan partainya pada Pemilu 2009 lebih besar. Berdasarkan perhitungan partainya, dari 40 persen pemilih yang belum menentukan pilihan itu, banyak yang dapat menyalurkan aspirasi ke PDI-P. Dengan demikian, target perolehan PDI-P pada Pemilu 2009 bisa tercapai, yaitu mendapatkan lebih dari 25 persen suara.

Presiden Partai Keadilan Sejahtera Tifatul Sembiring, secara terpisah, Senin, mengakui, partainya tak terlalu berkecil hati dengan hasil survei. Hasil survei tersebut bukan hasil akhir dan justru dapat dijadikan acuan untuk meningkatkan semangat partainya guna meraih kepercayaan masyarakat yang lebih besar.

Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan Irgan Chairul Mahfiz menyatakan, PPP tetap yakin mampu menjadi satu partai yang unggul dalam Pemilu 2009, dengan memegang teguh basis Islam. Itu sebabnya, PPP akan menginternalisasikan nilai Islam dalam politik, ekonomi, hukum, dan sosial budaya.

Sayuti Asyathri dari Partai Amanat Nasional menyatakan, survei tersebut belum menggambarkan kondisi persaingan yang nyata antartokoh. (har/mzw/sut/ mam/otw/inu)

Senin, 30 Maret 2009

PAN Targetkan 15 Persen Kursi DPR

PAN Targetkan 15 Persen Kursi DPR

SOLO -- Partai Amanat Nasional (PAN) menargetkan 15 persen suara untuk DPR Pusat sehingga partai berlambang matahari ini bisa mencalonkan presidennya sendiri."Kami memang menargetkan 15 persen suara di DPR Pusat. Dengan perolehan ini berarti kami bisa mencalonkan presiden dari kader partai sendiri," kata Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir kepada wartawan seusai kampanye terbuka di Solo, Minggu.

Sutrisno tidak menyebutkan siapa calon presiden pasti dari PAN dengan cukup menyatakan bahwa banyak kader partai ini yang berkualitas memimpin bangsa ini, termasuk dia sendiri."Saya optimistis target suara itu akan terpenuhi, karena PAN sekarang milik semua masyarakat, baik itu Muhammadiyah, Ansor, dan sampai mereka yang pakai rambutnya disemir merah saja bisa masuk partai ini," katanya.

Dia juga mengungkapkan bahwa PAN saat ini terus menjalin hubungan dengan partai-partai lain untuk memudahkan berdialog politik dengan pihak-pihak lain di waktu mendatang."Apabila kita sekarang tidak melakukan lobi-lobi nanti kita bisa kesulitan menjalin hubungan, maka sekarang juga terus dilakukan, baik dengan Ibu Megawati Soekarnoputri, Yusuf Kalla, Susilo Bambang Yudhoyono dan lain-lain," katanya seraya menegaskan posisi PAN netral.

Dia menilai jika para elite terus melakukan gerakan berkubu-kubu, maka itu malah akan memecah belah rakyat yang akhirnya berakibat kurang baik bagi bangsa.Dia menjajikan, jika PAN menang dalam Pemilu, 10 persen dari APBN (Rp100 triliun) akan dialokasikan untuk pedesaan, dalam upaya mengembangkan perekonomian daerah dan mencegah larinya aset daerah ke perkotaan atau ke luar negeri menjadi TKI.ant/kpo

Janji Kampanye dan Kaum Marjinal


Senin, 30 Maret 2009 | 04:17 WIB

Di banyak negara berasas demokrasi, kampanye menjadi musim elite politik membuat janji bagi kaum marjinal, di antaranya petani, pedagang pasar, pegawai kecil, dan perempuan.

Ada dua penyebab utama. Pertama, demokrasi dengan one man one vote menempatkan tiap individu dari kaum marjinal sama pentingnya dengan pemilih dari kelas menengah dan elite. Kedua, bahkan untuk pemilih kelas menengah, terdidik, dan elite, keberpihakan kepada kaum marjinal merupakan jualan (selling preposition) yang menarik.

Di negara-negara maju, seperti Eropa, para kandidat selalu menunjukkan keberpihakan kepada sektor pertanian. Untuk publikasi di media, mereka kerap berfoto bersama hewan ternak. Kebijakan proteksionis terhadap sektor pertanian menjadi hal lumrah di negara-negara tersebut, juga di Jepang dan Amerika Serikat (Johnson, 1985, dan Cochrane, 1979).

Kaum marjinal memiliki arti penting dalam proses politik Indonesia. Presiden Soekarno bisa berkuasa selama 21 tahun karena dukungan yang mengakar dan tak tertandingi dari kaum marjinal yang sering dijuluki sebagai Kaum Marhaen. Dalam buku (Warisan) Daripada Soeharto, Presiden Soeharto memiliki rasa percaya diri lebih menghadapi para oposan dan lawan politiknya setelah melihat—dalam kunjungan ke desa-desa di Pulau Jawa—kebijakan pemerintahannya berjalan baik.

Dalam demokrasi langsung, arti penting kaum marjinal makin kentara. Dengan menggunakan proksi tenaga kerja di sektor pertanian, jumlahnya 40-50 juta orang. Kaum miskin berdasarkan garis kemiskinan Badan Pusat Statistik 33-38 juta dan dengan standar penghasilan 2 dollar AS per orang per hari mencapai 100 juta orang. Itulah sebabnya kampanye partai politik dalam Pemilu 2009 mengangkat harga bahan pokok, nasib petani, dan ketahanan pangan sebagai isu utama.

Kaum marjinal di Indonesia memiliki dua karakteristik penting yang memengaruhi perilaku dalam merespons kampanye politik. Pertama, kelompok ini relatif tidak terorganisasi atau terfragmentasi.

Ini berbeda dengan situasi di Amerika Latin di mana kaum marjinal jauh lebih terorganisasi karena jauh lebih besarnya kesenjangan, baik dalam pendapatan maupun kepemilikan aset. Juga, di negara-negara kawasan tersebut, terjadi segregasi etnis yang kentara, misalnya peminggiran suku Indian di Bolivia yang pada akhirnya memunculkan Evo Morales sebagai presiden terpilih.

Kedua, perilaku kaum marjinal terfokus pada pemenuhan kebutuhan ”segera” dan kebutuhan pokok. Itulah sebabnya tema janji kampanye selalu mengangkat redistribusi pendapatan dan aset bagi kaum marjinal melalui aneka kebijakan ”jika terpilih”.

Miskin mandat

Daya tawar kaum marjinal turun drastis tepat setelah kandidat—baik legislatif maupun eksekutif—terpilih. Ini karena one man one vote hanya berlaku dalam pemilu dan tidak berlanjut dalam pengambilan kebijakan. Tingginya biaya transaksi politik antarelite di Indonesia, misalnya karena kerancuan sistem presidensial, membuat kaum marjinal menjadi tak penting, bahkan tereksklusi.

Ini juga didukung oleh kemungkinan salah pilih karena adanya informasi yang tidak simetris antara kaum marjinal dan kandidat. Para kandidat dengan mudah memiliki informasi tentang kaum marjinal, misalnya melalui survei. Sebaliknya, kaum marjinal akan memilih berdasarkan ”citra” kandidat karena itulah satu-satunya indikator penilaian yang ada.

Persoalan lain adalah minimnya insentif bagi kandidat untuk memenuhi janji kampanye. Praktis, hanya bagi presiden terpilih insentif tersebut relatif besar karena pemilih akan mengasosiasikan kualitas kehidupan mereka dengan kinerja presiden. Itu pun ada masalah serius dalam bagaimana mengukur kesuksesan seorang presiden dari perspektif kaum marjinal.

Mantan CEO Ford dan Chrysler Lee Iacocca dalam bukunya, Where Have All the Leaders Gone, menyebutkan, buruknya era pemerintahan Bush salah satunya karena tidak ada target capaian yang jelas.

Di negara berkembang, seperti Indonesia, sulit menagih janji maupun kontrak politik para politisi. Gagasan LSM-LSM menuntut pemerintahan Yudhoyono- Kalla karena tidak mampu memenuhi target pengurangan kemiskinan, miskin mandat dari kaum marjinal itu sendiri. Ini terkait dengan tidak terorganisasinya kaum marjinal sehingga hampir mustahil melakukan aksi kolektif dan terpenuhinya kebutuhan segera mereka melalui aneka program sosial, terutama yang bersifat karitatif.

Jalan keluar dari masalah ini adalah meningkatkan kompetisi antarkandidat dengan tampilnya banyak politisi berkualitas yang tak hanya berkomitmen dan mempunyai visi, tetapi juga memiliki keterampilan menarik pemilih. Dengan persaingan, ada ”kewajiban” bagi para politisi untuk menepati janji kampanye.

Nyatanya, kita tak bisa mendelegitimasi elite politik yang dianggap tidak kompeten, tanpa adanya alternatif pilihan. Bagaimanapun, rakyat harus tetap punya wakil dan negara tetap butuh pemimpin.

Tata Mustasya Sedang Belajar di University of Turin dan ITC-ILO

Menakar Tingkat Partisipasi Pemilih


Senin, 30 Maret 2009 | 04:12 WIB

Rendahnya tingkat partisipasi pemilih belakangan menjadi persoalan yang kerap terjadi dalam berbagai ajang kontestasi politik di negeri ini. Bahkan, dalam berbagai pemilihan kepala daerah lalu, proporsi pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya jauh melebihi perolehan suara pemenang. Dalam Pemilihan Umum 2009, masihkah persoalan yang sama terulang? SUWARDIMAN

Selama satu dekade terakhir, antusiasme pemilih untuk berpartisipasi dalam pemilu mengalami penurunan tajam. Pemilu pertama setelah jatuhnya rezim Orde Baru, misalnya, masih tercatat 92,7 persen pemilih yang menggunakan hak pilihnya. Terlihat benar antusiasme masyarakat saat itu. Namun, pada pemilu berikutnya pada tahun 2004, tingkat partisipasi melorot jadi 84,1 persen.

Ironisnya, penurunan tingkat partisipasi ini berlanjut pada pemilihan umum presiden dan berbagai ajang pilkada yang menerapkan sistem one man one vote. Sistem ini menempatkan setiap suara pemilih menjadi begitu berharga dalam perekrutan pemimpin yang akan menduduki kursi pemerintahan. Pada pemilu presiden putaran pertama, pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya sebesar 21,8 persen. Jumlah tersebut kembali melonjak menjadi 23,4 persen pada putaran kedua.

Kurang diminati

Setelah peristiwa ini, kecenderungan turunnya antusiasme masyarakat semakin jelas terlihat saat pemilihan kepala daerah periode 2005-2008. Jika dirata-ratakan dari angka partisipasi di 28 pemilihan gubernur yang telah berlangsung, tidak kurang dari dua pertiga bagian pemilih yang menggunakan haknya. Sedikitnya, sembilan penyelenggaraan pemilihan gubernur hanya diramaikan oleh kurang dari 65 persen pemilih terdaftar. Minimnya partisipasi masyarakat untuk datang ke tempat pemungutan suara, misalnya, sungguh jelas terlihat saat Pemilihan Gubernur Jawa Timur. Pada putaran pertama pilkada di Jawa Timur hanya diramaikan oleh 61,7 persen pemilih. Adapun pada putaran kedua, yang dimenangi oleh pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf, partisipasinya semakin melorot, dengan catatan 54,3 persen pemilih saja yang memberikan suara.

Analisis terhadap partisipasi pemilih di tingkat yang lebih kecil lagi, ajang pilkada kabupaten dan kota yang terselenggara sepanjang tahun 2005-2008, semakin menegaskan bahwa pemilu tidak terlalu diminati masyarakat. Dari 340 kabupaten dan kota, hanya 103 wilayah yang didukung oleh lebih dari 80 persen pemilih. Mayoritas, sebagaimana yang terjadi di 138 daerah, hanya diminati oleh 75 persen hingga 80 persen pemilih saja. Bahkan terdapat 49 daerah yang tingkat partisipasinya di bawah 65 persen! Tidak heran jika jumlah yang tidak berpartisipasi dalam pilkada melebihi proporsi suara yang diraih para pemenang pemilu. Di Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara, misalnya, pemenang pemilu meraih 28,1 persen suara. Padahal, 44,6 persen pemilih tidak menggunakan hak pilihnya. Kondisi serupa terjadi di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, yaitu tercatat 39,8 persen penduduk tidak menggunakan hak pilih. Pemenang di kabupaten ini hanya meraih 34,4 persen suara.

Menyusutnya partisipasi pemilih, terlebih berlangsung pada pilkada kabupaten dan kota semacam ini sangat mengkhawatirkan. Padahal ajang pemilihan bupati/wali kota ini menjadi momentum bagi rakyat untuk menentukan pemimpin pemerintahan yang akan membuat kebijakan-kebijakan yang secara langsung memengaruhi kehidupan mereka. Persoalannya kemudian, apakah persoalan semacam ini berulang dalam Pemilu 2009 ini? Jika demikian yang terjadi, makna dan manfaat pemilu di era reformasi pupus sudah.

Bibit penolakan

Hasil survei tatap muka yang dilakukan oleh Litbang Kompas terhadap 3.000 masyarakat di seluruh Indonesia menunjukkan terbukanya potensi partisipasi pemilih yang rendah. Kondisi demikian terungkap dari proporsi mereka yang sejak awal menyatakan tidak akan mengikuti pemilu dan proporsi mereka yang belum jelas memilih ataupun yang belum punya pilihan politik. Keseluruhan responden yang dimintai pendapatnya, sebanyak 60,6 persen telah menyatakan pilihan politiknya secara terbuka. Tercatat pula sebanyak 16,9 persen yang enggan mengungkapkan pilihan politik mereka. Sisanya (22,5 persen) terbagi atas kalangan yang secara terang-terangan tidak ingin mengikuti pemilu dan kalangan yang hingga saat ini masih belum tahu apa yang harus mereka lakukan dalam pemilu ini. Bagaimanapun, kedua kelompok pemilih terakhir inilah yang menyimpan potensi rendahnya partisipasi dalam pemilu kali ini.

Jika ditelisik dari sisi jenjang usia, hasil survei menunjukkan antusiasme yang cenderung tinggi justru ditunjukkan oleh kalangan yang tergolong baru mengikuti pemilu. Tidak kurang dari sekitar 71 persen responden kelompok usia 17-22 tahun telah menyatakan siap dengan pilihannya. Namun, bagi kalangan yang berusia relatif lebih tua (di atas 36 tahun), yang telah berkali-kali mengikuti pemilu, antusiasme tersebut justru semakin rendah, tercatat 58 persen.

Berbagai alasan terungkap dari mereka yang tidak ataupun belum menyatakan pilihan politiknya. Dari kelompok yang sejak dini telah menyatakan tidak akan menggunakan hak pilihnya, keputusan untuk tidak berpartisipasi didasarkan pada dua alasan utama. Pertama, kendala teknis sehingga membuat mereka enggan menuju bilik suara. Ini dinyatakan oleh tidak kurang dari 59 persen responden. Beragam alasan teknis yang diungkapkan, mulai dari nama yang tidak terdaftar, persoalan jarak, hingga alasan lebih mengutamakan kegiatan lain pada saat pemilu berlangsung.

Kedua, tercatat pula sebesar 40 persen responden dari kelompok ini yang menyatakan berbagai alasan yang cenderung bersifat ideologis. Alasan-alasan itu antara lain tak akan memilih partai atau calon mana pun karena merasa tidak percaya terhadap partai politik dan merasa tidak bermanfaat atas apa yang dipilihnya. Salah satu faktor yang dijadikan alasan adalah rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik dan buruknya citra elite parpol. Berbagai kasus hukum dan korupsi yang melibatkan anggota DPR, misalnya, mendorong meningkatnya persepsi buruk publik terhadap para elite politik. Perilaku para elite inilah yang memupus kepercayaan masyarakat yang telah memilih mereka. Hasil jajak pendapat Kompas selama tiga tahun terakhir bisa menjadi ilustrasi meningkatnya persepsi buruk publik terhadap DPR ataupun partai politik. Pada tahun 2005 hasil jajak pendapat Kompas mencatat publik yang menaruh persepsi buruk terhadap lembaga DPR sebesar 58 persen. Tiga tahun kemudian, yaitu tahun 2008, persepsi buruk publik terhadap DPR meningkat menjadi 81 persen.

Selain kalangan yang memang secara sadar telah menyatakan tidak akan memilih, patut pula dicermati bagi mereka yang hingga saat ini belum menyatakan pilihan politiknya. Dari aspek wilayah, misalnya, proporsi mereka yang tinggal di kawasan perkotaan yang belum memutuskan pilihannya jauh lebih besar dibandingkan dengan mereka yang bermukim di pedesaan. Dalam kelompok ini, persentase mereka yang berpendidikan rendah pun jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang berpendidikan tinggi. Pada pemandangan lain, kecenderungan lebih banyaknya responden perempuan yang belum memutuskan pilihan politiknya dibandingkan dengan mereka yang berjenis kelamin laki-laki terjadi. Ketiga karakteristik ini, pemilih perkotaan pendidikan rendah, dan perempuan, dapat dipandang dalam dua hal, yaitu masih terdapatnya peluang bagi partai politik untuk meluaskan penetrasinya dalam waktu yang singkat ini. Atau, kelompok ini amat potensial menyumbangkan semakin rendahnya partisipasi pemilih dalam Pemilu 2009. Jika yang terakhir terjadi, bisa jadi suara pemenang pemilu DPR kali ini sebenarnya terkalahkan oleh mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya. (LITBANG KOMPAS)

Loyalitas Berbasis Kewilayahan


Senin, 30 Maret 2009 | 04:24 WIB

Bambang Setiawan

Munculnya Partai Demokrat ke papan atas politik nasional diperkirakan akan banyak mengubah konfigurasi kekuatan berbasis kewilayahan. Kantong-kantong loyalitas partai-partai besar pun terancam.

Partai Golkar, sebagai partai yang pernah berkuasa selama enam pemilu (1971-1997), kini tidak lagi berhadapan dengan satu kekuatan besar Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), tetapi juga kekuatan PD yang diprediksi akan memenangi pemilu dan memperlebar wilayah kekuasaannya.

Pada pemilu terakhir masa Orde Baru, Golkar berada di puncak kekuasaannya dengan memenangi 307 dari 309 wilayah kabupaten/kota dan hanya menyisakan dua wilayah yang dimenangi partai lain. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hanya menang di Pekalongan dan Kabupaten Pasuruan, sementara Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sama sekali tidak memenangi satu wilayah pun.

Meski tertutup oleh penguasaan tunggal partai pemerintah, sejumlah wilayah sudah mulai menunjukkan tanda-tanda ”pemberontakan” terhadap hegemoni Golkar, dan menunjukkan kesetiaan kepada jalur politik mereka. Bayang-bayang itu sangat tampak di 51 wilayah yang perolehan suara pesaingnya mendekati hasil perolehan Golkar. PPP tampak jelas membayangi Golkar di 50 wilayah, bahkan di beberapa wilayah sangat mendekati perolehan Golkar.

Di wilayah Aceh, suara PPP paling mendekati Golkar di Kabupaten Aceh Besar, Aceh Utara, dan Kota Banda Aceh. Di Jakarta, partai berbasis massa Islam itu juga mendekati suara Golkar di Kodya Jakarta Selatan dan Kodya Jakarta Timur. Di Jawa Tengah, Kabupaten Demak, Pekalongan, Jepara, Magelang, Bantul, serta Kota Yogyakarta menjadi wilayah dengan dukungan yang cukup besar bagi PPP. Sementara itu, di wilayah Jawa Timur, Kabupaten Sidoarjo, Jombang, Sampang, Pamekasan, Bangkalan, Bondowoso, Situbondo, Banyuwangi, Probolinggo, Kota Surabaya, Kota Malang, Kota Pasuruan, dan Kota Probolinggo menjadi kekuatan PPP yang membayangi Golkar. Selain di Jawa dan Aceh, kekuatan PPP juga tampak nyata di Kalimantan Selatan, khususnya Kota Banjarmasin.

Perubahan penguasaan

Terbukti kemudian, dalam pemilu pascalengsernya kekuasaan Orde Baru, Pemilu 1999, PPP menang di lima wilayah Aceh dengan menguasai beberapa wilayah, seperti Aceh Besar, Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Tengah, dan Simeulue. Bahkan ia berhasil menang di Lima Puluh Koto dan Padang Pariaman (Sumatera Barat). Di Jawa Tengah, Kabupaten Jepara dimenanginya dan di Jawa Timur PPP merebut Pamekasan. Selain itu, PPP juga menang di Hulu Sungai Utara (Kalimantan Selatan) dan Maluku Tengah.

Meski menunjukkan perkembangan yang cepat, pada pemilu tersebut PPP terpaksa harus berbagi dengan partai-partai Islam lainnya. Kemunculan PKB dan PAN dengan serta-merta mengganjal potensi PPP untuk melejit di wilayah-wilayah basis massa Islam. Wilayah Jawa Timur dengan cepat beralih mendukung PKB dan menjadi basis yang loyal terhadap partai ini sampai dengan Pemilu 2004.

Meskipun bagi PPP kondisi banyaknya partai Islam membuat potensinya meraih suara besar menjadi terhambat, secara keseluruhan suara yang diberikan oleh pemilih kepada partai-partai Islam meningkat signifikan, dari 22,4 persen pada tahun 1997 menjadi 37,5 persen pada Pemilu 1999. Setelah pemilu tersebut suara untuk partai-partai Islam tampaknya mulai stabil, hanya naik sedikit menjadi 38,3 persen suara.

Sungguh pun naik, penguasaan partai-partai bernuansa Islam tidak berjalan seiring dengan penguasaan wilayah. Penguasaan wilayah tetap berada di dua partai besar, Golkar dan PDI-P. Kedua partai ini menguasai 89,4 persen dari 313 wilayah kabupaten/kota dalam Pemilu 1999. Selebihnya diperebutkan PPP, PKB, dan PAN. Euforia reformasi telah memindahkan sebagian wilayah kemenangan Golkar kepada PDI-P. Kemenangan Golkar merosot drastis dari 99,4 persen wilayah pada Pemilu 1997 menjadi hanya 36,4 persen wilayah kabupaten/kota saja. Sebaliknya, PDI-P yang sekian periode pemilu tidak menunjukkan kekuatannya tiba-tiba menjadi pemenang yang merebut 166 (53 persen) wilayah.

Basis massa pendukung PDI-P dalam pemilu tersebut adalah Pulau Jawa dan Bali. Di Pulau Jawa, PDI-P menguasai 80,9 persen dari 110 kabupaten/kota, dan di Bali bahkan 100 persen wilayah dimenanginya. Sebaliknya, Golkar lebih menguasai Pulau Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara.

Dalam pemilu berikutnya, kedua partai ini tetap menguasai kemenangan wilayah. Dari 32 provinsi, Golkar dan PDI-P menguasai kemenangan di 30 provinsi dalam Pemilu 2004. Hanya dua daerah yang dimenangi oleh partai berbasis massa Islam, yaitu PKS (Jakarta) dan PKB (Jawa Timur). Selebihnya didominasi oleh Golkar dan PDI-P. Padahal, pada Pemilu 1955 dominasi partai nasionalis hanya di dua (Jawa Tengah dan Bali-Nusa Tenggara Barat) dari 15 daerah pemilihan.

Di tingkat kabupaten/kota, perebutan wilayah lebih memperlihatkan dinamikanya. Golkar dengan segera mampu bangkit dengan merebut kembali wilayah-wilayah yang diambil PDI-P pada pemilu sebelumnya. Dalam Pemilu 2004, Golkar mampu meraih 271 wilayah (61,6 persen) dari 440 kabupaten/kota dan hanya menyisakan 89 daerah (20,2 persen) bagi PDI-P. Sisanya, direbut oleh partai-partai papan menengah dan kecil, seperti PKB, PPP, PAN, PKS, Demokrat, PBB, PBR, PDS, PDK, PIB, PKPI, dan PPD.

Loyalitas wilayah

Pemilu 2004 telah memetakan wilayah-wilayah yang cenderung tetap konsisten dengan pilihan partai politik dan yang cenderung berubah. Dari 440 kabupaten/kota, 59,8 persen merupakan wilayah yang loyal, tetap dimenangi oleh partai tertentu pada pemilu sebelumnya. Selebihnya, 40,2 persen, merupakan wilayah yang cenderung gampang berubah atau wilayah mengambang.

Golkar menjadi partai yang mampu mempertahankan loyalitas dibandingkan dengan partai pesaingnya, PDI-P. Partai berlambang beringin itu menguasai kembali 180 daerah yang telah dimenanginya pada pemilu sebelumnya (1999). Perubahan hanya terjadi di 26 daerah, yang direbut partai-partai lain. Sebaliknya, PDI-P hanya mampu mempertahankan 92 daerah kabupaten/kota yang dikuasainya dalam pemilu sebelumnya.

Pemilu 2009 diperkirakan akan mengubah cukup banyak konfigurasi geopolitik, terutama dengan menguatnya Partai Demokrat yang diprediksi menduduki papan atas kekuatan politik. Apabila ini terjadi, kesetiaan wilayah akan diuji, apakah masih ada loyalitas yang dipertahankan atau tidak.

(BAMBANG SETIAWAN/ Litbang Kompas)

Pemilu Legislatif


Masalah dalam Penghitungan Kursi DPR
Senin, 30 Maret 2009 | 04:15 WIB

Penghitungan perolehan kursi dan penetapan calon terpilih anggota DPR hasil Pemilu 2009 tidak lagi sama dengan pemilu sebelumnya. Terdapat berbagai varian teknis ”baru” yang mesti dimasukkan dalam penghitungan perolehan kursi anggota DPR.

Yang pertama, soal ketentuan parliamentary threshold (PT) yang ditetapkan sebesar 2,5 persen total suara nasional. Dengan ketentuan ini, parpol yang total perolehan suaranya tidak mencapai 2,5 persen total suara sah hasil pemilu legislatif tak akan disertakan dalam tahap penghitungan perolehan kursi DPR di seluruh daerah pemilihan.

Artinya, perolehan suara semua parpol peserta Pemilu 2009 di 77 daerah pemilihan harus direkapitulasi terlebih dulu untuk menentukan parpol mana saja yang berhak memperebutkan kursi di sebuah dapil. Perolehan sebuah parpol, sekecil apa pun, akan memengaruhi komposisi keseluruhan perolehan suara parpol secara nasional.

Berdasarkan BPP

Rumusan penghitungan tahap pertama standar, yaitu membagikan kursi kepada parpol yang perolehan suaranya melampaui bilangan pembagi pemilihan di sebuah dapil. BPP ditetapkan sebagai hasil pembagian total perolehan suara parpol yang melampaui PT dengan jumlah kursi DPR yang diperebutkan di dapil bersangkutan.

Yang potensial bermasalah adalah ketentuan berikutnya, dalam hal masih ada sisa kursi DPR yang belum terbagi dalam penghitungan tahap pertama. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 menyebutkan, jika masih ada kursi tersisa, kursi itu dialokasikan kepada parpol yang memperoleh suara minimal 50 persen BPP. Klausul tersebut potensial salah dimengerti.

Prinsip dasar yang mengemuka dalam pembahasan RUU Pemilu, kursi tahap kedua ini diberikan kepada parpol yang perolehan suaranya mencapai 50 persen BPP. Wacana yang mengemuka saat itu, sisa kursi tak boleh dengan gampang diberikan kepada parpol yang hanya mengandalkan sisa suara. Tidak adil jika parpol yang suaranya berlipat-lipat ketimbang parpol lain memperoleh kursi yang sama dengan parpol yang memperoleh kursi dari sisa suara.

Contoh yang mencolok untuk kasus ini adalah perolehan kursi DPR hasil Pemilu 2004 untuk Dapil Maluku Utara.

Klausul dalam UU No 10/2008 dimaksudkan untuk ”mencegah” sebuah parpol menarik keuntungan dengan bermodalkan suara yang pas-pasan. Dengan tahapan penghitungan suara yang diatur UU No 10/2008, prioritas pertama diberikan kepada parpol yang perolehan suaranya melampaui BPP. Berikutnya, prioritas pada parpol yang perolehan suaranya mencapai 50 persen BPP. Berikutnya, parpol yang perolehan suaranya tak mencapai 50 persen BPP hanya akan berharap memperoleh limpahan sisa kursi DPR yang ditarik ke tingkat provinsi.

Namun dalam rumusan KPU di atas, penghitungan tahap kedualah yang layak diperdebatkan. Klausul ala KPU, parpol yang telah memperoleh kursi pada tahap pertama, hanya sisa suaranya yang melebihi 50 persen BPP yang dimasukkan dalam penghitungan tahap kedua. Jika tidak, sisa suara itu akan ditarik ke provinsi memperebutkan sisa kursi, kalau masih ada.

Jika merujuk ”semangat awal” dalam pembahasan RUU Pemilu, ada celah ketidaksinkronan. Penghitungan ala KPU tersebut kemungkinan tidak ”memproporsionalkan” perolehan kursi dengan perolehan suara. Bisa saja terjadi, sebuah parpol yang memperoleh 140 persen BPP memperoleh kursi yang sama dengan parpol yang hanya mendapatkan 51 persen BPP, padahal perolehan suaranya nyaris satu berbanding tiga. Implementasi ketentuan tahap kedua itulah yang luput disimulasikan secara detail.

Dalam berbagai kesempatan, Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary kerap meminta semua pihak tidak berandai-andai menyangkut penyelenggaraan Pemilu 2009. Namun, tanpa simulasi memadai dan penjelasan utuh kepada semua parpol, tata cara penghitungan ini potensial menjadi persoalan. (SIDIK PRAMONO)

Masyarakat Kecewa terhadap Partai Politik
Senin, 30 Maret 2009 | 03:49 WIB

Jakarta, Kompas - Kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang dihadapi masyarakat dari hasil pemilihan umum sebelumnya membuat pilihan sebagian besar masyarakat terhadap partai politik belum nyata menjelang pemungutan suara pemilu legislatif pada 9 April 2009.

Kampanye rapat umum yang sudah berlangsung dua minggu terakhir diyakini tidak akan mampu mendongkrak jumlah warga yang telah memiliki pilihan politiknya sendiri.

Demikian diungkapkan guru besar ilmu politik Universitas Airlangga Surabaya, Kacung Marijan, dan peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Indria Samego, saat dihubungi secara terpisah di Jakarta, Minggu (29/3).

Survei opini publik yang dilakukan Litbang Kompas terhadap 3.000 pemilih pada 554 desa/kelurahan se-Indonesia pada 20 Februari-3 Maret dengan batas toleransi kesalahan 1,8 persen menunjukkan, sebanyak 39,4 persen responden belum nyata pilihannya. Mereka terdiri dari 22,5 persen responden yang memang belum memiliki pilihan parpol dan 16,9 persen responden yang tidak menjawab atau menyatakan pilihannya sebagai rahasia.

Calon pemilih yang belum nyata pilihannya itu sebagian besar terdistribusi pada kelompok umur 23-35 tahun dan di atas 36 tahun, masing-masing sebesar 38,2 persen dan 41,8 persen. Kelompok pemilih tersebut sebagian besar berpendidikan SD-SMP sebanyak 41,8 persen.

Menurut Kacung, survei itu menunjukkan distribusi pemilih yang belum nyata pilihannya itu merupakan orang-orang yang pernah mengikuti pemilu sebelumnya minimal satu kali. Hal itu menandakan adanya kejenuhan dan kekecewaan pemilih kepada partai politik dan para elitenya dari pemilu sebelumnya. Karena itu, mereka menangguhkan sementara pilihannya.

”Sebelumnya, mereka berharap ada perubahan signifikan dalam presentasi politik dari pemilu, termasuk kebijakan yang menguntungkan mereka. Tapi faktanya, kebijakan yang ada tidak terlalu bermakna,” kata Kacung.

Bisa golput

Mereka yang pilihannya belum nyata itu, lanjut Kacung, bisa tidak menggunakan haknya atau menjadi golongan putih pada pemungutan suara 9 April. Tetapi mereka akan menjadi kelompok golput yang sadar, bukan akibat ikut-ikutan ataupun kesalahan administrasi pemilu.

Kelompok ini dapat juga menggunakan hak pilihnya. Parpol yang akan menjadi pilihan kemungkinan adalah parpol besar yang pernah ikut pemilu sebelumnya, tetapi bukan menjadi pilihan sebelumnya atau parpol alternatif lain yang dianggap mampu memberikan harapan.

Indria menambahkan, pemilih yang belum nyata pilihannya dan memilih menggunakan haknya baru akan menentukan pilihannya saat di tempat pemungutan suara. Pilihan mereka akan didasarkan pada hal-hal yang bersifat pragmatis. Hal ini akan menguntungkan parpol dan calon anggota legislatif yang terkenal walau platformnya tidak jelas.

Karena itu, iklan di media massa dan politik uang menjelang pemungutan suara akan sangat memengaruhi pilihan mereka. Kampanye rapat umum tidak akan menambah tingkat pengenalan pemilih terhadap parpol peserta pemilu. Pemilih diyakini tidak memiliki referensi lebih dari 10 parpol dari 38 parpol nasional peserta pemilu.

Menurut Indria, kampanye rapat umum yang digelar dua minggu terakhir tidak akan mengurangi secara signifikan jumlah pemilih yang belum nyata pilihannya. Kampanye rapat umum hanya dimanfaatkan secara optimal hanya oleh parpol yang memiliki dukungan dana besar saja.

”Ada kesenjangan besar antara persepsi massa yang hadir dalam kampanye terbuka dan persepsi elite politik,” katanya menambahkan.

Sikap masyarakat itu timbul karena elite parpol hanya menyapa masyarakat menjelang pemilu. Selama lima tahun sebelumnya, ataupun masa kampanye terbatas sejak sembilan bulan lalu, hanya gambar elite parpol itu yang dapat dijumpai masyarakat.

Hanya 20 persen

Hal senada dilontarkan Direktur Eksekutif CIRUS Surveyors Group Andrinof A Chaniago di Jakarta, Sabtu (28/3). Menurut Andrinof, jumlah pemilih yang punya ikatan kuat dengan parpol hanya berkisar 20 persen.

Namun, Andrinof juga menilai faktor parpol dan caleg yang terlalu banyak membuat pemilih butuh waktu lebih lama menentukan pilihan. Mereka yang dibuat bingung karena terlalu banyak pilihan ini termasuk kelompok pemilih yang belum memastikan pilihannya (undecided voters).

Pada Pemilu 2009, rakyat pun dibingungkan oleh keramaian pesan-pesan kampanye yang tidak bermutu dari parpol yang terlalu beragam. ”Mereka akan menunggu penampilan parpol dan tokoh-tokohnya,” sebut Andrinof.

Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari secara terpisah menilai, besaran pemilih yang belum memutuskan pilihannya itu bergantung pada survei yang dijadikan rujukan. Survei Indo Barometer awal sampai pertengahan Maret menunjukkan, pemilih yang belum menetapkan pilihan tinggal sekitar 5 persen. Survei dilakukan dengan surat suara simulasi yang mirip dengan surat suara yang bakal digunakan 9 April mendatang.

Merujuk pada data tersebut, Qodari menilai masyarakat sebenarnya sudah memiliki pilihan.

Qodari justru mengkhawatirkan tingkat partisipasi pemilih yang tidak bakal setinggi yang diharapkan.

Pemicunya antara lain soal pendaftaran pemilih yang tidak akurat. Yang juga layak dikhawatirkan adalah soal perbedaan persepsi sah-tidaknya pemberian suara antara petugas di tempat pemungutan suara, saksi dari peserta pemilu, dan masyarakat.

Hal itulah yang berpotensi menimbulkan konflik besar di seluruh wilayah Indonesia. ”Dengan jumlah TPS mencapai 519.000, ini bisa jadi tawuran nasional,” kata Qodari. (MZW/DIK)

Partai Papan Atas Sulit Disaingi
Senin, 30 Maret 2009 | 03:58 WIB

Jakarta, Kompas - Mendekati hari pemungutan suara, proporsi calon pemilih yang belum memutuskan pilihan politik mereka (undecided voters) masih cukup besar. Apabila tidak terdapat perubahan berarti yang mampu memastikan keyakinan pilihan politik, kemungkinan besar kelompok ini tidak menggunakan hak pilihnya. Bestian Nainggolan/Litbang Kompas-

Kesimpulan demikian menjadi salah satu temuan survei opini publik yang dilakukan Litbang Kompas di 33 provinsi pada 20 Februari-3 Maret 2009. Survei yang menjaring 3.000 responden di kawasan perkotaan maupun pedesaan ini secara khusus diselenggarakan untuk mengamati perilaku para pemilih menjelang pemilihan umum legislatif pada 9 April 2009.

Masih cukup besarnya calon pemilih yang belum memutuskan pilihan politik mereka itu tampak dari sekitar 22,5 persen responden yang mengaku “tidak tahu” terhadap pilihan politik yang akan mereka ambil pada saat pemilu mendatang.

Selain itu, terdapat pula 16,9 persen responden yang masih merahasiakan pilihan politik mereka.

Pemilu legislatif diikuti 38 partai politik nasional dan enam partai politik lokal di Aceh serta 11.219 calon anggota legislatif untuk DPR. Selain anggota DPR, pemilu 9 April juga akan memilih anggota DPRD provinsi, DPRD kota/kabupaten, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Bagi pemilih di DKI Jakarta, mereka hanya memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD provinsi.

Sebaliknya, hasil survei juga menunjukkan terdapat sekitar 60,6 persen responden yang telah menentukan pilihan politik mereka.

Jika ditelusuri, dari sedemikian besar responden yang belum menentukan pilihannya itu, hampir separuh bagian adalah mereka yang sejak dini memilih tidak akan berpartisipasi dalam pemilu kali ini.

Ada beragam alasan yang menyertai keputusan tersebut, di antaranya kendala teknis yang sejak awal membuat mereka enggan hadir di bilik suara pemilu. Nama yang belum terdaftar, jarak tempuh ke tempat pemungutan suara, dan rencana untuk bepergian ataupun memprioritaskan kegiatan lain selain pemilu menjadi alasan ketidakikutsertaan mereka.

Di samping alasan yang bersifat teknis tersebut, terdapat pula kelompok responden yang enggan menggunakan hak pilih didasarkan pada alasan ketidakpercayaan kepada partai politik atau pemilu itu sendiri.

Selain kelompok yang sejak dini telah menyatakan tidak ikut pemilu, terdapat pula responden yang memang belum menjatuhkan pilihan politiknya. Kelompok demikian tergolong berpotensi tidak mengikuti pemilu. Dikatakan demikian karena hingga saat survei dilakukan, kelompok ini sama sekali masih belum tahu apa yang akan mereka pilih atau apa yang mereka lakukan saat pemilu berlangsung.

Apabila tidak terdapat perubahan berarti yang mampu memastikan keyakinan pilihan politik mereka menjelang hari pemungutan suara, kemungkinan besar kelompok ini memilih tidak menggunakan hak pilihnya.

Mengerucut

Pada pemandangan lain, hasil survei ini juga mengungkapkan semakin mengerucutnya pola-pola dukungan pemilih terhadap partai politik peserta pemilu. Tiga dimensi pengukuran opini responden yang digunakan—tingkat pengenalan responden terhadap partai politik, tingkat kesukaan terhadap partai politik, dan pilihan responden terhadap partai peserta pemilu—menempatkan segenap partai politik dalam tiga jenjang tingkatan.

Jenjang pertama adalah partai politik yang paling dikenal, disukai, dan menjadi pilihan politik terbesar responden. Partai Demokrat, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), dan Partai Golkar masuk dalam jajaran kelompok atas. Nama yang populer disertai dukungan dan kekuatan basis massa pendukung yang dimiliki ketiga partai tersebut tampaknya akan sulit ditandingi partai politik lain.

Persaingan ketat di antara ketiga partai ini pun tidak terhindarkan. Namun, berdasarkan hasil survei kali ini, Partai Demokrat berada di posisi puncak. Perolehan dukungan yang ditunjukkan partai ini terpaut cukup signifikan dengan besarnya dukungan yang dimiliki PDI-P maupun Partai Golkar.

Jenjang kedua ditempati Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, dan dua partai politik baru peserta Pemilu 2009, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).

Tingkat keterkenalan, kesukaan, hingga pilihan responden terhadap keenam partai ini pun relatif terpola secara konsisten. Namun, menghitung selisih perolehan dukungan dengan partai kelompok pertama, masih terlalu berat tampaknya bagi partai politik dalam kelompok menengah ini untuk bersaing dengan perolehan dukungan yang diraih partai-partai politik kelompok atas.

Sulit bersaing

Selain telah terbentuknya pengelompokan partai politik pada lapisan atas dan menengah perolehan dukungan, hasil survei menempatkan 29 partai politik lainnya dalam kelompok akhir. Baik di tingkat pengenalan, kesukaan, maupun pilihan responden terhadap partai politik dalam kelompok ini masih relatif kecil, di bawah 2 persen.

Jika dilihat dari besarnya selisih perolehan dukungan dengan partai yang berada di tingkat atas dan menengah, tergolong sulit menyaingi perolehan dukungan dan kedudukan partai-partai politik tersebut.

Namun, betapapun kecil ataupun besar proporsi pilihan responden yang ditunjukkan hasil survei ini, tidak dengan sendirinya tertutup peluang perubahan penguasaan suara di antara partai politik.

Sebagaimana hakikatnya suatu survei opini, hasil yang diperoleh lebih mencerminkan situasi pada saat survei itu dilakukan. Pola pengelompokan yang didasarkan pada hasil survei opini semacam ini bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak.

Minggu, 29 Maret 2009

Jangan Meratapi Putusan MK



INDONESIA akan menggelar hajatan besar di tahun ini, tepatnya 9 April mendatang, guna memilih para calon legislatif untuk menduduki kursi DPR, DPD, dan DPRD provinsi/kota/kabupaten. Para calon legislatif (caleg) sibuk menjual janji-janji manis.

Pernahkah Anda mencermati perbandingan jumlah caleg perempuan dan laki-laki? Sayangnya, Indonesia masih menganut ideologi patriarkhi.

Dalam pengambilan keputusannya, partai politik dan negara masih mengacu kepada konsep perempuan makhluk domestik (mengandalkan emosi) dan laki-laki sebagai makhluk publik (lebih mengandalkan rasio yang rigit dan normatif). Dalam urusan politik dan negara, perempuan diletakkan di barisan belakang !

Menurut Prof Dr Agnes Widanti, koordinator Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA) Jateng, ratifikasi Konvensi (Internasional) tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) ke dalam UU No 7/1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (terutama hak-hak politik perempuan) nyatanya tak membuahkan hasil yang nyata.

’’Belum ada percepatan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, terutama hak-hak politik mereka,’’ kata Agnes Widanti, ketika menjadi pembicara dalam diskusi publik mengenai Peluang Keterwakilan Perempuan dalam Parlemen di Pemilu 2009, di Ruang Serba Guna DPRD Jateng, Kamis (12/3) lalu.

Hilangnya Kuota

Hal ini makin dikukuhkan melalui keputusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK), yang justru menjadi pemicu hilangnya affirmatif action dan kuota keterwakilan perempuan di parlemen. Sebelum ada putusan MK, ada sedikit jaminan bahwa jumlah perempuan di parlemen sedikitnya 30 persen. Kini, dengan adanya klausul suara terbanyak, sulit tercapai perempuan di parlemen dalam kuota minimal tersebut.

Saat ini, jumlah perempuan di MPR hanya sembilan persen dan di DPR malah delapan persen. Hal ini menandakan kaum perempuan belum diterima dalam konstruksi sosial masyarakat dan penguasa negeri ini. Fakta ini sekaligus mengukuhkan persepsi bahwa politik hanya didominasi kaum laki-laki, dan meminggirkan kaum perempuan.

’’Keputusan MK memunculkan pesimisme mengenai nasib caleg perempuan. Putusan itu menutup peluang perempuan untuk menuai berkah dari sistem nomor urut bersyarat,’’ kata Dra Hj Sri Marnyuni, caleg DP 5 untuk DPRD Propinsi Jawa Tengah, dalam seminar nasional Hak Politik Perempuan sebagai Anggota Legislatif di Graha Kebangsaan, kampus Untang Semarang, Sabtu (14/3).

Semula, kata sekretaris Pemberdayaan Perempuan DPW PAN Jateng itu, upaya meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen dilakukan dengan menempatkan sedikitnya satu calon perempuan dari setiap tiga orang caleg. Kini semuanya sulit direalisasi.

Strategi Baru

Memang, tidak semua caleg perempuan menentang putusan MK. Bagi Hj Hesty Wahyuningsih, caleg PDI-P untuk Dapil 2 DPRD Kota Semarang, putusan MK justru bijaksana. ’’Biar terlihat kedaulatan betul-betul di tangan rakyat. Melalui suara terbanyak, kita buktikan perempuan mampu bekerja karena memiliki kompetensi,’’ ujarnya.

Ya, sebaiknya caleg perempuan tak perlu meratapi kehilangan kuota. Mereka harus percaya diri dan memiliki kemampuan berpolitik. Selain itu, harus mampu memanfaatkan keunggulannya sebagai makhluk yang teliti, cermat, jujur, dan mudah meredam konflik.

Lalu, strategi apa yang diperlukan agar caleg perempuan dapat survive dalam kompetisi elektoral ini? Dyah Woro Haswini, caleg PKS, memaparkan strategi baru ini dalam diskusi publik di Ruang Serba Guna DPRD Jateng.

Ke depan, kata dia, harus ada upaya perempuan di parlemen untuk mengajukan amandeman UU.

Selain itu, menyosialisasikan dan memengaruhi pandangan masyarakat, tokoh masyarakat / agama, dan pandangan partai masing-masing, mengenai urgensi kuota keterwakilan perempuan di parlemen. (Tafrida Tsurayya-32)